Asal Usul Sumatera Barat
Suku ini merupakan
salah satu suku yang terkenal dengan cerita rakyatnya yang begitu melegenda di
seluruh tanah air. Suku Minang berada di Sumatera Barat sebagai salah satu
provinsi yang terletak di sepanjang pesisir pulau Sumatera. Padang sebagai ibu
kota Sumatera Barat dikenal dengan masakannya yang khas dan dominan bumbu asli
dari rempah-rempah Indonesia. Provinsi dengan jumlah penduduk 4.846.909 jiwa
ini memang dominan di huni oleh masyarakat yang beretnis Minang, karena itu
wajar saja jika Sumatra Barat dikenal lewat suku Minangkabau.
2.
Awal Mulanya Minangkabau
Sejarah bermula
pada masa kerajaan Adityawarman, yang merupakan tokoh penting di Minangkabau.
Seorang Raja yang tidak ingin disebut sebagai Raja, pernah memerintah di
Pagaruyung, daerah pusat kerajaan Minangkabau. Adityawarman adalah seoranga
Raja yang berjasa memberi sumbangsih bagi alam Minangkabau, selain itu beliau
juga orang pertama yang memperkenalkan sistem kerajaan di Sumatera Barat. Sejak
pemerintahan Raja Adityawarman tepatnya pertengahan abad ke-17, Propinsi ini
lebih terbuka dengan dunia luar khususnya Aceh. Karena hubungan dengan Aceh
yang semakin intensif melalui kegiatan ekonomi masyarakat, akhirnya mulai
berkembang nilai baru yang menjadi landasan sosial budaya masyarakat Sumatera
Barat. Agama Islam sebagai nilai baru tersebut berkembang di kalangan
masyarakat dan berangsur-angsur mendominasi masyarakat Minangkabau yang
sebelumnya didominasi agama Buddha. Selain itu sebagian kawasan di Sumatera
Barat yaitu pesisir pantai barat masih berada di bawah kekuasaan kerajaan
Pagaruyung, namun kemudian menjadi bagian dari kesultanan Aceh.
Melirik sejarah
singkat Minangkabau, merupakan salah satu desa yang berada di kawasan Kecamatan
Sungayang, Tanah Datar, Sumatera Barat. Desa tersebut awalnya merupakan tanah
lapang. Namun karena adanya isu yang berkembang bahwa Kerajaan Pagaruyung akan
di serang kerajaan Majapahit dari Provinsi Jawa maka terjadilah peristiwa
adu kerbau atas usul kedua belah pihak. Kerbau tersebut mewakili peperangan
kedua kerajaan. Karena kerbau Minang berhasil memenangkan perkelahian maka
muncul kata manang kabau yang selanjutnya di jadikan nama Nagari atau desa
tersebut. Upaya penduduk setempat mengenang peristiwa bersejarah tersebut,
penduduk Pagaruyung mendirikan sebuah rumah loteng (rangkiang) dimana atapnya
mengikuti bentuk tanduk kerbau. Menurut sejarah, rumah tersebut didirikan di
batas tempat bertemunya pasukan Majapahit yang di jamu dengan hormat oleh
wanita cantik Pagaruyung. Situasi masyarakat saat itu umumnya hidup dengan cara
berdagang, bertani sawah, hasil hutan dan mulai berkembang pertambangan emas.
Beberapa pernyataan timbul bahwa alat transportasi yang digunakan untuk
menelusuri dataran tinggi Minangkabau adalah kerbau. Alasan menggunakan kerbau
karena agama yang dipercaya pada waktu itu di ajarkan untuk menyayangi binatang
gajah, kerbau, dan lembu. Karena ajaran tersebut mereka menggunakan kerbau
sebagai masyarakat dengan adu kerbau.
Bukti arkeolog
mengatakan bahwa daerah kawasan Minangkabau yaitu Lima puluh Koto merupakan
daerah yang dihuni pertama kali oleh nenek moyang orang Minang. Di daerah
tersebut mengalir sungai-sungai yang dijadikan sarana transportasi pada zaman
dulu. Nenek moyang orang Sumatera di perkirakan berlayar melalui rute ini dan
sebagian diantaranya menetap dan mengembangkan peradabannya di sekitar Lima
puluh Koto tersebut. Terbukanya provinsi Sumatera Barat terhadap dunia luar
menyebabkan kebudayaan yang semakin berkembang oleh bercampurnya para
pendatang. Jumlah pertumbuhan penduduk yang semakin bertambah menyebabkan
persebaran penduduk ke berbagai lokasi Sumatera Barat. Sebagian menyebar ke
selatan dan sebagian ke bagian barat Sumatera.
