Kamis, 16 Juni 2016

KAMPUNG BUDAYA SINDANGBARANG & KAMPUNG ADAT URUG BOGOR

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Indonesia adalah Negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman etnik atau suku bangsa dan budaya, serta kekayaan dibidang seni dan sastra. Semua sejalan dengan keanekaragaman etnik, suku bangsa dan agama yang secara keseluruhan merupakan potensi nasional.
Salah satu ragam suku yang memiliki kekayaan budaya adalah Desa Sindangbarang. Desa ini terletak di Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Di desa ini terdapat sebuah kampung budaya yang bernama Kampung Budaya Sindangbarang. Kampung ini dahulu merupakan keraton tempat tinggal salah satu isteri dari Prabu Siliwangi yang bernama Dewi Kentring Manik Mayang Sunda.
Rumah-rumah di Kampung Budaya Sindangbarang merupakan hasil rekonstruksi dan revitalisasi yang dilakukan para budayawan Sunda serta para kokolot Sindangbarang. Sebagai perkampungan yang masih memegang teguh tradisi dan adat istiadat leluhur, bentuk bangunan rumah dibuat sedemikian rupa sehingga tampak sama dengan apa yang tertulis dalam pantun Bogor tentang Kampung Sindangbarang di masa lampau.
Berdasarkan penjelasan di atas kami akan mencoba memberikan informasi lebih mendalam tentang sejarah, upacara, kesenian, rumah adat dan juga peninggalan-peninggalan lainnya yang masih terjaga di kampung Sindangbarang ini.
1.2    Batasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, objek dari penelitian ini adalah masyarakat etnis kampung Sindangbarang. Fokus penelitian ini dibatasi pada masalah tradisi keagamaan masyarakat tersebut dengan melihat tradisi agama.
Agar pembahasan ini lebih terarah maka perlu dirumuskan permasalahan-permasalahan tersebut berdasarkan pertanyaan-pertanyaan berikut :
1.    Bagaimana sejarah kampung budaya Sindangbarang?
2.    Bagaimana bentuk rumah adat kampung budaya Sindangbarang?
3.    Bagaimana upacara-upacara kampung budaya Sindangbarang?
4.    Bagaimana kesenian kampung budaya Sindangbarang?

1.3    Tujuan Observasi
Tujuan yang ingin dicapai dalam observasi ini adalah untuk mengetahui lebih jauh tentang gambaran kehidupan agama dan sosial masyarakat etnis kampung budaya Sindangbarang. Penelitian ini juga ditunjukkan untuk mengetahui lebih jauh perubahan sosial budaya yang terjadi dalam tradisi mereka.
Adapun hasil observasi ini diharapkan dapat memiliki kegunaan yang bersifat teoritik dan praktis. Secara teoritik, penelitian ini merupakan satu sumbangan sederhana bagi pengembangan studi agama lokal, terutama karena observasi ini mengkaji tentang kepercayaan-kepercayaan yang ada pada etnis kampung tersebut. Adapun secara praktis, penelitian ini akan memberikan pemahaman terhadap masyarakat akan adanya kepercayaan yang ada di etnis kampung tersebut.
Disamping itu, observasi ini diharapkan memperkaya khazanah kepustakaan mengenai kepercayaan yang di anut pada etnis kampung Sindangbarang ini.




















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pelaksanaan Observasi
Hari        : Senin, 02 Mei 2016
Pukul        : 13.00 WIB
Tempat    : Kp. Sindangbarang Ds. Pasir Eurih Kec. Tamansari Kab. Bogor

