Menurut
cerita orang tua mereka, nenek moyang orang Akit berasal dari semenanjung
Malaka (sekarang Malaysia). Awalnya mereka adalah anak suku bangsa Kit yang
menghuni daratan Asia belakang. Entah karena peperangan, bencana alam atau
wabah penyakit, maka mereka telah mengembara ke selatan sampai ke tepi ombak
yang berdebur, tempat kepiting merangkak dan penyu bertelur. Keadaan telah
memaksa mereka mengenal gelombang dan asinnya air laut, tetapi juga kebebasan
bergerak di atas rakit dan sampan. Dengan demikian mereka telah mulai
mengembangkan kehidupan adaptif di perairan Kepulauan Riau.
Orang Akit
terutama hidup dari hasil berburu, menangkap ikan dan mengolah sagu yang banyak
tumbuh secara liar di pulau Rupat. Mereka berburu babi hutan, kijang atau
kancil dengan menggunakan sumpit bertombak, panah dan kadangkala pakai
perangkap. Senjata sumpit mereka gunakan untuk menjatuhkan burung atau keluang,
tombak untuk menusuk binatang besar dan sebagai alat bela diri. Teman setia
mereka untuk perburuan semacam itu adalah anjing. Setahun sekali mereka panen
durian, selain itu mereka juga pandai membuat tuak dari air enau atau kelapa.
Tidak heran kalau mereka biasa mabuk durian atau mabuk tuak.
Perawakan
Tubuh Orang Suku Akit. Bentuk tubuh mereka tegap-tegap dan lebih tinggi dari
pada umumnya orang-orang Melayu yang berdiam di sekitar wilayah mereka. kulit
mereka berwarna kecoklatan dibakar cahaya matahari dan cuaca perairan, sehingga
menyembunyikan warna aslinya yang kekuning-kuningan. Dahi dan tulang pipinya
tinggi seperti ras Mongoloid pada umumnya. tetapi mata mereka sipit dan
rambutnya agak ikal.
2. MITOLOGI SUKU
AKIT.
Suku Akit
merupakan salah satu suku yang sampai saat ini masih memegang erat adat
istiadatnya. Dalam perjalanan hidupnya, mayoritas dari masyarakat suku Akit
memang sangat peduli akan alam sekitarnya karena mereka juga tinggal dekat
dengan alam.
Masyarakat
akik dikenal dengan sebutan orang akik atau orang Akit. Orang akik merupakan
kelompok yang ada di lingkungan sosial, tepatnya di Provinsi Riau. Panggilan
Akit sendiri dilatarbelakangi oleh kehidupan mereka yang sebagian dihabiskan di
atas rakit. Rakit tersebut mereka pergunakan untuk pindah ke tempat yang baru
di muara sungai dan di pantai laut.
Orang akik
juga membuat bangunan rumah sederhana yang terletak di sekitar pinggir pantai.
Bangunan ini dipakai hanya pada saat melakukan pekerjaan di darat. Diperkirakan
jumlah penduduk dari suku asli Akit ini sekitar 4500 jiwa pada 1984.
Tempat
tersebut memang telah sejak lama dijadikan untuk bermukim orang Akit. Hal ini dibuktikan
dengan catatan sejarah yang ada dan mengatakan bahwa mereka pernah mempunyai
hubungan saat perlawanan menghadapi pasukan Eropa, yaitu dengan kesultanan
Siak.
Pihak
Belanda berusaha untuk memberikan pengaruh terhadap masyarakat Akit. Namun,
orang Akit nampaknya tahu bahwa ini hanya akal-akalan dari pihak Belanda.
Akhirnya, perlawanan sengit pun terjadi antara orang Akit dan pihak belanda.
Ini adalah wujud dari perlawanan orang Akit terhadap berbagai pengaruh yang ada
dari pihak Belanda Senjata yang digunakan oleh masyarakat suku asli Akit dalam
setiap perlawanannya adalah senjata tradisional dalam bentuk panah yang beracun
serta senjata yang ditiup, yaitu senjata
sumpit.
