A.
Asal-Usul Orang
Samin
Masyarakat Samin adalah sebuah
kelompok masyarakat yang terdapat di Blora, sebuah daerah yang berada di
kawasan Provinsi Jawa Tengah. Masyarakat Samin memiliki kepercayaan, adat
istiadat dan norma-norma tersendiri yang berbeda dengan masyarakat di Jawa pada
umumnya. Mereka hidup berkelompok bersama di luar masyarakat umum, seakan-akan
membentuk suatu komunitas.[1]
Ada dua pendapat menganai asal kata
“Samin”. Pertama, nama Samin berasal dari arti kata Samin itu sendiri, yaitu
kata yang ditasbihkan dari nama seorang tokoh bernama Samin Surosentiko yang
berpengaruh dan membuat sebuah gerakan pemberontakan terhadap pemerintah.[2] Pendapat
kedua, Samin berasal dari dari kata “sami-sami” yang berarti sama-sama. Kata
ini merujuk pada konsep ajaran yang mengedepankan bahwa semua manusia itu sama,
memiliki kedudukan yang sama, hak dan kewajiban yang sama karena semuanya
beasal dari keturunan yang sama, yakni Nabi Adam.[3]
Ajaran Samin atau Saminisme
disebarkan oleh seorang petani yang bernama Samin Surasentiko atau Surantiko
Samin, disebut pula Surontiko Sami. Para pengikut yang mengkultuskannya
mengatakan bahwa Surosentiko Samin adalah “Wong Tiban” atau orang yang tidak
diketahui dari mana datangnya dan kemana perginya. Bahkan di antara pengikutnya
ada yang beranggapan hingga kini Surosentiko Samin masih hidup. Sumber lain menyebutkan Surosentiko Samin
adalah cucu Kyai Keti dari Rejekwesi, Kabupaten Bojonegoro. Mereka masih
mempunyai hubungan darah dengan pangeran Kusumaningayu dari Kerajaan Pajang.
Lahir kira-kira tahun 1859 di Desa Plosokediren sekitar 30 meter dari Blora.
B.
Pandangan
Hidup, Kepercayaan dan Ajaran Orang Samin
Manusia adalah makhluk ciptaan
Tuhan, yang ingin mendekatkan diri kepada-Nya. Oleh karena itu, masalah agama
dan kepercayaan terhadap Tuhan merupakan konsep dasar dalam kehidupan manusia. Masyarakat
Samin, generasi tua khususnya, cenderung masih sangat kuat memegang
prinsip-prinsip ajaran Samin, sehingga dalam pemahaman keagamaan mereka tidak
menganut agama tertentu. Mereka memandang agama sebagai arti kepercayaan dan
keyakinan semua sama, yang berarti semua agama itu baik. Pemikiran ini
bersumber pada suatu pendirian bahwa manusia adalah sama saja, tidak ada
perbedaan, karena sama-sama makhluk hidup yang mempunyai tujuan yang sama
pula. Masyarakat Samin mengikuti ajaran
Samin Surosentiko yang mempunyai kepercayaan sendiri, khususnya bagi generasi
tua. Agama orang Samin disebut agama Adam. Penganut Saminisme mempercayai akan
adanya Tuhan Yang Maha Esa dan mengakui segala bentuk kebaikan agama karena
agama mengajarkan kebaikan kepada setiap umatnya.[4]
a)
Agama
Agama menurut orang Samin berarti
“gaman” (senjata), yaitu “gamane wong lanang”. Mereka sering mengatakan “aku
iki wong, agamaku Adam, jenengku lanang. Adam itu pengucapku”, dari Adamlah
asal hidup dan mati, dan segalanya bersumber pada Dia.[5]
b)
Manusia dan
Kehidupan Alam Dunia
Menurut ajaran
Samin, dunia ini hanya satu, yaitu urip (hidup). Segala sesuatu yang
menampakkan diri tidak lebih dari pewujudan hidup. Manusia pertama adalah Adam
yang diciptakan oleh Bapak Kuasa (langit) dan Ibu Pertiwi (bumi) kemudian
dengan kekuatan yang ada pada Adam lahirlah Ibu Hawa (hawaning pikir). Dalam
penyatuan tubuh keduanya lahirlah seorang puteri. Puteri tersebut dilamar oleh