Jatuhnya kerajaan
Pagaruyung dan terlibatnya negara Belanda di Perang Padri, menjadikan daerah
pedalaman Minangkabau menjadi bagian dari Pax Nederlandica oleh pemerintah
Hindia Belanda. Kemudian daerah Minangkabau di bagi menjadi Residentie
Padangsche Bovenlanden serta Benedenlanden. Pada zaman VOC, Hoofdcomptoir van
Sumatra's westkust merupakan sebutan untuk wilayah pesisir barat Sumatera.
Hingga abad ke-18, Provinsi Sumatera Barat semakin terkena pengaruh politik dan
ekonomi akhirnya kawasan ini mencakup daerah pantai barat Sumatera. Kemudian
mengikuti perkembangan administratif pemerintahan Belanda, kawasan ini masuk
dalam Pemerintahan Sumatra's Westkust dan di ekspansi lagi menggabungkan
Singkil dan Tapanuli. Pada 1905, wilayah Singkil dialihkan ke Residen Aceh, dan
Tapanuli dijadikan residen Tapanuli. Memasuki tahun 1914, pemerintahan
Sumatera’s Westkust statusnya diturunkan menjadi Residen Sumatera’s Westkust.
Kemudian wilayah Mentawai di tambahkan di Samudera Hindia menjadi bagian dari
Residen Sumatera. 21 tahun berikutnya tepatnya 1935 kawasan Kerinci dimasukkan
juga ke bagian Residen Sumatera. Setelah perpecahan pemerintahan Sumatra’s
Ootkust, kedua wilayah yaitu Kuantan Singingi dan Rokan Hulu dimasukkan ke
Residen Riouw, dan dengan waktu yang hampir sama dibentuk Residen Djambi.
Selanjutnya masa
pendudukan Jepang di kawan ini, Residen Sumatera’s Westkust berganti nama
dengan bahasa Jepang yaitu Sumatora Nishi Kaigan Shu. Karena alasan strategi
militer, wilayah Kampar akhirnya dikeluarkan dari Residen Sumatera’s Westkust
atau Sumatora Nishi Kaigan Shu kemudian digabung ke wilayah Rhio Shu. Sampai
awal kemerdekaan negara Indonesia tahun 1945, daerah Sumatera Barat digabungkan
dalam Provinsi Sumatera yang berdomisili di Bukittinggi. Tahun 1949 Provinsi
Sumatera mengalami perpecahan menjadi 3 kawasan, yakni provinsi Sumatera Utara,
Sumatera Selatan, dan Sumatera Tengah yang mencakup Sumatera Barat, Jambi dan
Riau.
3.
Mitologi
1. batu angkat
angkat Bila Anda berkunjung ke Batusangkar Tanah Datar, Sumatera Barat
(Sumbar), Anda akan menemukan ragam cerita batu. Sejak cerita berlatar sejarah,
sampai yang berbalut mitos dan kearifan lokal. Di Batusangkar, agaknya sudah
banyak yang mengunjungi batu basurek dan batu batikam. Dua batu yang
berhubungan dengan sejarah Minangkabau di masa lalu. Namun, belum banyak cerita
tentang batu angkek-angkek. Batu ini disimpan di sebuah rumah gadang di Nagari
Balai Tabuh, Kecamatan Sungayang, sekitar 11 KM dari Kota Batusangkar. Untuk
mengangkat batu magis itu, anggota adat terlebih dahulu melakukan ritual untuk
menjaga keseimbangannya. Meski sarat dengan aroma mistis, Alpi Putra (40),
generasi ke-8 dari keturunan penemu batu, Datuak Bandaro Kayo, meminta agar
batu tersebut tidak dianggap berlebihan. Menurutnya, batu berbentuk kura-kura
tersebut hanya sebagai media untuk meminta dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Untuk mengangkat batu, terlebih dulu harus berwudu sesuai dengan ajaran Islam.
Lalu berdoa kepada Tuhan meminta apa yang diinginkan, misalnya jodoh. Kemudian,
badan membungkuk dan tangan kanan dan kiri menarik batu ke atas pangkuan. Kalau
bisa ditarik ke pangkuan, maka apa yang diminta akan terkabul. Percaya atau
tidak, itu pilihan Anda. Yang jelas, Batu Angkek-angkek merupakan salah satu
aset Minangkabau yang patut dijaga.