Mata
pencaharian dari masyarakat Akit yaitu mengumpulkan berbagai hasil hutan,
meramu sagu, berburu binatang dan menangkap ikan. Namun, sistem perladangan
yang berlaku secara menetap tidak diketahui orang asli Akit. Jumlah kebutuhan
merupakan tolok ukur untuk pengambilan berbagai hasil hutan yang ada di bagian
tepi pantai.
Cara sederhana
yang mereka lakukan untuk menangkap binatang laut atau ikan yaitu dengan
memasang bubu. Bubu yang dimaksud adalah sebutan untuk alat perangkap ikan yang
digunakan oleh orang Akit. Sementara itu, hasil yang mereka dapat dari
aktivitas meramu sagu pada umumnya bisa memenuhi kebutuhan dalam jangka waktu
beberapa bulan.
a. Kehidupan Suku Akit
Hubungan
yang ada di antara masyarakat lain dengan orang asli Akit memang sangat jarang
dilakukan. Orang Akit menjaga jarak dengan orang luar agar identitas mereka
tidak dapat terpengaruhi oleh berbagai pengaruh dari budaya luar. Jadi, mereka
lebih suka bergaul dengan sesama suku asli Akit agar kebudayaan mereka tetap
terjaga. Memang, dulu mereka termasuk kedalam kelompok suku yang terasingkan.
Para
penduduk yang ada di sekitar masyarakat Akit memang kurang suka berinteraksi
dengan mereka. Hal ini dikarenakan kepercayaan orang Akit yang mereka anggap
berhubungan dengan dunia hitam. Selain itu, orang Akit juga mempunyai kemampuan
untuk membuat obat yang membahayakan bagi nyawa manusia. Selain itu, juga
karena tempat tinggal mereka yang selalu berpindah-pindah.
Ternyata,
pemerintah peduli akan suku bangsa Akit ini. Hal ini ditunjukan dengan
meningkatkan taraf hidup orang Akit dengan cara membangun pemukiman tetap dan
memberikan wawasan mengenai cocok tanam menggunakan teknik pertanian yang sudah
modern.
b. Sistem Kekerabatan
Sistem
kekerabatan yang ada pada suku ini yaitu patrilineal. Hal ini terlihat bila
seorang gadis sudah berusia 15 thun, berarti sudah siap untuk menikah. Adat
yang harus dilakukan sesudah terjadinya pernikahan yaitu tempat tinggal
sepenuhnya ditentukan oleh keinginan suami, baik di tempat tinggal sekitar
kerabatnya ataupun mencari kediaman yang baru. Upacara untuk prosesi pernikahan
pada umumnya ditandai dengan adanya santapan khas, yaitu daging babi serta tuak
yang berasal dari pohon nira. Selain itu, juga terdapat acara menari dan
menyanyi.
3. KEBUDAYAAN DAN
POLITIK SUKU AKIT
Orang Akit
atau orang Akik, adalah kelompok sosial yang berdiam di daerah Hutan Panjang
dan Kecamatan Rupat di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Sebutan “Akit”
diberikan kepada masyarakat ini karena sebagian besar kegiatan hidup mereka
berlangsung di atas rumah sakit. Dengan rakit tersebut mereka berpindah dari
satu tempat ke tempat lain di pantai laut dan muara sungai. Mereka juga
membangun rumah-rumah sederhana di pinggir-pinggir pantai untuk dipergunakan
ketika mereka mengerjakan kegiatan di darat. Pada tahun 1984 jumlah mereka
diperkirakan sekitar 4500 jiwa.
Orang Akit
telah bermukim di daerah ini sejak waktu lampau. Keberadaan mereka dibuktikan
dengan adanya catatan sejarah yang menyebutkan bahwa mereka pernah menjalin
hubungan dengan Kesultanan Siak dalam menghadapi perlawanan pasukan dari Eropa.
Pasukan Belanda yang mencoba menanamkan pengaruhnya di daerah ini tercatat
mengalami beberapa perlawanan dari orang Akit. Pasukan Akit dikenal dengan
senjata tradisional berupa panah beracun dan sejenis senjata sumpit yang
ditiup.