empat orang yang bernama lor, kidul, wetan, lan kulon. Dalam “sikep laki rabi”
(perkawinan penyatuan antar lawan jenis) terciptalah umat manusia dan kemudian
berkembang dengan bermacam sifat dan karakternya. Di antara semua makhluk yang
berada di muka bumi ini yang tertinggi dan Yang Maha Kuasa adalah manusia
“wong”. Yang disebut wong (manusia) oleh ajaran Samin itu adalah manusia yang
baik, yang tidak pernah melakukan kejahatan, atau mereka yang menyebutnya “wong
Jawa”. Wong Jawa di sini tidak diartikan secara harfiah suku Jawa, melainkan
orang yang jujur, tidak jahat, tidak suka berdusta, baik kepada diri sendiri
maupun orang lain. Agar seseorang menjadi manusia “wong”, maka orang tersebut
harus melakukan praktek hidup dan tingkah laku yang dijalani dengan sepenuh
hati. Seperti menjauhi perbuatan dusta (goroh), menghina (ngina sapa-pada), iri
hati dan sebagainya. Orang yang sudah melaksanakan praktek hidup dan tingkah
laku tersebut baru dianggap sempurna sebagai manusia “wong”. [6]
C.
Upacara
Keagamaan Masyarakat Samin
·
Upacara
Kelahiran
Kelahiran menurut masyarakat Samin
adalah sesuatu hal yang dianggap biasa saja, dan mereka beranggapan bahwa
seseorang yang baru lahir telah membawa jeneng (nama) sendiri-sendiri. Nama
jeneng itu dibagi menjadi jeneng lanang (nama laki-laki) dan jeneng wedok (nama
wanita). Anggapan orang Samin ketika bayi menangis dalam bayi itu berarti sang
bayi sudah ada roh dan telah mendapatkan tempat ngenger (mengabdikan hidup).
Sama seperti masyarakat Jawa, pada umumnya masyarakat Samin juga mengenal
brokohan bancakanmbel-mbel yang dibagi-bagikan kepada tetangga dinamakan
mbrokohiturunan. Kemudian setelah sang bayi berusia lima hari dibuatkan juga
mbel-mbelsepasaran, lalu pada saat bayi berusia sembilan hari juga dibuatkan
mbel-mbel selapan.[7]
·
Upacara Khitan
atau Ditoreh
Masyarakat Samin sebenarnya tidak
mengenal khitan atau sunat. Mereka mempunyai pandangan, mengapa anggota tubuh
yang sudah ada sejak lahir harus dikurangi atau dihilangkan. Akan tetapi dalam
kenyataan sehari-hari, seorang anak laki-laki yang sudah menginjak masa “Adam
Birahi” atau seseorang yang sudah memasuki akil balig juga disunat sebagai
laki-laki yang beragama Islam. Tidak ada upacara resmi dalam melaksanakan sunat
atau ditoreh, hanya si anak dibawa ke bong supit, yang disebut dengan istilah
calak. Masyarakat Samin mengatakan bahwa disunat atau ditoreh itu mengandung
pengertian memperindah alat kelamin.[8]
·
Upacara
Perkawinan
Pengertian perkawinan menurut ajaran
Saminisme ialah bagian dari titik tolak ajaran masyarakat Samin dan merupakan
ajaran yang sangat fundamental, karena perkawinan dari sepasang laki-laki dan
perempuan inilah terjadinya dunia. Dalam perkawinan, ini harus didasari atas
suka sama suka (pada demen) dan tidak ada unsur paksaan. Monogami adalah
prinsip dari perkawinan mereka.[9]
·
Upacara
Kematian
Masyarakat Samin mempunyai tata cara
tersendiri dalam hal kematian. Sama
seperti halnya kelahiran, kematian juga merupakan peristiwa yang biasa. Menurut
orang Samin, orang yang mati itu disebut sebagai salin sandhang (berganti
pakaian). Ini maksudnya apabila roh lepas dari raga (jasmani, tubuh), jiwa
mereka masih tetap hidup dengan memakai jasad yang baru. Manusia itu tidak
pernah mati, yang mati dan rusak itu adalah jasadnya saja.[10]
D.
