1.
Mitologi Batak
dan Jenjang Kehidupan Manusia Zaman Keberhalaan
Mitologi batak adalah kepercayaan
tradisional akan dewa-dewi yang dianut oleh orang Batak. agama Batak
tradisional sudah hampir menghilang pada saat ini, begitu juga dengan mitologi
Batak kepercayaan Batak tradisioanl terbentuk sebelum datangnya agama Islam dan
Kristen oleh dua unsur yaitu megalitik kuno dan unsur Hindu yang membenteku
kebudayaan Batak. Pengaruh dari India dapat terlihat dari elemen kepercayaan
seperti asal-usul dunia, mitos penciptaan, keberadaan jiwa tetap ada meskipun
orang telah meninggal dan sebagainya.[1]
Suku Batak yang memiliki banyak
ragam kebudayaan dan seni yang sangat terkenal, suku ini pula memiliki mitologi
yang telah mereka yakini sebagai asal usul penciptaan alam semesta serta
hal-hal lain yang terkait [2] Suku
Batak merupakan salah satu suku besar di Indonesia. Suku Batak merupakan bagian
dari enam sub suku yakni : Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak
Pakpak, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Keenam suku ini menempati daerah
induk masing-masing di daratan provinsi Sumatra utara.[3]
2.
Asal Usul dan
Perkembangan Kepercayaan Parmalim
Istilah Parmalim merujuk kepada
penganut agama Malim. Agama Malim yang dalam Batak disebut “Ugamo Malim”. Ugamo
Malim adalah bentum moderen agama asli suku Batak. Agama asli Batak tidak
memiliki nama sendiri, tetapi pada penghujung abad kesembilan belas muncul
sebuah gerakan anti kolonial. Pemimpin guru mereka adalah Guru Somalaing
Pardede. Agama Malim pada hakikatnya merupakan agama asli Batak, namun terdapat
pengaruh agama Kristen, terutama Katolik dan juga pengaruh agama Islam. Dewa
tertinggi dalam kepercayaan Malim adalah “Debata Mulajadi Na Bolon” sebagai
pencipta manusia, langit, bumi dan segala isi alam semesta yang di sembah oleh
“Umat Ugamo Malim”. Agama Malim terutama dianut oleh suku Batak Toba di
provinsi Sumatera Utara. Sejak dahulu kala terdapat beberapa kelompok Parmalin
namun kelompok terbesar adalah kelompok Malim yang berpusat di Huta Tinggi,
kecamatan Lagu Boti, kabupaten Toba
Samosir.[4]
Awalnya
Parmalim adalah gerakan spiritual untuk mempertahankan adat istiadat dan
kepercayaan kuno yang terancam disebabkan agama baru yang dibawah oleh Belanda.
Gerakan ini lalu menyebar ke tanah Batak menjadi gerakan politik atau
“Parhudamdam” yang menyatukan orang Batak menentang Belanda. Gerakan ini muncul
sekitar tahun 1883 atau tujuh tahun sebelum kematian Sisingamangaraja XII,
dengan pelopornya Guru Somalaing Pardede. [5]
3.
Kepercayaan
Parmalim dan Ajaran-ajarannya
1. Kepercayaan Parmalim
a)
Kepercayaan kepasa Si Pemilik Kearajaan Malim di Banua Ginjang
Agama Malim diturunkan kepada suku bangsa Batak yang dipercayai bersumber
dari Debata Mulajadi Nabolon. Agama ini diajarakan kepada manusia melaui
perantara yakni para malim Debata (utusan atau nabi) yang berdiam di Banua
Tonga, dari sanalah semua asal ajaran itu ada. Menurut agama Malim, sebelum
manusia diciptakan Debata melalui tangan Deakparujar sesungguhnya kerajaan
Malim itu sudah lebih dulu ada di Banua Ginjang. Kemudian Debata menciptakan
dewa-dewa lainnya dan mengangkat mereka sebagai pembantunya sekaligus
mengikutsertakan mereka dalam barisan si pemilik kerajaan Malim di Banua
Ginjang.