Mata
pencaharian pokok orang Akit adalah menangkap ikan, mengumpulkan hasil hutan,
berburu binatang, dan meramu sagu. Orang Akit tidak mengenal sistem perladangan
secara menetap. Pengambilan hasil hutan yang ada di tepi-tepi pantai biasanya
disesuaikan dengan jumlah kebutuhan. Penangkapan ikan atau binatang laut
lainnya mereka lakukan dengan cara sederhana, misalnya dengan memasang
perangkap ikan (bubu). Hasil meramu sagi biasanya dapat memenuhi kebutuhan akan
sagu selama beberapa bulan.
Hubungan
orang Akit dengan masyarakat lain di sekitarnya boleh dikatakan sangat jarang.
Hal ini didukung oleh kecenderungan mereka untuk mempertahankan identitas
mereka. Beberapa waktu lampau mereka memang masih sering digolongkan sebagai
“suku bangsa terasing”. Penduduk di sekitarnya banyak yang kurang berkenan
menjalin hubungan dengan mereka, karena orang Akit dipercaya memiliki
pengetahuan tentang ilmu hitam dan obat-obatan yang dapat membahayakan.
Kesulitan menjalin hubungan yang disebabkan karena seringnya mereka
berpindah-pindah. Pemerintah dan beberapa kalangan sudah mencoba meningkatkan
taraf hidup mereka, antara lain, dengan mendirikan pemukiman tetap dan
mengajarkan cara-cara bercocok tanam dengan teknik pertanian modern.
Sistem
kekerabatannya bersifat patrilineal. Seorang gadis telah dapat dinikahkah bila
usianya telah mencapai 15 tahun. Adat menetap sesudah nikah menentukan bahwa
seorang isteri mengikuti suaminya di kediaman baru atau di sekitar kediaman
kerabat suaminya. Upacara pernikahan biasanya ditandai dengan hidangan berupa
daging babi dan sejenis tuak dari pohon nira serta acara menyanyi dan menari.
Komunikasi
dengan masyarakat di sekitarnya biasanya dilakukan dengan menggunakan bahasa
Melayu. Walaupun sudah mengenal agama-agama besar, seperti Islam dan Kristen,
sebagian besar dari mereka masih menganut kepercayaan animistik. Pengaruh agama
Budha mereka terima dari kalangan pedagang-pedagang Cina yang banyak datang dan
menetap ke daerah ini
4. KEPERCAYAAN
SUKU AKIT
Menurut
cerita orang tua-tua mereka, nenek moyang orang Akit berasal dan salah satu
anak suku Akit yang menghuni daratan Asia Belakang. Karena suatu alasan mereka
mengembara ke selatan, melewati Semenanjung Malaka. Keadaan telah memaksa
mereka mengenal gelombang dan asinnya air laut, tetapi juga kebebasan bergerak
di atas rakit dan sampan.
Dengan
demikian mereka telah mulai mengembangkan kehidupan adaptif di perairan
kepulauan Riau. Di Kabupaten Kepuluan Meranti, suku Akit dapat kita jumpai di
sekitar pesisir Daeas Tenang, Tebing Tinggi Barat, dan di Desa Nerlang, Tebing
Tinggi Timur.
Menelusuri
suku Akit di Desa Nerlang, di sini terdapat sekitar 40 KK dengan jumlah
penduduk mencapai 264 jiwa. Anak – anak mereka sebagian juga sudah mulai
sekolah. Meski hanya ada 20 anak yang sekolah di SDN 20, namun secara perlahan
suku Akit mulai hidup lebih maju, karena mereka sudah berbaur dengan dengan
masyarakat lainnya.
Orang Akit
menggantungkan kehidupannya kepada kegiatan berburu, menangkap ikan dan
mengolah sagu. Mereka berburu babi hutan, kijang atau kancil dengan menggunakan
sumpit bertombak, panah, dan kadangkala pakai perangkap. Teman setia mereka
untuk perburuan macam itu adalah anjing.
