Kamis, 02 Juni 2016

Responding Peaper Agama lokal batak



1.     Mitologi Batak dan Jenjang Kehidupan Manusia Zaman Keberhalaan
Mitologi batak adalah kepercayaan tradisional akan dewa-dewi yang dianut oleh orang Batak. agama Batak tradisional sudah hampir menghilang pada saat ini, begitu juga dengan mitologi Batak kepercayaan Batak tradisioanl terbentuk sebelum datangnya agama Islam dan Kristen oleh dua unsur yaitu megalitik kuno dan unsur Hindu yang membenteku kebudayaan Batak. Pengaruh dari India dapat terlihat dari elemen kepercayaan seperti asal-usul dunia, mitos penciptaan, keberadaan jiwa tetap ada meskipun orang telah meninggal dan sebagainya.[1]
Suku Batak yang memiliki banyak ragam kebudayaan dan seni yang sangat terkenal, suku ini pula memiliki mitologi yang telah mereka yakini sebagai asal usul penciptaan alam semesta serta hal-hal lain yang terkait [2] Suku Batak merupakan salah satu suku besar di Indonesia. Suku Batak merupakan bagian dari enam sub suku yakni : Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Keenam suku ini menempati daerah induk masing-masing di daratan provinsi Sumatra utara.[3]

2.     Asal Usul dan Perkembangan Kepercayaan Parmalim
Istilah Parmalim merujuk kepada penganut agama Malim. Agama Malim yang dalam Batak disebut “Ugamo Malim”. Ugamo Malim adalah bentum moderen agama asli suku Batak. Agama asli Batak tidak memiliki nama sendiri, tetapi pada penghujung abad kesembilan belas muncul sebuah gerakan anti kolonial. Pemimpin guru mereka adalah Guru Somalaing Pardede. Agama Malim pada hakikatnya merupakan agama asli Batak, namun terdapat pengaruh agama Kristen, terutama Katolik dan juga pengaruh agama Islam. Dewa tertinggi dalam kepercayaan Malim adalah “Debata Mulajadi Na Bolon” sebagai pencipta manusia, langit, bumi dan segala isi alam semesta yang di sembah oleh “Umat Ugamo Malim”. Agama Malim terutama dianut oleh suku Batak Toba di provinsi Sumatera Utara. Sejak dahulu kala terdapat beberapa kelompok Parmalin namun kelompok terbesar adalah kelompok Malim yang berpusat di Huta Tinggi, kecamatan Lagu Boti, kabupaten  Toba Samosir.[4]      
Awalnya Parmalim adalah gerakan spiritual untuk mempertahankan adat istiadat dan kepercayaan kuno yang terancam disebabkan agama baru yang dibawah oleh Belanda. Gerakan ini lalu menyebar ke tanah Batak menjadi gerakan politik atau “Parhudamdam” yang menyatukan orang Batak menentang Belanda. Gerakan ini muncul sekitar tahun 1883 atau tujuh tahun sebelum kematian Sisingamangaraja XII, dengan pelopornya Guru Somalaing Pardede. [5]

