Kamis, 02 Juni 2016

Responding paper Suku Samin




A.    Asal-Usul Orang Samin
Masyarakat Samin adalah sebuah kelompok masyarakat yang terdapat di Blora, sebuah daerah yang berada di kawasan Provinsi Jawa Tengah. Masyarakat Samin memiliki kepercayaan, adat istiadat dan norma-norma tersendiri yang berbeda dengan masyarakat di Jawa pada umumnya. Mereka hidup berkelompok bersama di luar masyarakat umum, seakan-akan membentuk suatu komunitas.[1]
Ada dua pendapat menganai asal kata “Samin”. Pertama, nama Samin berasal dari arti kata Samin itu sendiri, yaitu kata yang ditasbihkan dari nama seorang tokoh bernama Samin Surosentiko yang berpengaruh dan membuat sebuah gerakan pemberontakan terhadap pemerintah.[2] Pendapat kedua, Samin berasal dari dari kata “sami-sami” yang berarti sama-sama. Kata ini merujuk pada konsep ajaran yang mengedepankan bahwa semua manusia itu sama, memiliki kedudukan yang sama, hak dan kewajiban yang sama karena semuanya beasal dari keturunan yang sama, yakni Nabi Adam.[3]
Ajaran Samin atau Saminisme disebarkan oleh seorang petani yang bernama Samin Surasentiko atau Surantiko Samin, disebut pula Surontiko Sami. Para pengikut yang mengkultuskannya mengatakan bahwa Surosentiko Samin adalah “Wong Tiban” atau orang yang tidak diketahui dari mana datangnya dan kemana perginya. Bahkan di antara pengikutnya ada yang beranggapan hingga kini Surosentiko Samin masih hidup.  Sumber lain menyebutkan Surosentiko Samin adalah cucu Kyai Keti dari Rejekwesi, Kabupaten Bojonegoro. Mereka masih mempunyai hubungan darah dengan pangeran Kusumaningayu dari Kerajaan Pajang. Lahir kira-kira tahun 1859 di Desa Plosokediren sekitar 30 meter dari Blora.

B.    Pandangan Hidup, Kepercayaan dan Ajaran Orang Samin
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan, yang ingin mendekatkan diri kepada-Nya. Oleh karena itu, masalah agama dan kepercayaan terhadap Tuhan merupakan konsep dasar dalam kehidupan manusia. Masyarakat Samin, generasi tua khususnya, cenderung masih sangat kuat memegang prinsip-prinsip ajaran Samin, sehingga dalam pemahaman keagamaan mereka tidak menganut agama tertentu. Mereka memandang agama sebagai arti kepercayaan dan keyakinan semua sama, yang berarti semua agama itu baik. Pemikiran ini bersumber pada suatu pendirian bahwa manusia adalah sama saja, tidak ada perbedaan, karena sama-sama makhluk hidup yang mempunyai tujuan yang sama pula.  Masyarakat Samin mengikuti ajaran Samin Surosentiko yang mempunyai kepercayaan sendiri, khususnya bagi generasi tua. Agama orang Samin disebut agama Adam. Penganut Saminisme mempercayai akan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan mengakui segala bentuk kebaikan agama karena agama mengajarkan kebaikan kepada setiap umatnya.[4]
a)     Agama
Agama menurut orang Samin berarti “gaman” (senjata), yaitu “gamane wong lanang”. Mereka sering mengatakan “aku iki wong, agamaku Adam, jenengku lanang. Adam itu pengucapku”, dari Adamlah asal hidup dan mati, dan segalanya bersumber pada Dia.[5]
b)     Manusia dan Kehidupan Alam Dunia
Menurut ajaran Samin, dunia ini hanya satu, yaitu urip (hidup). Segala sesuatu yang menampakkan diri tidak lebih dari pewujudan hidup. Manusia pertama adalah Adam yang diciptakan oleh Bapak Kuasa (langit) dan Ibu Pertiwi (bumi) kemudian dengan kekuatan yang ada pada Adam lahirlah Ibu Hawa (hawaning pikir). Dalam penyatuan tubuh keduanya lahirlah seorang puteri. Puteri tersebut dilamar oleh empat orang yang bernama lor, kidul, wetan, lan kulon. Dalam “sikep laki rabi” (perkawinan penyatuan antar lawan jenis) terciptalah umat manusia dan kemudian berkembang dengan bermacam sifat dan karakternya. Di antara semua makhluk yang berada di muka bumi ini yang tertinggi dan Yang Maha Kuasa adalah manusia “wong”. Yang disebut wong (manusia) oleh ajaran Samin itu adalah manusia yang baik, yang tidak pernah melakukan kejahatan, atau mereka yang menyebutnya “wong Jawa”. Wong Jawa di sini tidak diartikan secara harfiah suku Jawa, melainkan orang yang jujur, tidak jahat, tidak suka berdusta, baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Agar seseorang menjadi manusia “wong”, maka orang tersebut harus melakukan praktek hidup dan tingkah laku yang dijalani dengan sepenuh hati. Seperti menjauhi perbuatan dusta (goroh), menghina (ngina sapa-pada), iri hati dan sebagainya. Orang yang sudah melaksanakan praktek hidup dan tingkah laku tersebut baru dianggap sempurna sebagai manusia “wong”. [6]