Dasar untuk mempercayai semua “si pemilik kerajaan Malim di Banua
Ginjang” tidaklah bersumber dari kitab suci, tetapi merujuk kepada bunyi
tonggo-tonggo (doa-doa), yang disusun oleh Raja Nasiakbagi.
Dapat
disimpulkan, melalui doa-doa itulah parmalim mengimani dan juga menjadikannya
sebagai referensi dalam melaksanakan ritual keagamaan. Bentuk teologi agama
Malim bisa dikatakan monoteisme campuran. Selain memiliki kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa yaitu Debata Mulajadi Nabolon, agama ini juga mengajarkan
kepada parmalim bahwa adanya kepercayaan kepada penguasa supernatural lainnya
yakni sejenis dewa-dewa. Tetapi dewa-dewa ini bukanlah dewa yang mahatinggi
yang derajatnya sama dengan Debata Mulajadi Nabolon. Mereka merupakan ciptaan
dari Debata yang berfungsi untuk membantu-Nya dan bukan yang menentukan alam
semesta. Meskipun begitu, dalam kepercayaan agama Malim dewa-dewa tersebut
wajib dihormati dan disembah melalui upacara agama. Berikut merupakan pemaparan
tentang mereka si pemilik kerajaan Malim di Banua Ginjang.[6]
1) Debata
Mulajadi Nabolon
Tuhan Yang Maha Esa dalam agama
Malim adalah Debata Mulajadi Nabolon yang dalam bahasa Batak bermakna Debata
yang “mahaawal” dan “mahabesar”. Dialah Tuhan yang memiliki sifat maha pencipta,
maha menjadikan, mahakuasa dan awal mula dari segala yang ada. Tidak ada dari
segala yang ada itu tak bermula dari padanya-Nya.[7]
Debata Mulajadi Nabolon adalah dewa
yang menguasai seluruh sekaligus yang menciptakan alam semesta. Debata Mulajadi
Nabolon menciptakan alam semesta secara bertahap, terlebih dahulu ia
menciptakan tiga dewa utama yang disebut dengan Debata Natolu yang ketiganya
bertahta di dunia atas. Dalam susunan dewata, Debata Natolu berada langsung di
bawah Debata Mulajadi Nabolon.Wajib bagi setiap penganut agama Malim
mempercayai wujud-Nya, karena Dia-lah pencipta alam semesta dan si pemilik
utama kerajaan Malim.
2) Debata
Na Tolu
Debata Na Tolu (Debata yang tiga)
adalah nama kesatuan dari dewa yang tiga yaitu dewa Bataraguru, Sorisohaliapan,
dan Balabulan. Ketiga-tiga dewa ini disebut sebagai dewa yang pertama dijadikan
setelah Banua Ginjang beserta isinya. Mereka memiliki tugas dan juga mandat
oleh Debata untuk memberikan pemberkatan kepada manusia. Mereka adalah sumber
dari segala yang diperlukan manusia agar
manusia dapat hidup sejahtera. Tugas Bataraguru adalah sebagai tempat bertanya
manusia tentang segala yang berkaitan dengan uhum (hukum) dan harajoan
(kerajaan).[8]
Dewa kedua dari Debata Na Tolu
adalah dewa Sorisohaliapan. Dewa ini bertugas untuk menurunkan ajaran hamalimon
(keagamaan) kepada manusia di bumi. Menurut kepercayaan Malim, dia adalah asal
mula pangurason (perilaku yang suci), parsuksion (pensucian), haiason
(kebersihan), parsolamon (perilaku yang suci), dan hamalimon (kesalehan). Dan
yang lebih penting lagi disebutkan bahwa dari dialah sumber ajaran agama Malim
yang diturunkan kepada umat manusia melalui manusia terpilih yang disebut
dengan malim Debata (nabi) di Banua Tonga.
Dewa yang ketiga dari Debata Na Tolu
adalah dewa Balabulan. Dewa ini memiliki tugas untuk memberikan penerangan dan
peramalan (panurirangon), ketabiban (hadatuon), dan kekuatan (hagogoon) kepada
manusia.