3.     Kepercayaan Parmalim dan Ajaran-ajarannya
1. Kepercayaan Parmalim
a)  Kepercayaan kepasa Si Pemilik Kearajaan Malim di Banua Ginjang
Agama Malim diturunkan kepada suku bangsa Batak yang dipercayai bersumber dari Debata Mulajadi Nabolon. Agama ini diajarakan kepada manusia melaui perantara yakni para malim Debata (utusan atau nabi) yang berdiam di Banua Tonga, dari sanalah semua asal ajaran itu ada. Menurut agama Malim, sebelum manusia diciptakan Debata melalui tangan Deakparujar sesungguhnya kerajaan Malim itu sudah lebih dulu ada di Banua Ginjang. Kemudian Debata menciptakan dewa-dewa lainnya dan mengangkat mereka sebagai pembantunya sekaligus mengikutsertakan mereka dalam barisan si pemilik kerajaan Malim di Banua Ginjang.
Dasar untuk mempercayai semua “si pemilik kerajaan Malim di Banua Ginjang” tidaklah bersumber dari kitab suci, tetapi merujuk kepada bunyi tonggo-tonggo (doa-doa), yang disusun oleh Raja Nasiakbagi.
Dapat disimpulkan, melalui doa-doa itulah parmalim mengimani dan juga menjadikannya sebagai referensi dalam melaksanakan ritual keagamaan. Bentuk teologi agama Malim bisa dikatakan monoteisme campuran. Selain memiliki kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yaitu Debata Mulajadi Nabolon, agama ini juga mengajarkan kepada parmalim bahwa adanya kepercayaan kepada penguasa supernatural lainnya yakni sejenis dewa-dewa. Tetapi dewa-dewa ini bukanlah dewa yang mahatinggi yang derajatnya sama dengan Debata Mulajadi Nabolon. Mereka merupakan ciptaan dari Debata yang berfungsi untuk membantu-Nya dan bukan yang menentukan alam semesta. Meskipun begitu, dalam kepercayaan agama Malim dewa-dewa tersebut wajib dihormati dan disembah melalui upacara agama. Berikut merupakan pemaparan tentang mereka si pemilik kerajaan Malim di Banua Ginjang.[6]
1)         Debata Mulajadi Nabolon
Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Malim adalah Debata Mulajadi Nabolon yang dalam bahasa Batak bermakna Debata yang “mahaawal” dan “mahabesar”. Dialah Tuhan yang memiliki sifat maha pencipta, maha menjadikan, mahakuasa dan awal mula dari segala yang ada. Tidak ada dari segala yang ada itu tak bermula dari padanya-Nya.[7] 
Debata Mulajadi Nabolon adalah dewa yang menguasai seluruh sekaligus yang menciptakan alam semesta. Debata Mulajadi Nabolon menciptakan alam semesta secara bertahap, terlebih dahulu ia menciptakan tiga dewa utama yang disebut dengan Debata Natolu yang ketiganya bertahta di dunia atas. Dalam susunan dewata, Debata Natolu berada langsung di bawah Debata Mulajadi Nabolon.Wajib bagi setiap penganut agama Malim mempercayai wujud-Nya, karena Dia-lah pencipta alam semesta dan si pemilik utama kerajaan Malim.
2)         Debata Na Tolu
Debata Na Tolu (Debata yang tiga) adalah nama kesatuan dari dewa yang tiga yaitu dewa Bataraguru, Sorisohaliapan, dan Balabulan. Ketiga-tiga dewa ini disebut sebagai dewa yang pertama dijadikan setelah Banua Ginjang beserta isinya. Mereka memiliki tugas dan juga mandat oleh Debata untuk memberikan pemberkatan kepada manusia. Mereka adalah sumber dari segala yang diperlukan  manusia agar manusia dapat hidup sejahtera. Tugas Bataraguru adalah sebagai tempat bertanya manusia tentang segala yang berkaitan dengan uhum (hukum) dan harajoan (kerajaan).[8]
Dewa kedua dari Debata Na Tolu adalah dewa Sorisohaliapan. Dewa ini bertugas untuk menurunkan ajaran hamalimon (keagamaan) kepada manusia di bumi. Menurut kepercayaan Malim, dia adalah asal mula pangurason (perilaku yang suci), parsuksion (pensucian), haiason (kebersihan), parsolamon (perilaku yang suci), dan hamalimon (kesalehan). Dan yang lebih penting lagi disebutkan bahwa dari dialah sumber ajaran agama Malim yang diturunkan kepada umat manusia melalui manusia terpilih yang disebut dengan malim Debata (nabi) di Banua Tonga.
Dewa yang ketiga dari Debata Na Tolu adalah dewa Balabulan. Dewa ini memiliki tugas untuk memberikan penerangan dan peramalan (panurirangon), ketabiban (hadatuon), dan kekuatan (hagogoon) kepada manusia.
Orang batak menyebutkan bahwa Bataraguru adalah dewa keadilan, Sorisohaliapan adalah dewa belas kasih, dan Balabulan merupakan sumber kejahatan sekaligus sosok yang selalu menyebarkan hasutan. Orang Batak percaya bahwa Balabulan memliki porsi yang penting dalam mengelola urusan manusia. 
3)         Si Boru Deakparujar
Dalam kepercayaan agama Malim Deakparujar merupakan salah satu dewa yang wajib disembah oleh parmalim. Deakparujar adalah satu-satunya dewa yang mendapat kuasa untuk mencipatakan Banua Tonga (bumi) ini. Setiap upacara keagamaan namanya wajib disebut dan disembah. Hingga kini ia dipercayai masih berada di bulan. Dasar agama parmalim mempercayai Deakparujar yakni sama seperti dewa-dewa yang lain adalah bunyi doa-doa.