Orang Akit
memiliki adat kebiasaan bersunat yang sebenarnya sudah jauh sebelum agama Islam
masuk. Prinsip garis keturunan mereka cenderung patrilineal. Selesai upacara
perkawinan seorang istri segera dibawa oleh suaminya ke rumah mereka yang baru,
atau menumpang sementara di rumah orang tua suami.
Pemimpin
otoriter boleh dikatakan tidak kenal dalam Masyarakat Suku Akit sederhana ini,
tetapi karena pengaruh kesultanan Siak masa dulu suku bangsa Akit mengenal juga
pemimpin kelompok yang disebut batin. Orang Akit dikenal pemberani dan
berbahaya sekali dengan senjata sumpit beracunnya.
Sehingga
mereka diajak bekerja sama memerangi Belanda yang pada zaman itu sering
menangkapi orang Akit untuk dijadikan budak. Mereka menyebut orang Melayu
sebagai orang selam, maksudnya Islam. Sistem kepercayaan aslinya berorientasi
kepada pemujaan roh nenek moyang. Pada masa sekarang sebagian orang Akit sudah
memeluk agama Budha, terutama lewat perkawinan perempuan mereka dengan
laki-laki keturunan Tionghoa.
Orang Akit
mengenal tiga tahapan penting dalam kehidupan manusia:
1. Hamil dan
melahirkan bayi.
2. Perkawinan.
3. Kematian.
Tahap-tahap
tersebut dianggap sebagi puncak-puncak peristiwa dalam hidup tetapi juga
sebagai tahap-tahap yang paling berbahaya. Untuk itu ada sejumlah upacara yang
bertujuan agar dalam peristiwa-peritiwa penting tersebut si pelaku dan
keluargannya serta Masyarakat Suku Akit tempatnya hidup dapat selamat dari
segala bahaya.
Segala
peristiwa penting yang menyangkut kehidupan manusia secara individual tersebut
berlaku dalam kehidupan keluarga. Suatu keluarga Masyarakat suku Akit pada
dasarnya adalah keluarga inti yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak
mereka.
Ada juga
keluarga Masyarakat suku Akit yang luas, ditambah dengan salah satu orangtua
istri atau suami, atau kemenakan yang menumpang sementara. Jumlah keluarga luas
dalam Masyarakat Akit tidak banyak, karena keadaan seperti itu dianggap sebagai
terkecualian untuk menolong orang jompo atau yang memerlukan pertolongan
sementara.
Salah satu
ciri Masyarakat suku Akit sebagaimana dilihat oleh orang Melayu adalah agama
mereka bersifat animistik. Agama asli Masyarakat suku Akit memang berdasarkan
kepercayaan pada berbagai mahluk halus, ruh, dan berbagai kekuatan gaib dalam
alam semesta, khususnya dalam lingkungan hidup manusia mempunyai pengaruh
terhadap kesejahteraan hidup mereka.
Masyarakat
suku Akit dikenal oleh orang Melayu sebagai pembuat anyaman tikar dan rotan
yang baik. Hal ini disebabkan karena sebagian besar peralatan yang mereka
gunakan dibuat dengan cara mengikat dan menganyam. Mereka menganyam berbagai
wadah untuk menyimpan dan mengangkut barang dari rotan, daun rumbia, daun
kapau, dan kulit kayu. Di masa lampau mereka juga membuat pakaian dari kulit
kayu yang dipukul sedemikian rupa sehingga menjadi tipis, halus serta kuat.
Namun yang lebih unik lagi, dalam berbagai hal tersebut mereka tidak
menggunakan paku sebagai pengaitnya.
Selain
menganyam yang merupakan keahlian dan kebiasaan hidup mereka sehari-hari,
nampaknya tidak ada bentuk kerajinan lainnya. Kesenian yang biasa mereka
nikmati Ungkapan adalah dikir (yang sebetulnya adalah upacara pengobatan secara
ungkapan kesenian dalam bentuk nyanyian atau puisi tidak dikenal.
Dalam
kehidupan Masyarakat suku Akit setiap keluarga harus mempunyai sebidang ladang.
