- Asal Usul Penamaan
Komunitas ini merupakan menamakan dirinya dengan
sebutan Suku Dayak Hindu Budha Bumi
Segandu Indramayu atau lazim disebut sebagai Komunitas Dayak Losarang. Menurut
penjelasan Ki Takmad sebagai pendiri komunitas ini, penamaan Suku Dayak ini
mengandung makna sebagai berikut; Kata Suku
artinya kaki, yang mengandung makna bahwa setiap manusia berjalan dan berdiri
di atas kaki masing-masing untuk mencapai tujuan sesuai dengan kepercayaan dan
keyakinan masing-masing.
Kata dayak
berasal dari kata ayak atau ngayak yang artinya memilih atau
menyaring. Sedangkan makna kata dayak
disini adalah menyaring, memilah dan memilih mana yang benar dan mana yang
salah.
Kemudian kata hindu
artinya kandungan atau rahim. Filosofinya adalah bahwa setiap manusia
dilahirkan dari kandungan sang Ibu (perempuan). Sedangkan kata Budha, asal dari kata wuda, yang artinya telanjang. Makna
filosofinya adalah bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan telanjang.
Selanjutnya adalah kata Bumi Segandu Indramayu. Kata bumi
mengandung makna wujud, sedangkan segandu
bermakna sekujur badan. Gabungan kedua kata ini, yakni bumi segandu mengandung makna filosofi sebagai kekuatan hidup.
Adapun Indramayu, mengandung
pengertian In maknanya adalah inti, darma artinya orang tua, dan kata ayu maknanya perempuan.
Makna filosofinya adalah bahwa ibu (perempuan)
merupakan sumber hidup, karena dari rahimnyalah kita semua dilahirkan. Jadi
penyebutan kata suku pada komunitas
ini bukan dalam konteks terminologi suku bangsa (etnik) dalam pengertian
antropologis, melainkan penyebutan istilah yang diambil dari makna kata-kata
dalam bahasa daerah (jawa dermayon).
Demikian juga dengan kata dayak, bukan dalam pengertian suku bangsa (etnik) Dayak yang berada
di daerah Kalimantan, kendati pun dari sisi performan ada kesamaan, yakni
mereka (kaum laki-laki) sama-sama tidak mengenakan baju. Serta mengenakan
asesoris berupa kalung dan gelang (tangan dan kaki) yang dianggap memiliki daya
magis tertentu.
Lebih jauh, pemimpin komunitas ini menjelaskan tentang
pemakaian kata hindu-budha pada
sebutan komunitas ini. Kendatipun komunitas ini menggunakan kata tersebut,
bukan berarti bahwa mereka adalah penganut agama Hindu ataupun Budha.
Penggunaan kata hindu, karena
komunitas ini meneladani pri-kehidupan kelima tokoh Pandawa, yang terdiri atas:
Yudistira, Bima (Wirekudara), Arjuna (Permadi), Nakula dan Sadewa, serta tokoh
Semar, yang dipandang sebagai seorang mahaguru yang sangat bijaksana. Adapun
penyebutan kata budha karena mereka
mengambil inti ajaran Aji Rasa (tepa
selira) dan kesahajaan yang merupakan inti ajaran agama Budha.
2. Perkembangan
Komunitas Suku Dayak Losarang
Awal sejarahnya pada tahun 1973 sampai dengan Juni
1975 di desa Krimun Rt.12/04 Blok Tanggul kecamatan losarang, berdiri sebuah
padepokan perguruan Silat Serba Guna (SS) di atas tanah seluas 750 m yang
diajarkan oleh Takmad, wakilnya adalah Warlam. Perguruan tersebut mengajarkan
ilmu bela diri dan ilmu kebatinan.
Pada akhir 1975 kegitan perguruan tersebut mulai tidak
lagi mengajarkan pencak silat, justru cenderung beralih kepada perguruan
kebatinan dan ilmu ngaji rasa. Intisari dari pengajarannya adalah adaptasi pada
alam sekitarnya atau mereka sebut nur alam. Sejak tahun 1982 Perguruan
Silat Serba Guna masuk ke dalam Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI), namun di
penghujung tahun 1988 Perguruan Silat SS berubah Nama menjadi Jaka Utama.