B.    Narasumber   
Bpk. Maki (08567371489)
sebagai Ketua Adat Kampung Budaya Sindangbarang

1.1.    Sejarah Kampung Budaya Sindangbarang
Kampung Sindangbarang diyakini sudah ada sekitar abad ke-XII. Keberadaan kampung ini tersurat dalam dokumentasi masa lalu, seperti dalam babad Padjajaran dan pantun Bogor. Sindangbarang diyakini sebagai kerajaan bawahan Prabu Siliwangi dengan Kutabarang sebagai ibukotanya. Sindangbarang merupakan keraton tempat tinggal salah satu isteri dari Prabu Siliwangi yang bernama Dewi Kentring Manik Mayang Sunda. Guru Gantangan adalah putra dari Prabu Siliwangi dan Kentring Manik Mayang Sunda yang dilahirkan dan dibesarkan di Sindangbarang, yang mana penguasa Sindangbarang pada saat itu adalah Surabima Panjiwirajaya atau Amuk Murugul. Di tempat ini pula, zaman dahulu prajurit-prajurit Sunda ditempa agar siap membela kerajaan dari segala marabahaya. Berlatar sejarah tersebut, kini Sindangbarang menjelma menjadi kampung budaya yang bertekad meneruskan kearifan lokal dari akar tradisi leluhur mereka.
Menyambangi Kampung Budaya Sindangbarang seperti menemukan jejak kasepuhan Sunda yang telah lama hilang. Pemandangan indah dan udara sejuk khas pegunungan di kaki Gunung Salak menjadi daya tarik lainnya. Kampung budaya ini selalu terbuka bagi siapapun yang ingin berkunjung dan mempelajari lebih dalam tentang tradisi Sunda Bogor, sambil mencari tahu tentang sejarah kasepuhan Sunda Bogor di masa lalu.
Berjarak sekitar 5 km dari pusat Kota Bogor, Kampung Budaya Sindang Barang terletak di Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Meski jaraknya tidak terlalu jauh dari pusat Kota Bogor. Menuju lokasi, pengunjung harus melewati jalan yang berkelok, dan tidak ada angkutan umum yang melewati kawasan tersebut. Banyak yang merekomendasikan untuk sampai ke lokasi lebih baik menggunakan sepeda motor. Karena selain cepat, sepeda motor mampu menjamah jalan kecil hingga sampai ke depan Kampung Budaya Sindang Barang.


1.2.    Rumah Adat Kampung Budaya Sindangbarang
Rumah-rumah di Kampung Budaya Sindangbarang merupakan hasil rekonstruksi dan revitalisasi yang dilakukan para budayawan Sunda serta para kokolot Sindangbarang seperti Anis Djati Sunda, Eman Sulaeman, dll dengan didukung oleh pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Daerah Bogor. Tentu saja penduduk setempat juga turut berperan dalam perkampungan ini.
Bahkan Kasepuhan Cipta Gelar Sukabumi pun mengirimkan bantuan tenaga teknis untuk “mendirikan” kembali perkampungan ini. Perkampungan ini memang pernah rusak karena bencana alam dalam masa yang cukup panjang. Karena itulah, revitalisasi dan rekontruksi perkampungan ini sangat diperlukan agar generasi muda Sunda dapat mengenal dan melestarikan jati dirinya.
Sebagai perkampungan yang masih memegang teguh tradisi dan adat istiadat leluhur, bentuk bangunan rumah dibuat sedemikian rupa sehingga tampak sama dengan apa yang tertulis dalam pantun Bogor tentang Kampung Sindangbarang di masa lampau.
Rumah adat satu persatu mempunyai fungsi yang berbeda-beda dan fungsi itu diambil dari pantun-pantun bogor.
a.    Imah Gede, zaman dulu disebut rumah raja atau dalam adat jawa modelnya seperti keraton. Karena sudah menjadi kampung budaya kemudian tempat tersebut disebut sebagai Imah Gede yang sekarang menjadi tempat tinggal kepala adat kampung budaya Sindangbarang.
b.    Girang Serah, yaitu rumah penasehat pimpinan atau penasehat raja. Kalau dalam kerajaan disebut sungkleman silengser (Penasehat Raja).
c.    Tempat Kesenian, tempat ini sangat penting sekali kedudukannya karena zaman dahulu seni berfungsi untuk menghibur keluarga raja. Berbagai kesenian asli Sunda seperti kesenian calung, berbagai tari tradisional, hingga angklung gubrag menjadi hiburan menarik yang selalu dipentaskan di kampung budaya ini. Menariknya, di atas panggung selalu tersedia satu set gamelan tatalu yang bisa dimainkan oleh para tamu yang datang.
d.    Saung Lisung, tempat menumbuk padi disana terdapat 2 lumbung padi yang digunakan ketika upacaran penumbukan padi atau saat upacara Seren Taunan.
e.    2 Bangunan Pasanggrahan, sebagai tempat istirahat para tamu adat yang datang untuk berkunjung. Dahulu tamu tidak diperbolehkan menginap serumah dengan kepala adat. Jadi kepala adat menyediakan rumah khusus bagi tamu adat yang datang.
f.    Bale Riungan, yaitu sebagai tempat musyawarah mufakat ketika ada event-event tahunan. Juga sebagai tempat berkumpul dan bermusyarawah masyarakat dengan ketua adat dan para kokolot. Kokolot adalah mereka yang dianggap sebagai sesepuh kampung Sindangbarang. 
g.    Bale Pertirtaan, biasanya digunakan sebagai tempat untuk menjamu para tamu yang baru datang. Meski demikian, tidak jarang bangunan yang lebih mirip pendopo ini juga digunakan sebagai tempat pameran pernak pernik hasil karya masyarakat Sindangbarang dan berbagai acara internal tamu yang datang.
h.    2 Bangunan Tampian, zaman dahulu kamar mandi tidak diperbolehkan berada di dalam rumah. Sebab dulu ritual dilaksanakan terus-menerus jadi setiap hari rumah itu harus dalam keadaan bersih.
i.    Tanjung Bale Agung, kalau sekarang di sebut musholla sebagai tempat ibadah masyarakat kampung Sindangbarang.
j.    3 bangunan Panengeun, rumah para kokolot/pengelola rumah adat.
k.    6 bangunan Pangiwa.