2. ikan
sungai janiah(sungai jernih) Ikan sakti ini berada di sebuah kolam yang berada
di daerah Sungai Janiah, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Kolam besar yang
banyak ikanya ini sunguh terawat dengan rapi air kolam ikan sakti inipun sangat
jernih para pengunjung bisa langsung melihat ikan yang ada di dalam kolam. Ikan
yang ada di kolampun jumlahnya banyak bahkan ada yang berukuran sampai 2 meter.
Tidak ada orang yang bernai menagkap ikan di kolam ini sebab takut akan kutukan
ikan sakti yakni siapa saja yang memakan kan sakti di kolam ini akan tertipa
musibah. Asal mula ikan yang ada di Sungai Janiah dari penjelmaan anak manusia
dan anak jin yang telah dikutuk oleh Tuhan, karena kedua makhluk yang berlainan
alam ini telah melanggar janji yang telah mereka sepakati. Versi Muchtar Tuanku
Sampono Muchtar Tuanku Sampono yang berusia 96 tahun, tokoh masyarakat Sungai
Janiah mengatakan, ikan di Sungai Janiah ini tidak “sakti”. Ikan tersebut
berasal dari anak yang hilang. Malam harinya ibu anak tersebut bermimpi agar
dibuat nasi kunyit (nasi kuning) dan dipanggil anaknya di Sungai Janiah. “Sejak
dulu tidak ada yang berani memakan ikan di Sungai Janiah ini, karena mereka
enggan saja karena sepertinya memakan manusianya saja, bahkan Belanda dan
Jepang tidak berani menjamah ikan ini,” Menurut Tuanku Sampono tidak ada yang tahu
jenis dan nama ikan tersebut. Ikan seperti ikan ‘gariang’, namun kata orang
Jambi ikan ini sejenis ikan Kalari. Seperti yang dikatakan oleh Tuanku Sampono
ikan-ikan tersebut sejak dulu tidak terlihat anak-anak ikannya.
3.orang
bunian Orang bunian atau sekedar bunian adalah mitos sejenis makhluk halus dari
wilayah Minangkabau, Sumatera Barat, Indonesia. Berdasar mitos tersebut, orang
bunian berbentuk menyerupai manusia dan tinggal di tempat-tempat sepi, di
rumah-rumah kosong yang telah ditinggalkan penghuninya dalam waktu lama.
Istilah ini dikenal di wilayah Istilah orang bunian juga kadang-kadang
dikaitkan dengan istilah dewa di Minangkabau, pengertian "dewa" dalam
hal ini sedikit berbeda dengan pengertian dewa dalam ajaran Hindu maupun Buddha.
"Dewa" dalam istilah Minangkabau berarti sebangsa makhluk halus yang
tinggal di wilayah hutan, di rimba, di pinggir bukit, atau di dekat pekuburan.
Biasanya bila hari menjelang matahari terbenam di pinggir bukit akan tercium
sebuah Aroma yang biasa dikenal dengan nama "masakan dewa" atau
"samba dewa". Aroma tersebut mirip bau kentang goreng. Hal ini dapat
berbeda-beda namun mirip, berdasarkan kepercayaan lokal masyarakat Minangkabau
di daerah berbeda. "Dewa" dalam kepercayaan Minangkabau lebih
diasosiasikan sebagai bergender perempuan, yang cantik rupawan, bukan laki-laki
seperti persepsi yang umum di kepercayaan la Selain itu, masyarakat Minangkabau
juga meyakini bahwa ada peristiwa orang hilang disembunyikan dewa / orang
bunian. Ada juga istilah "orang dipelihara dewa", yang saat bayi
telah dilarikan oleh dewa. Mitos ini masih dipercaya banyak masyarakat
Minangkabau sampai sekarang 4. bikit tambun tulang Bukit Tambun Tulang ini juga
kisah legenda yang bertempat di sekitar jalan yang menghubungkan Kayu Tanam
dengan Padang Panjang melintasi Bukit Barisan. Konon dulu kala, terdapat sebuah
bukit yang penuh dengan tulang belulang manusia. Kisah ini menceritakan
sulitnya orang dari pesisir untuk menuju pusat negeri Minangkabau, karena harus
mendaki bukit, kemudian dirampok dan dibunuh di sebuah bukit yang dinamakan
"Tambun Tulang". Namun sampai hari ini, belum ada penelitian
arkeologi atau sejarah atas mitos ini. Legenda Bukit Tambun Tulang ini kemudian
banyak menjadi inspirasi kisah-kisah fiksi. Penulis Makmur Hendrik misalnya,
menjadikan Bukit Tambun Tulang ini sebagai latar belakang novel
"Giring-giring Perak". Kemudian Bastion Tito, pernah menulis salah
satu seri novel Wiro Sableng berjudul "Banjir Darah di Tambun Tulang"
5. batu malin kundang Batu Malin Kundang adalah sebuah batu yang menyerupai
manusia tertelungkup di tanah di Pantai Air Manis, Padang, Sumatera Barat.