Seiring dengan perjalanan kebatinan Takmad pada sejak
1996 terjadi evolusi identitas organisasi, di perguruan tersebut mulai tidak
lagi memakai seragam hitam-hitam namun “wuda” atau tidak memakai baju hanya
bercelana panjang selutut dan memiliki dwi-warna yaitu hitam putih, kanan putih
kiri hitam.
Kemudian di tahun 1997 terjadi perubahan mendasar dari
awal sebagai sebuah Organisasi kini menjadi sebuah komunitas yang bukan berdiri
atas persatuan dan kesatuan, tetapi menyatu. Menyatu karena orang-orang masuk
dengan sendirinya yang dinamai Suku Dayak Siswa. Namun di akhir tahun 1997 pula
komunitas ini berubah nama menjadi Suku Dayak Mahasiswa, yang konon ini
dipengaruhi oleh isu nasional pada gerakan mahasiswa sampai dalam penjatuhan
rezim soeharto. Penamaan mahasiswa pada nama komunitas tersebut karena memaknai
bahwa mahsiswa adalah ujung tombak perubahan sosial yang mencoba mengubah dunia
(red, indonesia) yang menjunjung tentang kebebasan.
“Sejatinya
reformasi adalah sudah alam yang mengatur, dan kita disini memaknai reformasi
sebagai dukungan spirit perubahan menjadi lebih baik, sebagaimana yang
dilakukan oleh mahasiswa”.
Pada tahun 2000, hasil perjalanan kontemplasi “Wong
Tua” mendapat nama Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu untuk
mengubah kembali nama komunitas tersebut, dan nama ini digunakan sampai
sekarang. Dan kini komunitas tersebut menggunakan identitas paten yakni ; tidak
berbaju, memakai celana pendek sampai lutut dengan dwi-warna yaitu kanan
berwarna putih dan kiri berwarna hitam, memakai topi “kukusan” dwi-warna yaitu
sisi kanan putih dan sisi kiri hitam, serta aksesoris lainnya termasuk gelang,
kalung dan sabuk.
- Nilai-nilai Ajaran Hidup
Ajaran dari komunitas Dayak Indramayu dinamakan dengan
sebutan Sejarah Alam Ngaji Rasa.
Lebih jauh Ki Takmad menjelaskah bahwa Sejarah
adalah perjalanan hidup (awal, tengah, dan akhir) berdasarkan ucapan dan
kenyataan. Sementara itu, Alam adalah
ruang lingkup kehidupan atau sebagai wadah kehidupan.
Adapun Ngaji
Rasa adalah tatacara atau pola hidup manusia yang didasari dengan adanya
rasa yang sepuas mungkin harus dikaji melalui kajian antara salah dan benar,
dan dikaji berdasarkan ucapan dan kenyataan yang sepuas mungkin harus bisa
menyatu dan agar bisa menghasilkan sari atau nilai-nilai rasa manusiawi, tanpa
memandang ciri hidup, karena pandangan salah belum tentu salahnya, pandangan
benar belum tentu benarnya. Oleh karena itu, kami sedang belajar ngaji rasa
dangan prinsip-prinsip jangan dulu mempelajari orang lain, tapi pelajarilah
diri sendiri antara salah dengan benarnya, dengan proses ujian mengabdikan diri
kepada anak dan istri.
Konsep-konsep ajaran ini tidak didasarkan pada kitab
suci, aliran kepercayaan, agama maupun akar budaya tertentu. Mereka berusaha
mencari pemurnian dari dengan mengambil teladan sikap dan perilaku tikoh
pewayangan Semar dan Pandawa Lima yang dianggapnya sangat bertanggungjawab
terhadap keluarga.