1.3.    Upacara-upacara Kampung Budaya Sindangbarang
Pada awalnya upacara Seren Taun pada masyarakat Sunda Wiwitan terbagi menjadi tiga, yaitu:
1) Seren Taun Kuara Bakti yang dilaksanakan 8 tahun sekali,
2) Guru Beni yang dilaksanakan 4 tahun sekali,
3) Majetin Pare yang dilaksanakan setelah panen padi.
Kemudian pada abad ke 16 kerajaan Padjadjaran bubar lalu digantikan oleh pemerintahan islam. Untuk mengangkat kembali budaya islam Seren Taun berubah menjadi sedekah bumi, yang awalnya di peringati dengan memotong kepala kerbau atau kambing dan menguburnya. Kemudian para ulama melakukan sedekah bumi dengan mengubah waktu peringatan Seren Taun pada bulan 1 muharram.
Jadi, perbedaan seren taunan pada Banten, Cibubur, dan Sindangbarang yaitu kalau banten dan cibubur itu lebih mengarah panen padi tetapi kalau sindang barang ini lebih ke peringatan tahun baru islam yang terjadi pada 1 muharrom.
Upacara Seren Taunan ini merupakan bentuk rasa syukur kepada yang Maha Kuasa atas hasil panen dan hasil bumi yang melimpah. Acara ini diselenggarakan dengan membawa rengkong untuk mengangkut padi dan dongdang yang berisi sayur-sayuran dan buah-buahan untuk di arak keliling kampung. Setelah itu hasil bumi diperebutkan warga sekitar untuk mendapatkan berkah. Padi-padi kemudian disimpan di lumbung padi atau leuit. Upacara ini merupakan tradisi yang paling ditunggu-tunggu karena juga diiringi oleh pertunjukan lainnya seperti angklung gubrak, pencak silat, dan parebut seeng.
 Pelaksanaan Seren Taunan selama 3 hari dianjurkan pada hari jum’at sampai minggu:
1.    Pada malam jum’at para kokolot berkumpul melakukan ritual.
2.    Jum’at pagi pengambilan air di 7 mata air yang diambil oleh para kokolot di iringi dengan seni-senian.
3.    Jum’at sore mengambil ikan di sungai. Berhubung karena ikan nya sekarang sudah tidak ada jadi panitia menyiapkan ikan sebanyak 1 kwintal.
4.    Malam sabtu yaitu siraman rohani dengan membacai air tersebut dengan ayat-ayat suci
5.    Sabtu pagi yaitu sedekah kue
6.    Lugel munding memotong kerbau. Pala, satu paha, dan jeroan kerbau dibagikan ke para tamu. Yang selebihnya diberikan ke anak yatim dan janda.
7.    Sabtu sore semua kesenian yang terdapat di kampung budaya ini di tampilkan
8.    Sabtu malam hiburan adat sunda
9.    Minggu pagi masyarakat membawa hasil panen yang mereka punya, lalu pemimpin upacara ersebut berdoa. Setelah berdoa mereka memperebutkan hasil panen yang mereka bawa.