Menurut masyarakat sekitar, batu tersebut diyakini sebagai Malin Kundang yang
telah dikutuk oleh ibunya untuk menjadi batu karena bersikap durhaka. Kebenaran
legenda tersebut diragukan apakah nyata atau tidak.
4.
Sistem Kemasyarakatan
Sistem
kemasyarakatan suku Minangkabau
Masyarakat suku
Minangkabau tidak mengenal organisasi masyarakat lainnya yang bersifat adat
kecuali kelompok kekerabatan : paruik, kampueng dan suku. Karena itu
instruksi/praturan pemerintah, soal administrasi pedesaan, sering disalurkan
kepada penduduk desa melalui panghulu sukunya dan panghulu andiko. Sebuah suku
dengan panghulu aukunya juga dibantu oleh seorang dubalang dan manti
yang tugasnya menjaga keamanan suku.
Ada suatu
masyarakat yang panghulu sukunya dipilih, dan ada juga yang hanya menjadi hak
suatu keluarga tertentu saja, kalau keluarga itu telah habis, baru pindah
kepada keluarga lainnya. Stratifikasi sosial masyarakat Minangkabau pada daerah
tertentu (terutama Padang Pariaman) masih mengenal 3 tingkatan, yaitu : lapisan
bangsawan, orang biasa dan lapisan terendah (para budak.
1. Golongan
bangsawan
Memiliki kedudukan
yang tinggi dalam masyarakat dan sering mendapat kemudahan dalam segala urusan,
misalnya : memperolah uang jemputan yang tinggi jika menikah, boleh tidak
memberi belanja kepada isterinya dan anaknya, memperoleh gelar kebangsawanan
juga. Ia boleh kawin dengan/dari kelas mana saja.
Sebaliknya seorang
wanita bangsawan dilarang kawin dengan seorang laki-laki biasa, apalagi kelas
terendah. Yang termasuk golongan bangsawan ialah orang-orang yang mula-mula
datang dan mendirikan desa-desa di daerah Minangkabau. Karena itu mereka
disebut sebagai urang asa (orang asal).
2. Golongan orang biasa
Adalah orang-orang yang datang kemudian dan tidak terikat dengan orang
asal, tetapi mereka bisa memiliki tanah dan rumah sendiri dengan cara membeli.
3. Golongan ternedah
Adalah orang-orang yang datang kemudian dan menumpang pada
keluarga-keluarga yang lebih dulu datang dengan jalan menghambakan diri. Oleh
karena itu golongan ini menduduku kelas yang terbawah.
Menurut konsepsi orang Minangkabau, perbedaan lapisan sosial ini
dinyatakan dengan sitilah-istilah sebagai berikut :
1. Kamanakan tali pariuk,
yaitu keturunan langsung dari keluarga urang asa.
2. Kamanakan tali budi,
yaitu para pendatang tetapi kedudukan ekonomi dan sosialnya sudah baik,
sehingga dianggap sederajad dengan urang asa.
3. Kamanakan tali ameh,
yaitu para pendatang baru yang mencari hubungan keluarga dengan urang asa,
tetapi telah dapat hidup mandiri.
4. Kamanakan bawah lutuik
yaitu orang yang menghamba pada orang asa.
5.