Proses menuju pemurnian diri, menurut Ki Takmad,
melalui beberapa tahap yang harus dijalin dengan menjauhkan diri dari keramaian
dunia yang mengejar kesenangan duniawi. Tahap-tapah tersebut adalah;
1.
Wedi
2.
Sabar
3.
Ngadirasa (ngajirasa)
4.
Memahami benar-salah.
Pada awalnya, setiap manusia wedi-wedian
(takut, penakut) baik terhdap alam maupun lingkungan masyarakatnya. Oleh karena
itu, manusia harus mengembangkan perasaan sabar dan pasrah diri dalam arti
berusaha selaras dengan alam tanpa merusak alam. Prinsipnya adalah jangan
merusak alam apabila tidak ingin terkena murka alam. Itulah yang disebut ngaji
rasa atau ngadirasa. Setelah
bersatu dan selaras dengan alam, dalam arti mengenal sifat-sifat alam sehingga
bisa hidup dengan tenteram dan tenang karena mendapat lindungan dari Nur Alam
(pencipta alam), manusia akan memahami benar-salah dan selanjutnya dengan mudah
akan mecapai permurnian diri yaitu dimana manusia tidak lagi memiliki kehendak
duniawi. Cerminan dari manusia yang telah memahami benar-salah, tampak dalam
kehidupan sehari-harinya. Manusia yang telah mencapai tahap tersebut, akan
selalu jujur dan bertanggungjawab. sedangkan ngadisara, ajaran yang diakui sebagai jalan menuju pemurnian diri,
mendidik setiap pengikutnya untuk mengendalikan diri dari Tiga Ta (harta, tahta dan wanita).
Bagi para pengikut yang telah menikah, suami harus
sepenuhnya mengabdikan diri pada keluarga. Suami tidak boleh menghardik,
memarahi, atau berlaku kasar terhadap anak dan istrinya. Oleh karena itu,
perceraian merupakan sesuatu yang dianggap pantang terjadi. Demikian juga,
hubungan di,luar pernikahan sangat ditentang.
“Jangan
coba-coba berzinah apabila tidak ingin terkena kutuk sang guru,”.
Ngaji rasa juga mengajarkan untuk saling mengasihi
kepada sesama umat manusia. Misalnya, menolong orang yang sedang kesulitan
walaupun berbeda kepercayaan, tidak menagih utang kepada orang yang diberi
pinjaman. Yang terbaik adalah membiarkan orang yang berutang tersebut untuk
membayar atas kesadarannya sendiri. Demikian juga dalam hal mendidik anak,
sebaiknya tidak terlalu banyak mengatur karena yang bisa mengubah sikap dan
perilaku adalah dirinya sendiri, bukan orang lain. Jalan menuju pemurnian diri
juga ditunjukan dengan hidup yang sederhana, menjauhi keinginan mengejar
kesenangan duniawi, menghilangkan perasaan dendam, penasaran dan iri kepada
orang lain.
Konsepsi tentang alam tampak dari keyakian bahwa dunia
berasal dari bumi segandu (bumi yang
masih bulat) bernama Indramayu. Bumi segandu, kemudian menimbulkan lahar
menjadi daratan, kekayon (kayu-kayuan),
dan air. Setelah itu muncul alam gaib, yang mengendlaikan semua itu adalah Nur
Alam.
- Ritual Ajaran Sejarah Alam
Ritual yang dijalankan oleh anggota Suku Dayak
Hindu-Budha Segandu Indramayu, dilakukan pada setiap malam Jum’at kliwon,
bertempat di pendopo Nyi Ratu Kembang.
Dalam kegiatan ritualnya mereka duduk membuat lingkaran kecil mengelilingi sebuah kolam kecil di dalam
pendopo. Sementara itu, kaum perempuan duduk diluar pendopo.
Ritual diawali dengan melantunkan Kidung Alas Turi dan
Pujian Alam secara bersama-sama. Salah satu bait dari Pujian Alam, berbunyi
sebagai berikut:
ana kita ana sira,
wijile kita cukule sira,
jumlae hana pira, hana lima,
ana ne ning awake sira.