1.4.    Kesenian Kampung Budaya Sindangbarang
Menjejak Kampung Budaya Sindangbarang seperti masuk ke mesin waktu ke masa ratusan tahun lampau di mana kerharmonisan manusia dan alam masih begitu lekat. Inilah perkampungan yang merepresentasikan jatidiri orang-orang sunda, lengkap dengan tradisi budaya yang masih lekat dan dijunjung tinggi oleh warganya. Di sini akan dengan mudah ditemui anak-anak yang sedang belajar kesenian tradisional, ibu-ibu sibuk menumbuk padi dengan lesung atau memasak dengan menggunakan hawu (tungku tradisional), dan para petani yang sedang bekerja di sawah. Kehidupan yang sudah sangat sulit kita temui di zaman modern ini.
Untuk melestarikan kesenian tradisional di kampung budaya, maka diselenggarakan pelatihan tari dan gamelan untuk generasi muda secara gratis oleh Kampung Budaya Sindang Barang, Anak-anak muda yang telah mahir di bidang kesenian masing-masing maka akan dilibatkan dalam pementasan menyambut tamu yang tentunya akan menambah penghasilan untuk mereka sendiri. Pelatihan budaya ini dilaksanakan pada hari minggu dan tidak dipungut biaya sepeserpun bagi masyarakat yang ingin mempelajari tentang kesenian Sindangbarang ini.
Di Kampung budaya Sindangbarang sendiri terdapat sekitar 8 macam kesenian Sunda yang telah direvitalisasi dan dilestarikan oleh para penduduknya, antara lain yaitu: Seni Gondang, Parebut Se’eng, Kendang Pencak, Seni Reog, Angklung gubrag, Rampak Gendang, Calung dan Jaipong.


















1.5.    Potret Acara Seren Taun
































1.6.    Dokumentasi Kampung Budaya Sindangbarang





























































BAB III
PENUTUP

1.1    Kesimpulan
Setelah pemaparan yang telah dipaparkan oleh peniliti, maka dapat disimpulkan:
a.    Sejarah Kampung Sindangbarang diyakini sudah ada sekitar abad ke-XII. Keberadaan kampung ini tersurat dalam dokumentasi masa lalu, seperti dalam babad Padjajaran dan pantun Bogor.
b.    Sebagai perkampungan yang masih memegang teguh tradisi dan adat istiadat leluhur, bentuk bangunan rumah dibuat sedemikian rupa sehingga tampak sama dengan apa yang tertulis dalam pantun Bogor tentang Kampung Sindangbarang di masa lampau. Rumah adat satu persatu mempunyai fungsi yang berbeda-beda dan fungsi itu diambil dari pantun-pantun bogor.
c.    Upacara yang ada di Sindangbarang salah satunya adalah Seren Taun, dimana waktu pelaksanannya berbeda. Seren Taun ini merupakan bentuk rasa syukur kepada yang Maha Kuasa atas hasil panen dan hasil bumi yang melimpah.
d.    Selain ada upacara terdapat pula kesenian yakni adanya pelatihan tari dan gamelan untuk generasi muda secara gratis oleh Kampung Budaya Sindang Barang, Anak-anak muda yang telah mahir di bidang kesenian masing-masing akan dilibatkan dalam pementasan menyambut tamu yang tentunya akan menambah penghasilan untuk mereka sendiri.
1.2    Saran
Setiap masyarakat adat pasti memeiliki cirri khas yang melembaga dalam ritual sehari-hari. Cirri-ciri tersebut telah menjadi identias yang harus dihormati sebagai wujud pergulatan rasionalitas bagi penganutnya. Oleh karena itu, tradisi keagamaan etnis kampung Budaya Sindangbarang hendaknya jangan dipahami sekedar ritualitas belaka melainkan memiliki dimensi spiritualitas yang mendalam yang harus diteliti, digali dan diungkapkan kepada masyarakat.
1.3    Referensi
Pram. 2013. Suku Bangsa Dunia dan Kabudayaan. Cet.1. Jakata: Cerdas Interaktif (Penebar Swadaya Group).
BAB IV
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Pada awalnya Kampung Adat adalah kumpulan beberapa desa yang menggunakan adat sebagai pilar kehidupan bermasyarakat. Ada tersebut dijaga dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari hingga saat ini. Kampung adat biasanya terletak di kampung terpencil dan asing pada teknologi dan kehidupan modern. Seiring berjalannya waktu dan melihat pada kepentingan umum, pemerintah melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan keberadaan Kampung Adat dan mencanangkan program pelestarian berdasarkan pendidikan dan penelitian pada kampung-kampung adat tersebut.
Kampung adat secara resmi adalah Kampung Adat yang diakui dan dilindungi oleh Negara. Salah satu Kampung Adat di Provinsi Jawa Barat adalah Kampung Adat Urug yang terletak di Desa Kiara Pandak Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor.
Kampung Urug merupakan salah satu Kampung Adat peninggalan Prabu Siliwangi, di Kampung Urug ini masyarakatnya moyoritas beragama Islam. Namun, mereka masih percaya terhadap leluhur dan menjalankan ritual-ritual sesuai dengan ajaran nenek moyang. Di Kampung Urug ini ada tujuh upacara yang dilaksanakan dua diantaranya di masjid dan selebihnya di Rumah Adat Urug tersebut. Dalam laporan ini kami akan mencoba memaparkan hasil observasi mulai dari awal mula berdirinya Kampung Adat Urug sampai kepada upacara-upacara adat yang ada didalamnya.