Etika dalam
Masyarakat Samin
Masyarakat Samin hingga saat ini
masih menjaga statusnya sebagai masyarakat yang masih mempertahankan ajaran
“Saminisme”walau telah banyak pergeseran dan pengaruh dari masyarakat luar.
Akan tetapi, masyarakat Samin akan selalu menjadi bagian dari kehidupan yang
memiliki sifat-sifat yang dekat dengan keselarasan.[11]
Praktek
pengalaman ajaran Samin yang diyakini kebenarannya pada gilirannya mempunyai
implikasi yang sangat kuat pada pembentukkan watak dan karakter mereka.
Beberapa watak yang menonjol dari mereka adalah:
a.
Memegang teguh
janji dan menepatinya “kukoh janji”. Mereka pantang sekali mengingkari janji.
Oleh karena itu, mereka jarang sekali berjanji
dan sangat berhati-hati jika mereka diperkirakan tidak mampu
menepatinya.
b.
Jujur. Sikap
seorang Samin sangat bersahaja, memiliki kejujuran yang mengagumkan dan pantang
berdusta. Mereka tidak suka berbicara berbelit-belit dan selalu mengusahakan
sifat “satunya kata dengan perbuatan”.
c.
Sabar dan tidak
suka kekerasan. Orang Samin memiliki kesabaran yang cukup kuat, bahkan saking
sabarnya mereka tampak dingin dan tak acuh. Mereka tidak suka kekerasan.
Pertentangan dan pertengkaran selalu mereka hindari. Jika ada masalah
diselesaikan dengan jalan musyawarah dengan pendekatan damai.
d.
Ikhlas atau
“nerimo”. Mereka orang yang ikhlas dan menerima.
e.
Santun dalam
menerima tamu. Dalam penghormatan kepada tamu, ada usaha untuk menjamu yang
disajikan dengan senang hati. Tamu yang baik menurut mereka adalah yang
bersikap kekeluargaan, tanpa menunggu dipersilahkan, baik ketika masuk maupun
menikmati hidangan tamu yang demikian mereka anggap sebagai saudara (sedulur).[12]
E.
Interaksi
Kepercayaan Orang Samin dengan Agama-Agama Lain
Interaksi kepercayaan orang Samin
dengan masyarakat sekitar, khususnya yang ada di desa Klopoduwur dan
Sambungrejo cukup baik dan akrab, terutama terhadap sesama masyarakat Samin dan
juga terhadap agama lain dan masyarakat
lain,karena ajaran Samin menganggap semua agama yang ada dan yang dianut banyak
orang adalah baik dan kepercayaan yang dianutnya juga baik. Bahkan dikatakan
sertiap manusia derajatnya sama, tidak boleh menilai orang lain tetapi
menilailah diri sendiri, mereka tidak mengganggu agama lain sehingga orang lain
juga tidak mengganggunya dan ajaran mereka yang paling menonjol adalah tentng
budi pekerti dan menciptakan suatu kerukunan.[13]
[1] Dra. Neng Darol Afia, Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada
Beberapa Suku Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen Agama RI,
1989),h.29
[2] Titi Mungafati Dkk, Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat
Samin, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah, (Yogyakarta: Kementrian Kebudayaan
dan Pariwisata, 2004),h.20
[3] Nurudin dkk, Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat
Samin dan Tengger, (Yogyakarta: LKis,2003),h.50
[4] Ibid
[5] Neng Darol Afia, Op.cit,h.33
[6] Neng Darol, Op.cit, h.36
[7] Tashadi dkk, Op.cit, h.107
[8] Neng Darol Afia, Op.cit, h.37
[9] Ibid.
[10] Titi Mufangati, Op.cit, h.38
[11] Titi Mufangati, Op.cit, h.46
[12] Neng Darol Alfia, Op.cit, h.40
[13] Ibid
0 komentar:
Posting Komentar