4)         Nagapadohaniaji
Nagapadohaniaji merupakan salah satu dewa yang ikut dalam kelompok si pemilik kerajaan Malim di Banua Ginjang. Nagapadohaniaji diberi tugas oleh Debata Mulajadi Nabolon yakni memelihara Banua Tonga, segala tugas yang berhubungan dengan pengelolaan bumi dan segala berkaitan dengan keperluan kesejahteraan manusia. Agama Malim mempercayai bahwa segala kemakmuran yang ada di bumi ini berasal dari Nagapadohaniaji.
Adapun dalil untuk mempercayai Nagapadohaniaji sama dengan dewa-dewa lainnya yakni bersumber dari kepercayaan Batak dahulu yang namanya objek pemujaan dalam upacara bius.
5)         Si Boru Saniangnaga
Salah satu dewa yang wajib diimani dalam agama Malim ialah Saniangnaga. Dia juga termasuk dewa yang sama kedudukannya denagn dewa-dewa lainnya yaitu sama-sama si pemilik kerajaan Malim di Banua Ginjang.
Selain wajib diimani Saningnaga juga wajib disembah setiap upacara keagamaan, dia juga wajib dihormati.[9]
b)         Kepercayaan  kepada Si Pemilik Kerajaan Malim di Banua Ginjang
Istilah harajaon (kerajaan) dalam agama Malim berbeda pengertiannya dengan pemahaman paa umumnya. Dalam pemahaman agama Malim, harajaon memiliki makna keagamaan. Berhubungan dengan ini, maka yang dimaksud dengan raja bukanlah memiliki arti yang sesungguhnya, tetapi”raja” yang dimaksud yaitu memiliki tugas sebagai pembawa agama.
Dalam kepercayaan agama Malim, ada empat orang yang tecatat sebagai raja atau malim Debata yang sengaja diutus Debata khusus kepada manusia suku Batak, yaitu Raja Uti, Simarimbulubosi, Raja Sisingamaraja, dan  Raja Nasiakbagi. Keempat raja ini diyakini merupakan  perpanjangan tangan Debata utnuk menyampaikan ajaran keagamaan kepada manusia suku Batak dengan maksud supaya mereka berketuhanan (marhadebataon) dan beramala beribadat (marhamalimo).[10]
Sebagai perwujudan rasa hormat kepada malim Debata, nama mereka wajib dipanggil dalam setiap upacara ibadat dengan maksud agar ruh-ruh mereka turut hadir dalam upacara itu. Mereka dipuja dengan cara mempersembahkan sejumlah sesaji (pelean).
Berikut ini merupakan beberapa nama yang termasuk malim Debata sekligus sebagai si pemilik kerajaan Maim di Banua Tonga.
         Raja Uti
Meskipun riwayat hdup Raja Uti tidak dijelaskan secara detail, tetapi dalam agama Malim ia dipercaya sebagai seorang utusan Debata yang pertama diangkat untuk mengayomi umat suku bangsa Batak.
Menurut mereka ajaran yang dibawa oleh Raja Uti perlu dihayati dan dipedomani dalam bercara hidup lebih-lebih jika berhubungan dengan Tuhan Debata. Raja Uti bagi agama Malim dipercayai sebagai seorang  malim Debata yang pertama diangkat di Tanah Batak sebagai kerajaan Malim di banua Tonga.[11]
         Tuhan Simarumbulubosi
Agama Malim yang mepercayai bahwa baik Simarimbulubosi adalah benar sukuBatak asli yang masih berjuai kepada Siraja Batak. Sifat ketuhanan yang melekat pada diri Simarimbulubosi hanyalah sebagian dari sifat kuasa yang dimiliki Debata.
         Raja Na Opat Puluh Opat
Dalam kepercayaan agama Malim, Raja Naopatpuluopat adalah salah satu nama yang tercatat sebagai malim atau utusan Debata. Kewajiabn  mempercayai sebagai utusan Debata tentu masih merujuk kepada buni doa-doa.
Menyebut nama Raja Na 44 hanyalah ada dalam kepercayaan agama Malim sementara dalam  mitologi Batak, nama  tersebut  tidak  pernah ada dan tidak pernah disebut-sebut dalam lembaran cerita rakyat.
         Raja Sisingamangaraja
         Raja Nasiakbagi






