A.
Asal usul Orang
Tengger
Masyarakat Tengger yang dimaksud
disini adalah masyarakat yang berada diwilayah pegunungan Tengger, berada
di sebelah utara gunung Semeru dan masuk
ke dalam daerah Purbalinggo, Pasuruan, Malang dan Lumanjang. Masyarakat Tengger
di sebut “Wong Tengge” yang memiliki adat istiadat atau faham kepercayaan
tersendiri. Menurut sebagian kepercayaan masyarakat Tengger, namanya diambil
dari dua orang suami isteri yang merupakan cikal bakal penduduk Tengger yang
menetap di suatu tempat antara gunung Bromo dan Semeru, isteri bandsawan itu
melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik rupawan yang di beri nama Roro
Anteng. Tidak jauh dari tempat itu, tinggalah seorang pendeta dengan isterinya,
isteri pendeta itu melahirkan seorang laki-laki yang bagus rupanya dan sehat
tubuhnya (seger) karena itu diberi nama Joko Seger dan menjadi pemuda yang
tampan. Keduanya akhirnya mengikat perkawinan dan kemudian membuka kampung
baru, kampung itu diberi nama Tengger. Dari nama Roro Anteng untuk awalan
“Teng” dan dari Joko Seger yang diambil untuk akhiran “Ger”. [1]
B.
Pandangan
hidup, kepercayaan orang Tengger
Kepercayaan
mereka terlihat pada unsur animisme,
yakni adanya roh-roh yang memiliki kekuatan
karena itulah mereka membuat berbagai upcara dan sesajian. Kepercayaan
masyarakat Tengger diantaranya :
a)
Animisme
Animisme berasal dari kata anima
yang artinya roh, nyawa, badan halus. Ialah salah satu kepercayaan yang
meyakini adanya kekuatan roh atau makhluk halus yang mengelilinginya. Roh nenek
moyang bagi masyarakat Tengger mempunyai kedudukan penting, roh nenek moyang
dari anak cucu yang masih hidup.
b)
Konsep tentang
Tuhan
Di dalam agama BudhaTengger tidak ditemukan suatu konsep tunggal
tentang Tuhan dandewa-dewa. Menurut agamaBudha Tengger untuk daerah sekitar
Ngidasari, pengertian tentang dewa Trimurti ialah Sang Hyang Betoro Guru, Sang
Hyang Betoro Wisnu dan Sang Hyang Betoro Siwo. Tetapi dari ketiga nama dewa
tersebut terdapat dewa tertinggi yang dinamakan Sang Hyang Wiseso atau Sang
Hyang Tunggal. Sedangkan Sang Hyang yang diucapkan dalam semedi ialah Gusti
yang Maha Agung atau Sang Hyang Widi.
c)
Sembahyang dan
Semedi
Di samping melaksanakan sesaji dan
upacara selamatan agama Budha Tengger mengenal pula tata cara sembahyang yang
ia sebut semedi. Praktek semedi bisa dilakukan dirumah, sanggar pemujaan,
tempat-tempat sepi seperti gunung, gua dan sebagainya.
d)
Konsep Alam
Di samping alam yang terlihat nyata,
mereka pun mempercayai alam lain dibalik kehidupanyang terlihat ini. Para
dewata dalam pandangan mereka ditempatkan di Suralaya, suatu tempat tertinggi
yang dianggap suci.[2]
C.
Ritus dan
upacara keagamaan masyarakat Tengger
1.
Hari Raya Karo
Hari raya Karo adalah hari raya
pemeluk agama Budha Tengger yang dirayakan bersama-sama secara besar-besaran
dan diadakan pada pertengahan bulan Karo (bulan kedua) setiap tahun. Upacara
dilaksanakan selama 7 hari, selama itu mereka saling kunjung mengunjungi untuk
mempererat tali persaudaraan yang disebutnya dengan istilah sambung batin. Tujuan
upacara Karo ialah memohon selamat untuk penghormatan kepada bapak dan ibu,
karena dengan perantara keduanyalah Tuhan telah menyebarkan bibit manusia.
Upacara ini dipimpin oleh dukun.
2.
Hari raya
Kesodo
Hari raya Kesodo adalah hari raya
yang diadakan oleh masyarakat Tengger pada bulan ke 12 (saddo) pada pertengahan
bulan. Upacara Kesodo menempati tempat yang khusus di hati masyarakat Tengger.
Mereka percaya, jika mereka tidak turut merayakannya kehidupannya tidak akan
tentram. Sebaliknya jika mereka melaksanakan upacara tersebut maka hidupnya
akan selamat dan dimurahkan rejeki, karena itu jauh-jauh hari dari sebelumnya
mereka telah mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan.[3]
D.