1.2    Batasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, objek dari penelitian ini adalah Kampung Adat Urug di Desa Kiara Pandak Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor. Fokus penelitian ini dibatasi pada masalah sejarah, upacara, peninggalan, rumah adat, dan keagamaan di kampung adat tersebut.
Agar pembahasan ini lebih terarah, maka perlu dirumuskan permasalahan-permasalahan tersebut berdasarkan pertanyaan-prtanyaan berikut:
1.    Bagaimana sejarah Kampung Adat Urug?
2.    Apa saja upacara-upacara yang dilaksanakan di Kampung Adat Urug?
3.    Bagaimana bentuk dan tujuan dari rumah adat di Kampung Adat Urug?
4.    Apa peninggalan yang ada di Kampung Adat Urug?
5.    Bagaimana situasi keagamaan masyarakat di Kampung Adat Urug?

1.3    Tujuan Penelitian
Tujuan dari observasi yang kita lakukan ini yaitu untuk :
1.    Mengetahui bagaimanakah sejarah Kampung Adat Urug
2.    Mengetahui bagaimana upacara-upacara yang dilaksanakan di Kampung Adat Urug
3.    Mengetahui bagaimana bentuk dan tujuan dari rumah adat di Kampung Adat Urug
4.    Mengetahui tentang peninggalan yang ada di Kampung Adat Urug
5.    Mengetahui bagaiamana situasi keagamaan masyarakat di Kampung Adat Urug.



















BAB V
PEMBAHASAN

A.    Pelaksanaa Observasi
Hari        : Jum’at-Minggu
Tanggal    : 06 Mei 2016-08 Mei 2016
Tempat    : Kp. Urug Ds. Kiara Pandak Kec. Sukajaya Kab. Bogor

B.    Narasumber
1.    Abah Ukat Raja Aya (ketua Adat)
2.    Abah Maman (Kepala Kampung)
3.    Bapak Ujang (Tokoh Masyarakat)