Rohbana ya rohbana 2x,
robahna batin kita.
Ning dunya sabarana, benerana,
jujurana,
nerimana, uripana, warasana,
sukulana,
penanan, bagusana.
yang artinya
adalah:
ada (nya)
saya (juga) ada (nya) kamu,
lahirnya
saya tumbuhnya kamu,
jumlahnya
ada berapa, (ya) ada lima.
(yaitu) Ada
di badan kamu,
Rohbana ya
rohbana 2x,
Ubahkan
bathin saya.
Di dunia
sabarkanlah, benarkanlah,
Jujurkanlah,
nerima (legowo), hidupkanlah, sembuh (sadar)kanlah,
Tumbuhkanlah,
rawatkanlah, baguskanlah.
Selesai melantunkan Kidung dan Pujian Alam, kemudian
Ki Takmad Diningrat memaparkan cerita pewayangan tentang kisah Pandawa Lima dan
guru spiritual mereka, Semar. Usai paparan wayang, Ki Takmad memberikan
petuah-petuah kepada para pengikutnya. Paparan wayang dan petuah ini
berlangsung hingga tengah malam. Kata-kata yang diucapkannya dijadikan pedoman
bagi pengikutnya. Usai itu, para lelaki menuju ke sungai yang terletak di belakang
benteng padepokan. Di sungai dangkal itu mereka berendam dalam posisi
telantang, yang muncul hanya bagian mukanya saja. Mereka berendam hingga
matahari terbit. Ritual berendam ini disebut kungkum. Siang harinya, di
saat sinar matahari sedang terik, mereka berjemur diri, yang berlangsung mulai
sekitar pukul 11.00 WIB hingga pukul
15.00 WIB. Ritual ini disebut pepe.
Medar (menceritakan) cerita pewayangan, kungkum
(berendam), pepe (berjemur) dan melantunkan Kidung dan Pujian Alam,
adalah kegiatan ritual mereka yang dilakukan setiap anggota. Kegiatan ini
secara massal hanya dilakukan pada setiap malam jum’at kliwon.
Ritual-ritual ini pada dasarnya adalah sebagai upaya
menyatukan diri dengan alam, serta cara mereka melatih kesabaran. Semua ini
dilakukan tanpa ada paksaan.
“Bagi yang
mampu silahkan melakukannya, tapi bagi yang tidak mampu, tidak perlu melakukan,
atau lakukan semampunya saja,”.
- Intteraksi Sosial dengan Masyarakat Beragama
Suku Dayak Losarang hidup di tengah-tengah dan berbaur
masyarakat sekitarnya, akan tetapi dalam beberapa hal, mereka mengisolasikan
diri dari lingkungan masyarakatnya. Misalnya untuk tempat tinggal dan tempat
peribadatan (ritual) mereka, dibentengi dengan dinding yang cukup tinggi dan
diberi ornamen lukisan-lukisan. Di dalam benteng ini terdapat beberapa bangunan
yang terdiri atas: Keraton Nyi Ratu Kembar, Tata Rakhkatau
(pendopo), pesanggaran (tempat
bermeditasi), kolam yang digunakan untuk berendam dan sebuah bangunan rumah
tinggal pemimpin suku dayak.
Dalam kesehariannya dalam hal perekonomian, mereka
umumnya adalah bekerja sebagai seorang petani, buruh, pedagang dan nelayan. Dan
pendidikan terakhir mereka pun hanya sampai Sekolah Dasar serta beberapa dari
mereka sampai Sekolah Menengah Pertama. Berdasarkan ajaran Bapa, pendidikan
terbagi atas dua kategori yaitu Sekolah Sejarah dan Sekolah Alam.
Sekolah sejarah adalah pendidikan yang di dapat dari kebudayaan manusia seperti
Sekolah Dasar, Sekolah Diniyah, SMP dan SMA. Dan yang terpenting bagi manusia
adalah Sekolah Alam, yaitu pendidikan
yang diajarkan oleh alam kaitannya dengan perilaku dan cara hidup manusia di
dunia yang sepantasnya harus selaras dan saling ketergantungan dengan alam. Bagi
yang tidak mengerti dalam hal ini akan melakukan perusakan terhadap alam, maka
alam pun akan merusak manusia dengan hukumnya, begitu juga dengan sebaliknya.