Ritual Suku Minangkabau
Sebagian besar masyarakat
Minangkabau beragama Islam. Masyarakat desa percaya dengan hantu, seperti
kuntilanak, perempuan menghirup ubun-ubun bayi dari jauh, dan menggasing
(santet), yaitu menghantarkan racun melalui udara. Upacara-upacara adat di
Minangkabau meliputi :
1)
upacara Tabuik
Tabuik (Tabut) adalah
perayaan lokal dalam rangka memperingati Asyura, gugurnyaImam Husain, cucu
Muhammad, yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau di daerah pantaiSumatera
Barat, khususnya di Kota Pariaman. Festival ini termasuk menampilkan kembaliPertempuran
Karbala, dan memainkan drum tassa dan dhol. Tabuik merupakan istilah untuk
usungan jenazah yang dibawa selama prosesi upacara tersebut. Walaupun awal
mulanya merupakan upacara Syi'ah, akan tetapi penduduk terbanyak di Pariaman
dan daerah lain yang melakukan upacara serupa, kebanyakan penganut Sunni. Di
Bengkulu dikenal pula dengan nama Tabot.
Upacara melabuhkan tabuik
ke laut dilakukan setiap tahun di Pariaman pada 10 Muharram sejak1831. Upacara
ini diperkenalkan di daerah ini oleh Pasukan Tamil Muslim Syi'ah dari India,
yang ditempatkan di sini dan kemudian bermukim pada masa kekuasaan Inggris di
Sumatera bagian barat.
2)
Makan Bajamba
Makan bajamba atau juga disebut makan barapak
adalah tradisi makan yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau dengan cara
duduk bersama-sama di dalam suatu ruangan atau tempat yang telah ditentukan.
Tradisi ini umumnya dilangsungkan di hari-hari besar agama Islam dan dalam
berbagai upacara adat, pesta adat, dan pertemuan penting lainnya. Secara
harafiah makan bajambamengandung makna yang sangat dalam, dimana tradisi makan
bersama ini akan memunculkan rasa kebersamaan tanpa melihat perbedaan status
sosial.
3) Turun mandi
upacara turun mandi
adalah upacara yang sangat mendarah daging di Ranah Minang sampai saat ini .
upacara turun mandi adaah upacara ucapan rasa syukur kepada Allah SWT . Upacara
turun mandi adalah ritual untuk mensyukuri nikmat Allah berupa bayi yang baru
lahir. Upacara ini merupakan sunnah Rasul dan memperkenalkan kepada masyarakat
bahwa telah lahir keturunan baru dari sebuah suku atau keluarga tertentu. Dalam
upacara ini harus memperhatikan syarat-syarat yang telah kental di masyarakat
Minangkabau.
4) Batagak pangulu
Batagak penghulu adalah
upacara pengangkatan penghulu. Sebelum acara peresmian calon penghulu harus
menjalani syarat-syaratnya yaitu Baniah, Dituah Cilakoi, Panyarahan Baniah,
Manakok hari. Upacara pengangkatan Penghulu dilakukan dengan cara adat. Upacara
ini diberi nama Malewakan Gala. Di hari pertama adalah berpidato, lalu penghulu
tertua memasangkan deta dan menyisipkan sebilak keris sebagai tanda serah
terima jabatan, akhirnya penghulu baru diambil sumpahnya.
5) Pacu Jawi
Pacu jawi atau pacu sapi
adalah sebuah atraksi permainan tradisional yang dilombakan di Kabupaten Tanah
Datar, Provinsi Sumatera Barat. Setiap tahun lomba balap sapi ini
diselanggarakan secara bergiliran selama empat minggu di empat kecamatan di
Kabupaten Tanah Datar. Pacu jawi telah ada ratusan tahun tang lalu yang awalnya
dilakukan para petani setelah musim panen.
6) Pacu Itiak
Pacu itiak atau dalam
bahasa Indonesianya pacu bebek (duck race) ini adalah salah satu event anak
nagari yang bisa dibilang event satu-satunya didunia yang turun temurun sejak
tahun 1928.
6.
Sistem Politik Suku Minangkabau
Masyarakat
Minangkabau adalah sebutan untuk sebuah kelompok masyarakat yang mendiami
sebagian besar daerah Propinsi Sumatera Barat yang meliputi kawasan seluas
18.000 meter persegi yang memanjang dari utara ke selatan di antara Samudera
Indonesia dan gugusan Bukit Barisan.
Secara jelas batas daerah
etnis Minangkabau ini sulit diketahui, bahkan apabila dikaji secara linguistik
sama dengan “antah-berantah”. Hal ini disebabkan karena masyarakat Minangkabau
lebih banyak melukiskan kondisi dan situasi daerahnya melalui sastra lisan
(kaba dan tambo).