Karena hanya dan hasil ladang itulah mereka dapat memenuhi kebutuhan makanan
mereka sehari-hari. Juga, lahan di ladang itulah mereka hidup, yaitu membangun
rumah, membentuk keluarga, merasa aman dan menemukan jati diri mereka. Mereka
dibesarkan di ladang dan membesarkan anak-anak mereka.
Sistem
kekerabatannya bersifat patrilineal. Seorang gadis telah dapat dinikahkan bila
usianya telah mencapai 15 tahun. Adat menetap sesudah nikah menentukan bahwa
seorang istri mengikuti suaminya di kediaman baru atau di sekitar kediaman
kerabat suaminya. Upacara pernikahan biasanya ditandai dengan hidangan berupa
daging babi dan sejenis tuak dari pohon nira serta acara menyanyi dan menari.
Sebelum
perkawinan dilangsungkan pihak keluarga laki-laki datang kepada keluarga calon
pengantin perempuan dengan membawa tepak sirih, yang lengakp berisi pinang,
kapur, gambir, tembakau dan sirih. Bila pinangan telah di terima oleh pihak
keluarga perempuan, maka sebagai tali pengikat, di berikan sebentuk cincin emas
sebanyak 1 Ci atau 3,75 gram.
Kemudian
baru di susul mengantar uang belanja kepada pihak keluarga perempuan yang
jumlahnya tergantung dari kemampuan dan persetujuan kedua belah pihak. Pada
waktu penyerahan dihadiri oleh ahli waris calon pengantin perempuan yang
jumlahnya tergantung pada kemampuan dan persetujuan dua belah pihak.
Pada
penyerahannya dihadiri oleh ahli waris calon pengantin perempuan dan ketua
suku. Pada hari itu, ditentukan waktu yang tepat untuk melangsungkan pesta
perkawinan.
Ketika
pada sampai hari yang ditentukan, pihak pengantin perempuan menunggu kedatangan
pengantin laki-laki yang diarak dengan rebana. Sampai di halaman rumah
pengantin lelaki disembah oleh pengantin perempuan, selanjutnya mereka berdua
dengan disaksikan oleh kaum kerabat, menghadap ketua suku.
Cara
perkawinannya, pertama dibacakan janji atau taklik, kemudian pengantin lelaki
bersalaman dengan ketua suku (bathin) sambil membacakan akad nikah yang
berbunyi: Si A dikau hari ini kuresmikan nikah mu dengan beberapa saksi dan
wali. Ya Tuhan kami, selamatkanlah anak kami ini dan lindungilah dia. Ucapan
ini dilakukan tiga kali berturut-turut.
Menurt
kebiasaan yang berlaku, suku akit di benarkan untuk memiliki istri 4 dan
dibenarkan untuk bercerai. Suku akit, disamping dipimpin oleh kepala kampung
pada tiap-tiap kepenghuluan, terdapat juga kepala suku yang di sebut dengan
bathin, dibantu oleh pemuka-pemuka suku. Menurut catatan sejarah, suku akit
pernah dipimpin oleh 6 bathin, masing-masing ialah Batin Boja, Batin Betir Pas,
Batin Keding, Batin Sisik, Batin Monong dan Batin Gelimbing, yang berkuasa pada
saat ini.
Bersunat
telah merupakan keharusan menurut kepercayaan yang di terima dari nenek
moyangnya. Biasannya berlaku bagi anak lelaki yang berumur 7 sampai 12 tahun.
Penyunatan dilakukan oleh kepala suku atau bathin dengan mempergunakn pisau.
Anak yag
akan menjalankan sunat duduk diatas batang pisang yang baru di tebang.
Penyunatan di lakukan pagi hari. Sebelum diadakan kenduri dengan menyediakan
nasi ketan kuning dan rebus telur.Seperti disebutkan diatas bahwa segala hasil
penangkapan, ternak babi, hasil tebang kayu teki dan lain-lain, dijual kepada
cina.
Oleh
sesbab itu, suku akit sangat erat berhubungan dengan cina dan seperti keluarga
sendiri. Maka tidak jarang terjadi perkawinan campuran antar suku akit dengan
cina.