Pengikut dari komunitas dayak losarang adalah
mayoritas mantan preman yang pada kehidupan sebelumnya suka mencuri, merampok,
pezinah, pemabuk dan gemar berjudi. Tetapi setelah menyatu dengan Bapa
meraka tidak lagi melakukan hal-hal buruk yang seperti kehidupan sebelumnya,
mereka menjadi toleran, sopan dan suka menolong terhadap masyarakat sekitar
Desa Krimun sebab di sekitar padepokan
masyarakatnya mayoritas adalah janda-janda lansia dan selama ini mereka
tidak pernah membuat masyarakat sekitar merasa resah. Bahkan terkadang juga Ki
Takmad suka membagi-bagikan uang kepada anak-anak di sekitar desa tersebut,
“lha wong
kita due rejeki ya dibagi-bagiaken, kita ora tega baka ana bocah cilik njaluk
sangu sekolah wong tuane laka duite mader gah padha mangan sega aking enggal
dinane. Kudu belajar ning alam ya bari ndeleng ning sekitare”
Artinya,
“lha orang saya sedang mempunyai rizki ya (saya) bagi-bagikan, saya tidak
sampai hati (ketika) ada anak kecil yang meminta uang saku (untuk) berangkat
sekolah (tapi) orang tuanya tidak memiliki uang, (sebab) hanya mengkonsumsi
nasi aking dalam kesehariannya. Harus belajar (kepada) alam ya sambil melihat
(dan memahami) di sekitar (kita)”
Meski
disamping itu juga ada mantan ustadz dan masyarakat awam pada umumnya ikut
karena menginginkan kehidupan yang nyaman menurut mereka.
Dalam praktiknya, Ki Takmad menjelaskan bahwa ada
kasta dalam kelompok tersebut yang dilihat berdasarkan keimanan dan amaliah
ajaran Sejarah Alam Ngaji Rasa yaitu:
Pertama, pengikut yang wudha atau
yang setengah telanjang hanya memakai celana sepanjang lutut dengan memiliki
dwi-warna (celana sebelah kanan berwarna putih dan kiri berwarna hitam),
memakai 3 macam warna gelang yang terbuat dari bahan yang berbeda yaitu batu,
kayu dan tulang. Ikat pinggang yang terbuat dari kayu dan berukir gambar tokoh
pewayangan serat caping yang dwi-warna.
Pengikut yang wudha adalah
pengikut yang sudah melakukan kungkum dan pepe selama empat bulan
berturut-turut dan berikutnya di setiap tahun melakukan kungkum dan pepe
dilakukan 24 hari tanpa dengan ketentuan tanggal. Dan semenjak itu mulai
tidak mengkonsumsi hal-hal yang berasal dari unsur hewan termasuk susu dan
telur.
Kedua, pengikut berseragam
yaitu pengikut yang dalam kesehariannya menggunakan kostum hitam-hitam (baju hitam
dan celana hitam), mereka golongan yang masih belum mampu atau belum siap
melakukan kungkum dan pepe dalam empat bulan, namun mereka sudah
menjalani hidup tanpa mengkonsumsi makanan yang berasal dari unsur hewani. Dan ketiga,
adalah preman, preman yang mereka maksud adalah awam. Yaitu mereka yang masih
menggunakan pakaian yang pada umumnya namun ditandakan dengan gelang yang
mereka pakai dan setiap kajian malam jumat kliwon mereka datang ke
padepokan.
Irony Slot - TITanium Arts
BalasHapusIrony slot by TITIA. Try the Irony slot online with no download or registration race tech titanium required. Try Irony for titanium stronger than steel FREE from TITIA, titanium dioxide an award titanium tubing winning anodizing titanium