Orang batak menyebutkan bahwa
Bataraguru adalah dewa keadilan, Sorisohaliapan adalah dewa belas kasih, dan
Balabulan merupakan sumber kejahatan sekaligus sosok yang selalu menyebarkan
hasutan. Orang Batak percaya bahwa Balabulan memliki porsi yang penting dalam
mengelola urusan manusia.
3) Si
Boru Deakparujar
Dalam kepercayaan agama Malim
Deakparujar merupakan salah satu dewa yang wajib disembah oleh parmalim.
Deakparujar adalah satu-satunya dewa yang mendapat kuasa untuk mencipatakan
Banua Tonga (bumi) ini. Setiap upacara keagamaan namanya wajib disebut dan
disembah. Hingga kini ia dipercayai masih berada di bulan. Dasar agama parmalim
mempercayai Deakparujar yakni sama seperti dewa-dewa yang lain adalah bunyi
doa-doa.
4) Nagapadohaniaji
Nagapadohaniaji merupakan salah satu
dewa yang ikut dalam kelompok si pemilik kerajaan Malim di Banua Ginjang. Nagapadohaniaji
diberi tugas oleh Debata Mulajadi Nabolon yakni memelihara Banua Tonga, segala
tugas yang berhubungan dengan pengelolaan bumi dan segala berkaitan dengan
keperluan kesejahteraan manusia. Agama Malim mempercayai bahwa segala
kemakmuran yang ada di bumi ini berasal dari Nagapadohaniaji.
Adapun dalil untuk mempercayai
Nagapadohaniaji sama dengan dewa-dewa lainnya yakni bersumber dari kepercayaan
Batak dahulu yang namanya objek pemujaan dalam upacara bius.
5) Si
Boru Saniangnaga
Salah satu dewa yang wajib diimani
dalam agama Malim ialah Saniangnaga. Dia juga termasuk dewa yang sama
kedudukannya denagn dewa-dewa lainnya yaitu sama-sama si pemilik kerajaan Malim
di Banua Ginjang.
Selain wajib diimani Saningnaga juga wajib disembah setiap upacara
keagamaan, dia juga wajib dihormati.[9]
b) Kepercayaan kepada Si Pemilik Kerajaan Malim di Banua
Ginjang
Istilah harajaon (kerajaan) dalam
agama Malim berbeda pengertiannya dengan pemahaman paa umumnya. Dalam pemahaman
agama Malim, harajaon memiliki makna keagamaan. Berhubungan dengan ini, maka
yang dimaksud dengan raja bukanlah memiliki arti yang sesungguhnya,
tetapi”raja” yang dimaksud yaitu memiliki tugas sebagai pembawa agama.
Dalam kepercayaan agama Malim, ada
empat orang yang tecatat sebagai raja atau malim Debata yang sengaja diutus
Debata khusus kepada manusia suku Batak, yaitu Raja Uti, Simarimbulubosi, Raja
Sisingamaraja, dan Raja Nasiakbagi.
Keempat raja ini diyakini merupakan
perpanjangan tangan Debata utnuk menyampaikan ajaran keagamaan kepada manusia
suku Batak dengan maksud supaya mereka berketuhanan (marhadebataon) dan beramala
beribadat (marhamalimo).[10]
Sebagai perwujudan rasa hormat
kepada malim Debata, nama mereka wajib dipanggil dalam setiap upacara ibadat
dengan maksud agar ruh-ruh mereka turut hadir dalam upacara itu. Mereka dipuja
dengan cara mempersembahkan sejumlah sesaji (pelean).
Berikut ini merupakan beberapa nama
yang termasuk malim Debata sekligus sebagai si pemilik kerajaan Maim di Banua
Tonga.
Raja Uti
Meskipun riwayat hdup Raja Uti tidak
dijelaskan secara detail, tetapi dalam agama Malim ia dipercaya sebagai seorang
utusan Debata yang pertama diangkat untuk mengayomi umat suku bangsa Batak.