Hal ini
dapat dilihat pula, bahwa menurut kepercayaan mereka, ada roh nenek moyangnya
yang bernama “Timbang” dan istrinya yang bernama “Bahul”. Kedua suami istri ini
berada di kayangan. Oleh sebab itu, oleh suku akit sengaja dibangun tempat
menyembah kedua suami istri roh nenek moyannya tersebut, di Sungai Raja Selat
Morong.
Sekali
dalam setahun di adakannya upacara penyembahan yang diikuti oleh seluruh suku
akit dengan disertai kenduri, guna meminta kepada Timbang dan Bahul, untuk
keselamatan peduduk, medatangkan rezeki yang berlimpah ruah dan untuk
meghapuskan dosa. Adakalanya untuk meminta jimat-jimat penjaga diri agar
terhidar dari berbagai macam penyakit.
Cara
sembahyang suku akit untuk menyembah Timbang dan Bahul mirip sembahyang
tompekong bagi bangsa cina.
Bila
seorang meninggal, jenazahnya di tutup dengan di atas pusarnya ditindih dengan
besi kecil. Di atas kepala di beri pelita dan dulang tempat mengumpulkan uang
sumbangan.
Setelah
seluruh ahli waris dan keluarga berkumpul, baru jenazah di mandikan, dengan
memangku jenazah yang terdekat sebanyak 7 orang kemudian di siram dengan air
sabun dan terakhir dengan air bunga. Setelah selesai semua nya dibungkus dengan
kain putih dan di ikat dengan lima ikatan, baru di masukkan kedalam keranda.
Baru kemudian kepala suku membacakan “selamat” sebanyak 3 kali.
Baru di
turunkan ke halaman dan di sembah oleh seluruh keluarga selanjutnya di pikul ke
kuburan. Setelah di masukkan ke dalalm liang kubur. Seluruh ikatan di buka,
terakhir di timbun tanah.
5. SUKU AKIT DAN
HUKUM DIDALAMNYA
Untuk
mendapatkan legitimasi dan pengakuan formal dari pemerintah terhadap Masyarakat
Adat suku Akit sesuai dengan Undang-undang No. 41 Tahun 1999. Dasar Hukum
Tentang Masyarakat Adat Suku Akit didasari oleh konstitusi dan dasar hukum yang
kuat antara lain; Amandemen Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18 B ayat (2)
(Amandemen) Undang-undang Dasar 1945 pada Bab VI yang mengatur tentang Pemerintah
Daerah menegaskan,” Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan prinsip-prinsip perkembangan masyarakat Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam Undang-undang.
Amandemen
Undang-undang Dasar 1945 Bab X A mengatur tentang Hak Asasi manusia pada pasal
28-1 Ayat (3),” Indentitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati
selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban merupakan hak asasi manusia
yang harus dilindungi oleh negara.
Konvensi
ILO (International Labor Organisation) Nomor 169 Tahun 1989 mengenai Masyarakat
Hukum Adat dan penduduk pribumi asli dinegara-neraga merdeka.
Konvensi
PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) tentang keanekaragaman hayati (Convention on
Biologic Diversity) (1992) yang sudah diratifikasi (disyahkan) oleh Pemerintah
Indonesia menjadi Undang-undang No. 5 Tahun 1994, khususnya pasal 8 (j) yang
menekankan pada perlindungan terhadap kearifan adat dalam pelestarian sumber
daya dan keanakaragaman hayati dan hak kepemilikan intelektual masyarakat hukum
adat.
Hal
terpenting lainnya yang mendesak adalah pemerintah harus memberikan jaminan
pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap masyarakat adat suku Akit
atas hak-hak mereka seperti Hak sumber daya alam, wilayah adat, politik, sistem
nilai, adat istiadat, ekonomi dan lainnya. Hak-hak di atas selama ini secara
represif telah diabaikan oleh pemerintah sehingga proses percepatan kemandirian
masyarakat adat suku Akit itu tidak terjadi.