Upacara
kelahiran, perkawinan dan kematian dalam suku Tengger
Upacara Kelahiran
Upacara ini merupakan rangkaian dari
enam macam upacara yang berkaitan. Pertama, ketika bayi yang berada dalam
kandungan telah berumur tujuh bulan, yang bersangkutan mengadakan selamtan
nyayut atau upacara sesayut. Maksud upacara adalah agar bayi lahir dengan
selamat dan lancar. Setelah bayi lahir dengan selamat yang bersangkutan
mengadakan upacara sekul brokohan. Ari-ari bayi yang mereka sebut batur ‘teman’
disimpan dalam tempurung, kemudian ditaruh di sanggar.[4]
Upacara
Perkawinan
Orang Tengger dilaksanakan
berdasarkan perhitungan waktu yang ditentukan oleh dukun yang harus sesuai
dengan saptawara atau pancawara kedua calon pengantin. Selain menggunakan
perhitungan saptawara dan pancawara, dukun juga menggunakan perhitungan nasih
berdasarkan sandang (pakaian), pangan (makanan), lara (sakit), dan pati
(kematian). Hari perkawinan harus menghindari lara dan pati. Jika terpaksa
jatuh pada lara dan pati, harus dan di adakan upacara ngepras, yaitu membuat
sajian yang telah diberi mantra oleh dukun dan kemudian dikurbankan. Agar tetap
selamat, mereka yang hari perkawinannya jatuh pada lara dan pati harus
melaksanakan upacara ngepras setiap tahun.
Upacara Kematian
Diselenggarakan secara gotong
royong. Para tetangga memberi bantuan perlengkapan dan keperluan untuk upacara
penguburan. Bantuan spontanitas tersebut berupa tenaga, uang, beras, kain
kafan, gula, dan lain-lain yang disebut nglawuh. Setelah dimandikan mayat
diletakkan di atas balai-balai kemudian dukun memercikkan air suci dari prasen
kepada jenazah sambil mengucapkan doa kematian.[5]
E.
Interaksi
kepercayaan Orang Tengger dengan agama-agama lain
Sekarang ini agama Hindu makin
berkembang di Tengger. Sebagian besar pemuka adat Tengger mendukung
diberikannya pelajaran agama Hindu di Sekolah Dasar. Maraknya revitalisasi
Hindu Tengger berawal, ketika pada tahun 1979 rombongan pertama guru agama dari
Bali tiba di Tengger. Rombongan ini membentuk kelas-kelas baru untuk anak-anak
dan orang dewasa, dan mengajar generasi muda Tengger membaca doa-doa dalam
bahasa Sansekerta.
Menjelang tahun 1980 ketika
pembaharuan Hindu di Tengger makin agresif, muncul kontroversi di antara para
dukun Tengger. Hampir separuh dari dukun Tengger masih menentang gerakan
tersebut dan mencurigainya sebagai pembangkang tradisi Tengger, bahkan di
antara para pemuka pembaharuan pun terjadi perdebatan pendapat yang serius yang
mengakibatkan perbedaan kebijakan yang radikal atas pelestarian peribadatan
para dukun.15 Untunglah, suasana kehidupan yang beraroma konflik tersebut tidak
berlangsung lama. Kebijakan pemerintah melestarikan kebudayaan lokal dan
nasional, mampu meredakan kontroversi yang disinggung Hefner.
Kepedulian dan bantuan pemerintah
kepada orang Tengger pada perayaan Kasada menunjukkan bahwa pemerintah sangat
berkepentingan dengan kelestarian adat Tengger. Para pemuka pembaharuan
menyadari dan memahami perkembangan tersebut. Agama Hindu dan adat Tengger
bangkit bersama-sama.[6]
[1] Simahandi Widyaprakoso, Masyarakat Tengger, (Yogyakarta :
Warta Pustaka, 2006),h.33-34
[2] Ahmad Syafi’I Mufid, Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa
Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Departemen Agama RI, 1999),
h.52-53
[3] Ibid,h.55
[4] Capt.R.P.Suyono, Mistisisme Tengger, (Yogyakarta: LKIS
Yogyakarta,2009), h.30
[5] Sutarto, “Komunitas Lokal dalam Prespektif Perubahan Sosial Budaya. Kasus Tengger”, Makalah
dalm Simposium Nasional dalam Rangka Lustrum VII, (Jember:
Gramedia,1999),h.32
[6] Robert W. Hefner, The Political Economy on Mountain Java: In
Interpretive History, (Barkeley: Universitas of California Press,1990),h.15
0 komentar:
Posting Komentar