c)         Kepercayaan Kepada Habonaran
Salah satu komponen dalam seistem kepercayaan agama Malim adalah mempercayai adanya ”habonaraní”. Secara harfiah, kata ”habonaran” dalam bahasa Batak bisa bermakna “kebenaran”.[12]
Istilah habonaran adalah nama yang disebut dengan  nama tohonan (jabatan) bagi pembantu Debata yang tugasnya yakni mambonarhon (membenarkan). Maksudnya si pelaku yang memegang  tugas “membenarkan” itu bernama habonaran dan nama ini sesuai dengan  tugasnya.
Dalam kepercayaan Malim, habonaran adalah berwujud ruh atau tondi. Dia adalah ghaib, halus dan zatnya tidak dapat ditangkap oleh panca indra manusia. Jumlah keseluruhan habonaranI tidak dapat diketahui dengan angka pasti, namun dapat dipastikan lebih banyak dari jumlah manusia yang ada di permukaan bumi.
d)        Kepercayaan Kepada Sahala
Dalam kamus bahasa Batak Indonesia mengartikan sahala sebagai  “kharisma” dan “wibawa”, namun belumlah tepat dengan makna yang sesungguhnya.  Vergouwen memaknakan sahala sebagai daya khusus dari tondi (jiwa). Menurut kepercyaan agama Malim, sahala adalah ruh suci yang bersumber dari Debata Mulajadi  Nabolon yang diturunkan melalui Balabulan kepada seseorang manusia yang terpilih.
Wujud sahala adalah  gaib, halus dan tidak dapat ditangkap oleh panca indra manusia an tidak pula diketahui kapan masuk dan hinggap pada diri manusia. Orang yang dihinggapi sahala disebut “marsahala” (yang mempunyai sahala).
2.         Ajaran-Ajaran agama Malim
a).  Konsep Kesucian Diri Menurut Agama Parmalim
Agama Malim sebagai jalan pertemuan dimaksudkan bahwa melalui agama inilah para penganutnya dapat melakukan hubungan dengan Debata baik pada waktu melakukan upacara keagamaan (ibadat) maupun diluar ibadat.
Didalam agama Malim ada sejumlah ajaran dan ibadat yang wajib diamalkan oleh setiap warga parmalim. Apabila ajaran dan ibadat itu diamalkan dengan baik dan sempurna, maka orang yang mengamalkan itu disebut telah memiliki apa yang disebut dengan kesucian jiawa (tondi hamalimon) . Artinya, pada dirinya tertanam ruh atau cahaya kesucian dari Debata sebagai akibat dari pengalaman ajaran yang sempurna itu. Inilah konsep kesucian diri yang paling tinggi.
Untuk sampai ke peringkat itu seseorang harus melewati fase pengamalan agama yang dibawanya yaitu memiliki pemikiran dan perasaan yang suci (roha hamalimon) dan berkehidupan suci (ngolu hamalimon). Apabila dua fase pengamalan agama ini telah diamalkan dengan baik maka seseorang akan berpeluang masuk ke taraf “kesucian diri” (tondi hamalimon). Taraf pengamalan agama yang demikian inilah yang disebut dengan takwa, suatu sebutan peringkat tertinggi dalam kedirian manusia parmalim.[13]
sambil berjanji untuk bertobat. Dan bagi orang yang melakukan dosa besar seperti membunuh, tidak cukup dengan ucapan biasa, melainkan dengan cara menebus dosa melalui upacara keagamaan khusus yang disebut dengan mardebata.[14]