Data
aktual sampai akhir tahun 2014 tentang masyrakat adat suku Akit menyatakan
bahwa tidak seorangpun anak suku Akit yang diterima pemerintah daerah khususnya
Pemkab Meranti sebagai pegawai negeri (PNS). Kemudian pada data yang sama belum
juga tercatat seoarangpun anak suku Akit yang tamat Strata 1 apalagi Strata 2
dan Strata 3.
Belum lagi
jika dilihat dari tingkat ekonomi masyarakat yang hampir 78 persen masyarakat
adat suku Akit hidup dibawah garis kemiskinan.
Komunikasi
yang mereka lakukan yaitu dengan memakai bahasa melayu. Lalu bila dilihat dalam
kepercayaannya Suku Akit ini menganut animisme. Padahal telah banyak agama
besar yang sudah mereka kenal, yaitu agama Kristen dan Islam. Lalu, ada
pengaruh yang datang dari para pedagang Cina, yaitu agama buddha.
6. MATA
PENCAHARIAN DAN HASIL ALAM
Sebagian
besar dari masyarakat di suku asli Akit ini bertahan hidup dengan hasil laut
serta hasil hutan yang ada di sekitar mereka. Masyarakat Akit hidup dengan
kegitan berkebun kelapa dan karet. Selain itu, juga kegiatan menangkap ikan.
Jadi, alam juga merupakan faktor pendukung paling utama dalam kelangsungan
hidup masyarakat Akit.
Bahkan,
sudah hampir puluhan tahun hasil alam yang ada di suku asli Akit mereka
optimalkan hasilnya. Contohnya pengoptimalan pada hutan laut dan hutan bakau.
Selain itu, mereka juga bercocok tanam padi. Kebutuhan sehari-hari bisa mereka
penuhi dengan panen beras yang terjadi setiap delapan bulan sekali.
Akan
tetapi, dengan kemajuan zaman sekarang kesederhanaan yang ada di suku asli Akit
semakin saja terusik. Masyarakat Akit merasa tertinggal dengan berbagai
kecanggihan modern yang ada.
Di dalam
suku asli Akit, dikenal tiga buah tahapan yang ada dalam perjalanan hidup
mereka.
1. proses
kehamilan dan melahirkan
2. proses
perkawinan
3. proses
kematian
Tahap-tahap
itu merupakan puncak peristiwa yang orang Akit alami dalam perjalanan hidupnya,
namun tidak semuanya mendatangkan anugerah melainkan juga musibah. Oleh karena
itu, terdapat upacara adat yang dilakukan agar terhindar dari bebagai bahaya
yang datang pada setiap tahap tersebut. Berbagai peristiwa tersebut merupakan
kejadian di dalam kehidupan manusia yang dialami secara individual.
a. Keluarga
Suatu
keluarga yang berasal dari masyarakat Akit pada umumnya merupakan keluarga inti
yang didalamnya terdiri atas suami , istri serta anak-anak mereka. Akan tetapi,
keluarga masyarakat Akit bila dilihat secara luas bisa ditambah dengan saudara
lain yang tinggal sementara di keluarga tersebut. Jadi, di dalam satu rumah
orang Akit tidak bisa dihuni banyak orang kecuali bila dengan tujuan menolong
sesama seperti menolong orang jompo.
b. Kerajinan dan Kesenian
Masyarakat
dari suku ini terkenal dengan keahliannya dalam membuat anyaman rotan serta
tikar yang baik oleh orang Melayu. Karena semua proses yang ada pada
pembuatannya menggunakan teknik menganyam dan mengikat. Orang Akit menganyam
wadah-wadah yang bisa dipakai untuk menyimpan serta mengangkut barang dari kulit
kayu, daun kapau, daun rumbia dan rotan.
Zaman
dahulu, bahkan mereka menggunakan kulit kayu untuk membuat pakaian. Namun
terlebih dahulu dipukul agar kulit kayu menjadi tipis, kuat, dan juga halus.
Keunikan lainnya yang ada di suku ini yaitu dari berbagai macam kegiatan yang
memerlukan pengait mereka tidak menggunakan paku, melainkan berbagai macam
bahan alami di sekitar mereka. Menganyam bukan hanya hobi ataupun keahlian yang
mereka miliki, melainkan sudah menjadi kegiatan sehari-hari masyarakat Akit.