1.1.    Sejarah Kampung Adat Urug
Kampung Urug adalah sebuah kampung adat yang terletak di sebuah lembah yang subur dan masuk dalam wilayah admisnistrasi Desa Kiara Pandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor. Kata Urug dijadikan nama kampung, karena menurut mereka berasal dari kata "Guru", yakni dengan mengubah cara membaca yang biasanya dari kiri sekarang dibaca dari sebelah kanan. Kata "Guru" berdasarkan etimologi rakyat atau kirata basa adalah akronim dari digugu ditiru. Jadi seorang guru haruslah “digugu” dan “ditiru”, artinya dipatuhi dan diteladani segala pengajaran dan petuahnya.
Masyarakat Kampung Urug menganggap bahwa mereka berasal dari keturunan Prabu Siliwangi, raja di kerajaan Padjajaran Jawa Barat. Bukti dari anggapan tersebut di antaranya menurut seorang ahli yang pernah memeriksa konstruksi bangunan rumah tradisional di Kampung Urug, beliau menemukan sambungan kayu tersebut sama dengan sambungan kayu yang terdapat pada salah satu bangunan di Cirebon yang merupakan sisa-sisa peninggalan Kerajaan Pajajaran.
Kampung Urug menurut Abah Kolot (Kepala Adat di Kampung Urug) yang dipercaya masih merupakan penerus Kerajaan Padjajaran generasi ke-11 dari keturunan Prabu Siliwangi ke-2, yang merupakan Raja ke-5 Kerajaan Padjajaran. Bahwa Kampung Urug merupakan walikan aksara dan juga Pancer Bumi atau pusat bumi atau bisa jadi pusat dari kasepuhan adat pedalaman masyarakat keturunan Padjajaran.
1.2.    Upacara Kampung Adat Urug
        Masyarakat Kampung Adat Urug hingga kini masih melaksanakan berbagai     upacara/ritual adat yaitu diantaranya:
a.    Muludan, memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW (tanggal 12 Rabbi’ul Awal). Dalam acara ini ketua Adat bersama warga khusus mengirim do’a untuk nabi Muhammad karena sudah berjasa membawa agam Islam. Biasanya dalam acara tersebut dihidangkan makanan-makanan khas daerah dan olahan lauk-pauk yang akan dibagikan kepada warga setelah di doakan.
    Adapun proses mauludan itu dilaksanakan sebagai berikut:
1.    Pukul 05.30 masyarakat datang ke rumah adat dengan membawa ayam,
2.    Ratusan orang berkumpul untuk proses pemotongan ayam bersama,
3.    Pukul 07.00-11.00 dilakukan dzikir oleh para bapak-bapak dengan dihidangkan kue,
4.    Selesai dzikir bersama para bapak pulang kemudian ibu-ibu datang ke rumah adat dengan membawa tumpeng,
5.    Kemudian acara terakhir doa bersama oleh kepala adat dan ustadz.
b.    Seren taun (Sukuran hasil panen) dilaksanakan sebagai ungkapan rasa sukur dari petani yang dipimpin oleh ketua Adat, rasa sukur ini ditujukan kepada yang pertama telah memberikan bibit pokok dalam masalah pangan kepada manusia, yaitu yang maha kuasa pertama karena pada hakekatnya bumi tempat tumbuh berbagai macam tanaman yang bermanfaat bagi manusia, maka ketika akan mengambilnya harus meminta izin kepada yang punya. Kegiatan ini dilakukan setelah setelah semua warga selesai panen, dalam proses.
    Seren Taun ditandai dengan peyembelihan kerbau yang dagingnya dimasak dan dijadikan untuk selametan, selanjutnya warga dan ketua adat melakukan ziarah ke makam leluhur ketua adat, dan selanjutnya masyarakat pun melakukan ziarah ke makam kerabatnya. Sepulang ziarah mengadakan selametan lagi sebagai tanda telah mengadakan ziarah kemakam leluhur setelah itu warga mempersiapkan hidangan buat warga dan juga tamu yang sengaja  datang dari luar baik tamu dari instansi pemerintah, mahasiswa, dan juga pedagang. Selanjutnya mengadakan selametan yang dipimpin oleh ketua adat, setelah selesai selametan baru hiburan dimulai seperti jaipongan, golek dan sebagainya, dan kesokan harinya warga mengadakan selametan kembali dengan membawa pangang ayam dan nasi sebakul, ayam yang di pangang di sembelihnya dekat rumah adat.
c.    Sedekah rowahan, tanggal 12 bulan Rowah (Bulan sya’ ban), dilaksanakan pada bulan (sya’ban), pagi hari masyarakat membawa ayam satu ekor per-keluarga, dan disembelih dihalaman rumah adat, setelah selesai dimasak, dibawah lagi ke rumah adat, selametannya di lakukan bada dhuhur, acara ini dan doa yang dikirim sebagai wujud bakti kepada nabi adam alaihi salam karena menjadi induk semua umat manusia.
d.    Sedekah bumi, lewat beberapa bulan setelah selesai bulan Rowah (syaban), puasa (Ramadhan), syawal. Acara ini diadakan sebelum menanam padi. Semua warga makan bersama di halaman rumah adat, sebelum makan bareng warga memanjat Doa agar ketika selama menanam padi selamat dari hama dan tanpa kendala.
e.    Seren pataunan adalah sebuah acara adat penutup tahun. Acara ini bertujuan agar bisa diselamatkan tahun yang sudah dijalani, ritual adat hampir sama dengan seren taun. Yaitu ada acara pemotongan kerbau lalu dilakukan syukuran. Setelah pemotongan kerbau kepala adat menuju bumi alit digiring masyarakat, dan samapai pada malam puncak sekitar pukul 08.00.

1.3.    Rumah Kampung Adat Urug
    Rumah adat di Kampung Urug ada beberapa macam: Bumi Ageung atau Gedong Ijo, sesuai warnanya yang dominan hijau, kemudian yang kedua  di depan Bumi Ageung  berdiri pula sebuah rumah panggung yang lebih kecil dalam nuansa warna yang sama, bumi alit (alias rumah kecil). Bangunan itu terletak paling ujung dan terpencil, terkurung dalam pagar kawat, dan cukup memberi kesan keramat dan sakral. Adapun penjelasan lebih rincinya adalah sebagai berikut:
1.    Bumi Ageung yaitu rumah yang ditempati oleh ketua adat dan biasa dipakai penerimaan tamu ataupun upacara-upacara yang ada di Kampung Urug yang dijadikan sebagai pusat kegiatan. Suasana di dalam Bumi Ageung tampak luas dan sedikit remang-remang. Aroma serbuk kayu  memenuhi ruangan (kebetulan saat itu sedang ada pemugaran di bagian belakang rumah).  Perabot kayu antik menjadi penyekat antar ruang yang terbuka.
2.    Rumah Panggung yaitu sebuah rumah yang berada di depan Bumi Ageung sebagai tempat paniisan (Istirahat arwah leluhur). Tempat ini tidak bisa dikunjungi oleh orang lain, hanya saja yang biasa ke tempat ini adalah seseorang yang membersihkan dan merawat sebanyak 2 kali dalam sebulan. Sedangkan selain dari petugas kebersihan yang boleh masuk adalah Ketua Adat (Abah Ukat) dan Istrinya itupun hanya dilakukan 1 tahun sekali. Tempat ini juga biasa dilakukan untuk semadi kepala adat.
3.    Bumi Alit terletak paling ujung dan terpencil, terkurung dalam pagar kawat, dan cukup memberi kesan keramat dan sakral. Tempat bumi alit ini yaitu kuburan nenek moyang yang tidak diketahui. Seseorang yang bisa masuk yaitu sama hanya Ketua Adat dan istrinya dan itupun dilakukan 2 kali dalam setahun.
4.    Leuit yaitu tempat penyimpanan padi setelah panen dan sebelum ditumbuk. Biasanya diambil pada hari-hari tertentu yaitu kamis dan minggu.