C.    Upacara Keagamaan Masyarakat Samin
·       Upacara Kelahiran
Kelahiran menurut masyarakat Samin adalah sesuatu hal yang dianggap biasa saja, dan mereka beranggapan bahwa seseorang yang baru lahir telah membawa jeneng (nama) sendiri-sendiri. Nama jeneng itu dibagi menjadi jeneng lanang (nama laki-laki) dan jeneng wedok (nama wanita). Anggapan orang Samin ketika bayi menangis dalam bayi itu berarti sang bayi sudah ada roh dan telah mendapatkan tempat ngenger (mengabdikan hidup). Sama seperti masyarakat Jawa, pada umumnya masyarakat Samin juga mengenal brokohan bancakanmbel-mbel yang dibagi-bagikan kepada tetangga dinamakan mbrokohiturunan. Kemudian setelah sang bayi berusia lima hari dibuatkan juga mbel-mbelsepasaran, lalu pada saat bayi berusia sembilan hari juga dibuatkan mbel-mbel selapan.[7]
·       Upacara Khitan atau Ditoreh
Masyarakat Samin sebenarnya tidak mengenal khitan atau sunat. Mereka mempunyai pandangan, mengapa anggota tubuh yang sudah ada sejak lahir harus dikurangi atau dihilangkan. Akan tetapi dalam kenyataan sehari-hari, seorang anak laki-laki yang sudah menginjak masa “Adam Birahi” atau seseorang yang sudah memasuki akil balig juga disunat sebagai laki-laki yang beragama Islam. Tidak ada upacara resmi dalam melaksanakan sunat atau ditoreh, hanya si anak dibawa ke bong supit, yang disebut dengan istilah calak. Masyarakat Samin mengatakan bahwa disunat atau ditoreh itu mengandung pengertian memperindah alat kelamin.[8]
·       Upacara Perkawinan
Pengertian perkawinan menurut ajaran Saminisme ialah bagian dari titik tolak ajaran masyarakat Samin dan merupakan ajaran yang sangat fundamental, karena perkawinan dari sepasang laki-laki dan perempuan inilah terjadinya dunia. Dalam perkawinan, ini harus didasari atas suka sama suka (pada demen) dan tidak ada unsur paksaan. Monogami adalah prinsip dari perkawinan mereka.[9]
·       Upacara Kematian
Masyarakat Samin mempunyai tata cara tersendiri  dalam hal kematian. Sama seperti halnya kelahiran, kematian juga merupakan peristiwa yang biasa. Menurut orang Samin, orang yang mati itu disebut sebagai salin sandhang (berganti pakaian). Ini maksudnya apabila roh lepas dari raga (jasmani, tubuh), jiwa mereka masih tetap hidup dengan memakai jasad yang baru. Manusia itu tidak pernah mati, yang mati dan rusak itu adalah jasadnya saja.[10]
D.    Etika dalam Masyarakat Samin
Masyarakat Samin hingga saat ini masih menjaga statusnya sebagai masyarakat yang masih mempertahankan ajaran “Saminisme”walau telah banyak pergeseran dan pengaruh dari masyarakat luar. Akan tetapi, masyarakat Samin akan selalu menjadi bagian dari kehidupan yang memiliki sifat-sifat yang dekat dengan keselarasan.[11]
Praktek pengalaman ajaran Samin yang diyakini kebenarannya pada gilirannya mempunyai implikasi yang sangat kuat pada pembentukkan watak dan karakter mereka. Beberapa watak yang menonjol dari mereka adalah:
a.      Memegang teguh janji dan menepatinya “kukoh janji”. Mereka pantang sekali mengingkari janji. Oleh karena itu, mereka jarang sekali berjanji  dan sangat berhati-hati jika mereka diperkirakan tidak mampu menepatinya.
b.     Jujur. Sikap seorang Samin sangat bersahaja, memiliki kejujuran yang mengagumkan dan pantang berdusta. Mereka tidak suka berbicara berbelit-belit dan selalu mengusahakan sifat “satunya kata dengan perbuatan”.
c.      Sabar dan tidak suka kekerasan. Orang Samin memiliki kesabaran yang cukup kuat, bahkan saking sabarnya mereka tampak dingin dan tak acuh. Mereka tidak suka kekerasan. Pertentangan dan pertengkaran selalu mereka hindari. Jika ada masalah diselesaikan dengan jalan musyawarah dengan pendekatan damai.
d.     Ikhlas atau “nerimo”. Mereka orang yang ikhlas dan menerima.
e.      Santun dalam menerima tamu. Dalam penghormatan kepada tamu, ada usaha untuk menjamu yang disajikan dengan senang hati. Tamu yang baik menurut mereka adalah yang bersikap kekeluargaan, tanpa menunggu dipersilahkan, baik ketika masuk maupun menikmati hidangan tamu yang demikian mereka anggap sebagai saudara (sedulur).[12]