Lalu,
kesenian masyarakat Akit yaitu menikmati ungkapan. Ungkapan tersebut merupakan
upacara pengobatan yang dilakukan dengan bentuk puisi atau nyanyian yang tidak
dikenal.
c. Dongeng
Beragam
jenis dongeng fabel juga masih ada. Dongeng ini biasanya diberikan sang ibu
sewaktu anak akan tidur. Dongeng yang paling dikenal adalah tentang si kancil.
Dongeng tersebut bisa menjadi sebuah gambaran dari suku ini. Semua kesulitan
yang ada di dalam kehidupan akan bisa teratasi dengan kecerdikan serta keahlian
yang kita miliki.
Di dalam
kehidupannya masyarakat, Akit harus memiliki sebidang ladang. Hal ini
disebabkan karena dari hasil ladang itulah para masyarakat bisa melangsungkan
kehidupannya untuk makan. Selain itu, ladang tersebut juga dipakai untuk
membentuk keluarga, mendirikan rumah, membuat mereka merasa aman, serta di
sanalah mereka bisa menemukan jati diri. Berbagai macam keunikan yang ada di
suku ini seharusnya menghapuskan segala pandangan negatif mengenai suku Akit
ini.
7. PERKAWINAN
DALAM SUKU AKIT
Anak
perempuan mereka dikawinkan setelah berumur lima belas tahun dan anak laki-laki
mereka setelah berumur tujuh belas tahun. Mereka harus menjalani adat bersunat
pada usia 7 sampai 13 tahun, dan ini bukan karena pengaruh Agama Islam. Gadis
yang baru kawin segera dibawa oleh suaminya ke rumah mereka yang baru, atau
menumpang sementara di rumah orang tua suami. Pihak lelaki menyerahkan
"uang beli" kepada orang tua si gadis. Untuk si gadis disediakan pula
mas kawin berupa cincin sepasang, kain baju dan alat rumah tangga selengkapnya.
Untuk pesta kawinnya mereka memotong babi, minum tuak, kemudian menyanyi dan
menari sampai pagi.
a. Suku Akit Dalam Hubungannya Dengan
Kesultanan Siak
Pada zaman
Kesultanan Siak, suku bangsa ini sudah disegani, antara lain karena kemampuan
mereka untuk bertahan hidup di perairan, pemberani dan berbahaya sekali dengan
senjata sumpit beracunnya. Oleh sebab itu mereka diajak bekerja sama memerangi
Belanda yang pada zaman itu sering menangkapi orang Akit untuk dijadikan budak.
Gangguan orang Akit pada zaman kolonial itu dicatat Belanda sebagai perompak
laut yang sulit untuk ditumpas habis.
Dilingkungan
Kesultanan Siak sendiri mereka akhirnya memiliki seorang batin, yaitu pemimpin
masyarakat Akit yang diakui oleh sultan siak. Walaupun sempat berhubungan erat
dengan Kesultanan Siak, orang Akit sendiri amat sedikit terpengaruh oleh
Kebudayaan Melayu, kecuali tunduk kepada kesultanan Siak yang sedang kuat pada
masa itu dan memakai bahasa Melayu ketika berhubungan dengan orang lain, mereka
tetap mempertahankan identitas kesukubangsaannya sendiri.
Mereka
menyebut orang Melayu sebagai orang selam, maksudnya Islam. Sistem kepercayaan
asli mereka yang memuja nenek moyang akhirnya hanya bisa dipengaruhi oleh
ajaran moral Budha. pada masa sekarang banyak sekali perempuan Akit yang
dikawini oleh laki-laki keturunan Tiongkok yang kehidupan ekonominya tidak jauh
berbeda dengan masyarakat Akit pada umumnya. Keturunan Tiongkok perantau ini
nampaknya suka berbesanan dengan orang Akit, terutama agar bisa berdiam di wilayah
tersebut
assalamualaikum, min.....sumber nya dari mana ya?
BalasHapusadakah bukunya?