1.4.    Kearifan Lokal Kampung Adat Urug
    Kearifan lokal Kampung Urug ini memilik tiga fungsi yaitu mengatur, mngendalikan dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia baik dalam bermasyarakat, hubungannya denagn alam dan juga hubungannya dengan sang pencipta.
    Ada beberapa kearifan lokal yang ada di Kampung Adat Urug diantaraya adalah konsep ajaran Ngaji Diri yang merupakan falsafah atau pandangan hidup warga kesepuhan adat Urug yang diturunkan oleh leluhur dan dijalankan dan dipakai dalam rutinitas kehidupan. Selanjutnya ialah budaya pamali yang merupakan talek atau aturan, misalnya aturan dalam pengelola pertanian, bahan pangan (padi) dan penggunaan bahan bangunan rumah adat dan rumah warga kasepuhan. Selanjutnya ialah budaya Gotong royong.
1.    Konsep Ngaji Diri
Konsep Ngaji Diri (memahami diri sendiri atau mawas diri) adalah suatu ajaran pembinaan moral yang didalamnya tercermin pengertian koreksi diri. Di Kampung Adat Urug, ajaran Ngaji Diir disebut juga Tapa Manusia (memahami siapa sebenarnya jati diri manusia, hakekat manusia).
Adapun prinsip-prinsp dalan Ngaji Diri:
a.    Mipit kudu amit, ngala kudu menta (mengambil atau memetik itu harus meminta izin kepada yang mempunyainya dengan kata lain jangan mencuri)
b.    Muruh bacot muruh concot (sikap ramah tamah kepada tamu dan harus menjamu tamu dengan hidangan sekedarnya)
c.    Ulah harep teuing bisi tijongklok, ulah tukang teuing bisi tijengkang (jangan terlalu depan nanti tersungkur, jangan teralalu belakang nanti terlentang)
d.    Nafsu kasasarnya lampah, badan anu katempuhan (bila kita terbawa nafsu maka badan yang akan menanggung akibatnya)
2.    Budaya Pamali
Pamali (Tabu) adalah suatu aturan atau norma yang mengikat kehidupan masyarakat adat, dan merupakan turunan ajaran konsep Ngaji Diri.
3.    Budaya Gotong Royong
Gotong royong adalah budaya dan kearifan lokal yang ada di setiap suku-suku bangsa di Indonesia, tak terkecuali di Kampung Adat Urug, nilai gotong royong bisa kita lihat dalam falsafah sunda yaitu “silih asih, silih asah, silih asih silih elingan bejan, ilmu pangempuh kadagelas istilah tersebut mempunyai nilai untuk saling melindungi, membantu, mengayomi, membantu dan menasehati. Nilai yang terkandung dalam falsafah tersebut adalah seperangkat nilai dan pegangan dalam perilaku masyarakat, seperti prilaku gotong royong yang ada di Kampung Adat Urug. Perilaku gotong royong tersebut ialah dalam melakukan proses pertanian yang dilakukan secara bersama-sama seperti penanaman padi bareng, pengurusan irigasi secara bersama-sama, dan panen padi bersama-sama.