4.     Upacara Keagamaan dalam Kepercayaan Parmalim
Parmalim melaksanakan upacara (ritual) Patik Ni Ugamo Malim untuk mengetahui kesalahan dan dosa  serta memohon ampun dari Tuhan Yang Maha Esa yang diikuti dengan bergiat melaksanakan kebaikan dan penghayatan semua aturan Ugamo Malim sejak lahir hingga ajal tiba, seorang “Parmalim” wajib mengikuti 7 aturan Ugamo Malim dengan melakukan ritual (Doa). Ke-7 aturan tersebut adalah :
1)     Martutuake (Kelahiran)
2)     Pasahat Tondi (Kematian)
3)     Mararisantu (peribadatan hari sabtu)
4)     Mardebata (peribadatan atas niat seseorang)
5)     Mangan Mapaet (peribadatan memohon penghapusan dosa)
6)     Sipaha Sade (peribadatan hari memperingati kelahiran Tuhan Simarimbulubosi)
7)     Sipaha Lima (peribadatan hari persembahan atau kurban)
Tiap tahun ada dua kali ritual besar bagi Umat Parmalim. Ritual ini dilangsungkan saat masuk tahun baru Batak, yaitu awal Maret. Ritual lainnya bernama Pameleon Bolon yang dilangsungkan antara bulan Juni-Juli. Kedua upacara tersebut dilakukan untuk bersyukur atas panen yang mereka peroleh. Upacara ini juga merupakan upaya untuk menghimpun dana sosial bersama dengan menyisihkan sebagian hasil panen untuk kepentingan warga yang membutuhkan.[15]

E.        Interaksi Kepercayaan Orang Batak dengan Agama-agama Lain
Masyarakat suku Batak juga sukar menerima pengaruh-pengaruh dari luar. Sifat tertutup orang Batak mulai terbuka setelah terjadi penyerbuan dan pendudukan Islam di bagian Selatan daerah Batak pada tahun 1830-an, yang kemudian disusul dengan masuknya RMG pada tahun 1861, hampir bersamaan dengan permulaan masa pendudukan Belanda secara bertahap atas daerah Batak. Gunung  Pusuk Buhit yang terletak di sebelah barat laut Danau Toba menurut mitologi Batak adalah tempat asal-usul Batak.[16]
Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada.
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap vs Marga lainnya. Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.[17]


[1]
[2] Jamaludin S. Hasibuan, Seni Budaya Batak, (Jakarta: PT Jayakarta Agung Offset, 1885),h.249-252
[3]
[4]
[5]
[6] Ibid, h,117
[7] Ibid, h,117
[8] Ibid, h,119
[9] Ibrahim Gultom, op.cit, h.124
[10] Ibid, h.125
[11] Ibid, h.128
[12] Ibid, h.172
[13] Ibid, h.201
[14] Ibid, h.221
[16] Ibid, h.308
[17] Diakses pada tanggal 17 Maret http://tunasyeologi.blogspot.co.id/2015/07/resensi-buku-oleh-beriyanti-html

0 komentar:

Posting Komentar

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net