Menurut mereka ajaran yang dibawa
oleh Raja Uti perlu dihayati dan dipedomani dalam bercara hidup lebih-lebih
jika berhubungan dengan Tuhan Debata. Raja Uti bagi agama Malim dipercayai
sebagai seorang malim Debata yang
pertama diangkat di Tanah Batak sebagai kerajaan Malim di banua Tonga.[11]
Tuhan
Simarumbulubosi
Agama Malim yang mepercayai bahwa
baik Simarimbulubosi adalah benar sukuBatak asli yang masih berjuai kepada
Siraja Batak. Sifat ketuhanan yang melekat pada diri Simarimbulubosi hanyalah
sebagian dari sifat kuasa yang dimiliki Debata.
Raja
Na Opat Puluh Opat
Dalam kepercayaan agama Malim, Raja
Naopatpuluopat adalah salah satu nama yang tercatat sebagai malim atau utusan
Debata. Kewajiabn mempercayai sebagai
utusan Debata tentu masih merujuk kepada buni doa-doa.
Menyebut nama Raja Na 44 hanyalah
ada dalam kepercayaan agama Malim sementara dalam mitologi Batak, nama tersebut
tidak pernah ada dan tidak pernah
disebut-sebut dalam lembaran cerita rakyat.
Raja
Sisingamangaraja
Raja
Nasiakbagi
c) Kepercayaan
Kepada Habonaran
Salah satu komponen dalam seistem
kepercayaan agama Malim adalah mempercayai adanya ”habonaraní”. Secara harfiah,
kata ”habonaran” dalam bahasa Batak bisa bermakna “kebenaran”.[12]
Istilah habonaran adalah nama yang
disebut dengan nama tohonan (jabatan)
bagi pembantu Debata yang tugasnya yakni mambonarhon (membenarkan). Maksudnya
si pelaku yang memegang tugas
“membenarkan” itu bernama habonaran dan nama ini sesuai dengan tugasnya.
Dalam kepercayaan Malim, habonaran
adalah berwujud ruh atau tondi. Dia adalah ghaib, halus dan zatnya tidak dapat
ditangkap oleh panca indra manusia. Jumlah keseluruhan habonaranI tidak dapat
diketahui dengan angka pasti, namun dapat dipastikan lebih banyak dari jumlah
manusia yang ada di permukaan bumi.
d) Kepercayaan
Kepada Sahala
Dalam kamus bahasa Batak Indonesia
mengartikan sahala sebagai “kharisma”
dan “wibawa”, namun belumlah tepat dengan makna yang sesungguhnya. Vergouwen memaknakan sahala sebagai daya
khusus dari tondi (jiwa). Menurut kepercyaan agama Malim, sahala adalah ruh
suci yang bersumber dari Debata Mulajadi
Nabolon yang diturunkan melalui Balabulan kepada seseorang manusia yang
terpilih.
Wujud sahala adalah gaib, halus dan tidak dapat ditangkap oleh
panca indra manusia an tidak pula diketahui kapan masuk dan hinggap pada diri
manusia. Orang yang dihinggapi sahala disebut “marsahala” (yang mempunyai
sahala).
2. Ajaran-Ajaran agama
Malim
a).
Konsep Kesucian Diri Menurut Agama Parmalim
Agama Malim sebagai jalan pertemuan
dimaksudkan bahwa melalui agama inilah para penganutnya dapat melakukan
hubungan dengan Debata baik pada waktu melakukan upacara keagamaan (ibadat)
maupun diluar ibadat.
Didalam agama Malim ada sejumlah
ajaran dan ibadat yang wajib diamalkan oleh setiap warga parmalim. Apabila
ajaran dan ibadat itu diamalkan dengan baik dan sempurna, maka orang yang
mengamalkan itu disebut telah memiliki apa yang disebut dengan kesucian jiawa
(tondi hamalimon) . Artinya, pada dirinya tertanam ruh atau cahaya kesucian
dari Debata sebagai akibat dari pengalaman ajaran yang sempurna itu. Inilah
konsep kesucian diri yang paling tinggi.