Salah satu ciri yang
melekat pada masyarakat Minangkabau ini adanya masih kuatnya masyarakat
memegang dan menerapkan adat (adaik) yang mereka miliki. Salah satu bentuk
ajaran adat tersebut tertuang dalam adat lareh, berupa seperangkat nilai-nilai,
norma-norma dan aturan-aturan yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar yang
mengatur aktifitas dan kehidupan sosial politik masyarakat Minang.
Lareh sebagai “sistem
politik”, sering dipakai untuk menyebut aliran pemikiran dua datuak nenek
moyang pendahulu masyarakat Minangkabau yaitu Datuak Katamenggungan yang
mengembangkan lareh Koto Piliang, dan Datuak Prapatiah Nan Sabatang. Berangkat
dari tambo dan mitos yang berkembang dalam masyarakat Minangkabau, Datuak
Katamenggungan mengembangkan sistem politik (lareh) Koto Piliang, dan Datuak
Prapatiah Nan Sabatang mengembangkan lareh Bodi Caniago.
Lareh Koto Piliang
lebih bercirikan “aristokratis”, dimana kekuasaan tersusun pada strata-strata
secara bertingkat dengan wewenangnya bersifat vertikal, sesuai dengan
pepatahnya manitiak dari ateh (menetes dari atas).
Sementara lareh Bodi
Caniago bercirikan “demokratis” dimana kekuasaan tersusun berdasarkan prinsip
egaliter dengan wewenang bersifat horizontal, sesuai dengan pepatahnya mambusek
dari bumi (muncul dari bawah).
Secara struktural,
ajaran kedua lareh ini lah yang akhirnya mempengaruhi pola kehidupan
sosial-politik masyarakat Minangkabau di kemudian hari.
Perbedaan antara dua
lareh ini disatu sisi telah memunculkan persaingan satu sama lain, bahkan
persaingan tersebut telah terjadi sejak dua Datuak-Datuak Katamenggungan dan
Datuak Prapatiah nan Sabatang — mencetuskan adat lareh itu sendiri.
Ini ditandai dengan
persaingan antara desa Lima Kaum yang menganut adat lareh Bodi Caniago dengan
desa Sungai Tarab yang menganut adat lareh Koto Piliang, yang digambarkan
sampai terjadi “perang batu” dan “perang bedil”.
Sistem Ekonomi Suku
Minangkabau
Mata pencaharian masyarakat Minangkabau sebagian besar sebagai petani.
Bagi yang tinggal di pinggir laut mata pencaharian utamanya menangkap ikan.
Seiring dengan perkembangan zaman, banyak masyarakat Minangkabau yang mengadu
nasib ke kota-kota besar. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia pada
saat ini.
Masyarakat Minangkabau juga banyak yang menjadi perajin. Kerajinan yang
dihasilkan adalah kain songket. Hasil kerajinan tersebut merupakan cenderamata
khas dari Minangkabau.
7.
Sistem Kesenian Suku Minangkabau
1) Seni Bangunan
Rumah adat Minangkabau disebut rumah gadang. Rumah gadang terdiri atas
biliek sebagai ruang tidur, dan didieh sebagai ruang tamu. Ciri utama rumah itu
adalah bentuk lengkung atapnya yang disebut gonjong yang artinya tanduk rebung.
Antara atap dan lantai terdapat pegu. Di desa Balimbing lebih kurang 10 km dari
timur kota Batu Sangkar banyak dijumpai rumah gadang yang berumur 300 tahun.
2) Seni Tari
Tari-tarian yang ada adalah tari silat kucing dan tari silat tupai
malompek yang masih dijumpai di daerah-daerah Payakumbuh. Lagu yang digunakan
dalam tari itu adalah Cak Din Din, Pado-Pado, Siamang Tagagau, Si Calik
Mamenjek, Capo, dan Anak Harimau dalam Gauang. Selain itu juga terdapat tari
piring, tari Lilin, tari payung, dan tari serampang dua belas.
3) Seni Musik
Alat-alat musik tradisonal dari suku bangsa Minangkabau adalah saluang
dan talempong. Saluang biasa dikenal dengan seruling, sedangkan talempong mirip
dengan gamelan yang dibunyikan dengan pemukul.
4) Seni Sastra
Seni sastra yang berkembang pada suku bangsa Minangkabau dan pada umumnya
adalah seni sastra pantun yang berupa nasihat.
0 komentar:
Posting Komentar