1.5.     Sistem Kekerabatan dan Kepemimpinan
Mengenai sistem kekerabatan, di Kampung Urug dikenal dengan tali kekerabatan yang disebut Tatali Kahuripan karena semua yang tinggal di kampung Urug masih memiliki hubungan saudara. Di Kampung Urug dipimpin oleh Ki Kolot Ukat, Ki Kolot Ukat ini yang bertugas mengendalikan dan mempertahankan adat istiadat yang sudah turun temurun. Adapun sistem kepemimpinan di Kampung Urug ini, ada tingkatan tertentu yaitu tingkatan tertinggi yaitu ketua suku, kedua ketua kampung, selanjutya RW dan RT. Mengenai pemilihJadi an ketua suku atau ketua adat, di kampung Urug ini menggunakan wangsit. yang menjadi pemimpin adat tidaklah harus keturunan dari pemimpin adat yang sebelumnya, melainkan yang jadi pemimpin suku selanjutnya itu hanya pemimpin adat (yang sekarang Abah Ukat) yang dapat mengetahuinya.

1.6.    Dokumentasi Kampung Adat Urug

 

 


 

 


 


 



 



 


 



1.7.    Jadwal Kegiatan Observasi Kampung Adat Urug
 A. Hari Pertama (Jum’at, 06 Mei 2016)
    08.00-09.00       Preparing (Halte UIN)
    13.00-13.30       ISHOMA (Musholla kampung Urug)
    13.30-14.15       Ramah Tamah dengan keluarga Abah Ukat
    14.15-17.00       Membaur dengan warga (wawancara dengan bapak Ujang)
    17.00-19.30       ISHOMA
    19.30-22.00       Belajar Mengenal sejarah Kampung Adat Urug Bogor
          22.00-05.00           Istirahat Tidur
 B. Hari Kedua (Sabtu, 07 Mei 2016)
    05.00-07.00       Sholat, Olah Raga, Sarapan Pagi
    07.00-08.00       Menyaksikan Tradisi penumbukan padi
    08.00-10.30       Traking ke sungai bersama anak-anak kampung urug  
    10.30-13.00       ISHOMA
    13.00-16.15      Traking ke tempat penyimpanan padi
    16.15-17.00       Diskusi
    17.00-19.00       ISHOMA
    19.00-20.15       berkunjung ke rumah Sekretaris Desa
    20.15-22.30       Wawancara dengan Abah Maman kepala kampung
    22.30-22.45       Diskusi
22.45-04.50          Istirahat Tidur
C. Hari ketiga (Minggu, 08 Mei 2016)
04.50-07.00      Prepare Pulang, sarapan Pagi
07-00-09.45      Gotong-royong pembongkaran rumah Adat
10.45-11.30      Makan siang, Perpisahan dengan keluarga Abah Ukat
11.30-12.00      Ramah tamah dengan warga sekitar dan Check Out







BAB VI
PENUTUP

1.1.     Kesimpulan
Setelah pemaparan di atas maka dapat disimpulkan sebabgai berikut:
1.    Masyarakat Kampung Urug menganggap bahwa mereka berasal dari keturunan Prabu Siliwangi, raja di kerajaan Padjajaran Jawa Barat. Kata Urug dijadikan nama kampung, karena menurut mereka berasal dari kata "Guru", yakni dengan mengubah cara membaca yang biasanya dari kiri sekarang dibaca dari sebelah kanan.
2.    Masyarakat Kampung Adat Urug hingga kini masih melaksanakan berbagai     upacara/ritual adat yaitu diantaranya: Muludan, Seren taun, Sedekah Rowahan, Sedekah bumi, Seren pataunan.
3.    Rumah adat terdiri dari: Bumi Ageung, Rumah  Panggung , Bumi Alit dan Leuit.
4.    Kearifan lokal Kampung Adat Urug terdiri dari 3 yaitu ngaji diri, budaya pamali dan budaya gotong royong
5.    Adapun sisitem kekerabatannya dalam satu kampung itu masih ada hubungan saudara.

1.2.     Saran
Setiap masyarakat adat pasti memiliki ciri khas yang melembaga dalam ritual kehidupan sehari-hari. Ciri-ciri tersebut telah menjadi identitas yang harus dihormati sebagai wujud pergulatan rasionalitas bagi para penganutnya. Oleh karena itu, tradisi keagamaan masyarakat etnis Kampung Adat Urug hendaknya jangan dipahami sekedar ritualitas belaka melainkan memiliki dimensi spirititualitas yang mendalam yang harus diteliti dan digali kepada masyarakat.

1.3.     Referensi
Astuti Dewi, Risma Rismawati. 1987. Adat Istiadat: Masyarakat Jawa Barat. Bandung: PT. Sarana Panca Karyanusa.
Halimi. 2013. Kearifan Lokal dalam Upaya Ketahanan Pangan di Kampung Urug Bogor. Skripsi pada FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: tidak diterbitkan.

0 komentar:

Posting Komentar

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net