E.    Interaksi Kepercayaan Orang Samin dengan Agama-Agama Lain
Interaksi kepercayaan orang Samin dengan masyarakat sekitar, khususnya yang ada di desa Klopoduwur dan Sambungrejo cukup baik dan akrab, terutama terhadap sesama masyarakat Samin dan juga terhadap agama lain  dan masyarakat lain,karena ajaran Samin menganggap semua agama yang ada dan yang dianut banyak orang adalah baik dan kepercayaan yang dianutnya juga baik. Bahkan dikatakan sertiap manusia derajatnya sama, tidak boleh menilai orang lain tetapi menilailah diri sendiri, mereka tidak mengganggu agama lain sehingga orang lain juga tidak mengganggunya dan ajaran mereka yang paling menonjol adalah tentng budi pekerti dan menciptakan suatu kerukunan.[13]
                                                                                                                                             



[1] Dra. Neng Darol Afia, Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen Agama RI, 1989),h.29
[2] Titi Mungafati Dkk, Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah, (Yogyakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2004),h.20
[3] Nurudin dkk, Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger, (Yogyakarta: LKis,2003),h.50
[4] Ibid
[5] Neng Darol Afia, Op.cit,h.33
[6] Neng Darol, Op.cit, h.36
[7] Tashadi dkk, Op.cit, h.107
[8] Neng Darol Afia, Op.cit, h.37
[9] Ibid.
[10] Titi Mufangati, Op.cit, h.38
[11] Titi Mufangati, Op.cit, h.46
[12] Neng Darol Alfia, Op.cit, h.40
[13] Ibid

0 komentar:

Posting Komentar

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net