Untuk sampai ke peringkat itu
seseorang harus melewati fase pengamalan agama yang dibawanya yaitu memiliki
pemikiran dan perasaan yang suci (roha hamalimon) dan berkehidupan suci (ngolu
hamalimon). Apabila dua fase pengamalan agama ini telah diamalkan dengan baik
maka seseorang akan berpeluang masuk ke taraf “kesucian diri” (tondi
hamalimon). Taraf pengamalan agama yang demikian inilah yang disebut dengan
takwa, suatu sebutan peringkat tertinggi dalam kedirian manusia parmalim.[13]
sambil berjanji untuk bertobat. Dan
bagi orang yang melakukan dosa besar seperti membunuh, tidak cukup dengan
ucapan biasa, melainkan dengan cara menebus dosa melalui upacara keagamaan
khusus yang disebut dengan mardebata.[14]
4.
Upacara
Keagamaan dalam Kepercayaan Parmalim
Parmalim melaksanakan upacara
(ritual) Patik Ni Ugamo Malim untuk mengetahui kesalahan dan dosa serta memohon ampun dari Tuhan Yang Maha Esa
yang diikuti dengan bergiat melaksanakan kebaikan dan penghayatan semua aturan
Ugamo Malim sejak lahir hingga ajal tiba, seorang “Parmalim” wajib mengikuti 7
aturan Ugamo Malim dengan melakukan ritual (Doa). Ke-7 aturan tersebut adalah :
1)
Martutuake
(Kelahiran)
2)
Pasahat Tondi
(Kematian)
3)
Mararisantu
(peribadatan hari sabtu)
4)
Mardebata
(peribadatan atas niat seseorang)
5)
Mangan Mapaet
(peribadatan memohon penghapusan dosa)
6)
Sipaha Sade
(peribadatan hari memperingati kelahiran Tuhan Simarimbulubosi)
7)
Sipaha Lima
(peribadatan hari persembahan atau kurban)
Tiap tahun ada dua kali ritual besar
bagi Umat Parmalim. Ritual ini dilangsungkan saat masuk tahun baru Batak, yaitu
awal Maret. Ritual lainnya bernama Pameleon Bolon yang dilangsungkan antara
bulan Juni-Juli. Kedua upacara tersebut dilakukan untuk bersyukur atas panen
yang mereka peroleh. Upacara ini juga merupakan upaya untuk menghimpun dana
sosial bersama dengan menyisihkan sebagian hasil panen untuk kepentingan warga
yang membutuhkan.[15]
E. Interaksi Kepercayaan Orang Batak dengan
Agama-agama Lain
Masyarakat suku Batak juga sukar
menerima pengaruh-pengaruh dari luar. Sifat tertutup orang Batak mulai terbuka
setelah terjadi penyerbuan dan pendudukan Islam di bagian Selatan daerah Batak
pada tahun 1830-an, yang kemudian disusul dengan masuknya RMG pada tahun 1861,
hampir bersamaan dengan permulaan masa pendudukan Belanda secara bertahap atas
daerah Batak. Gunung Pusuk Buhit yang
terletak di sebelah barat laut Danau Toba menurut mitologi Batak adalah tempat
asal-usul Batak.[16]
Kekerabatan adalah menyangkut
hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua bentuk kekerabatan
bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan
sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada.
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis
keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak,
dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan
berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu)
maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat
adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap,
kesatuan adatnya adalah Marga Harahap vs Marga lainnya. Berhubung bahwa Adat
Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang seringkali disesuaikan dengan waktu
dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.[17]
[2] Jamaludin S. Hasibuan, Seni Budaya Batak, (Jakarta: PT
Jayakarta Agung Offset, 1885),h.249-252
[6] Ibid, h,117
[7] Ibid, h,117
[8] Ibid, h,119
[9] Ibrahim Gultom, op.cit, h.124
[10] Ibid, h.125
[11] Ibid, h.128
[12] Ibid, h.172
[13] Ibid, h.201
[14] Ibid, h.221
[16] Ibid, h.308
[17] Diakses pada tanggal 17 Maret
http://tunasyeologi.blogspot.co.id/2015/07/resensi-buku-oleh-beriyanti-html
0 komentar:
Posting Komentar