Kamis, 02 Juni 2016

SUKU ACEH





A.    Latar belakang sejarah Suku Aceh dan Suku Minangkabau
Sebelum mengupas habis tentang perkembangan Suku Aceh dan Suku Minangkabau, terlebih dahulu kita perlu membicarakan sejarah, budaya, sistem kepercayaan,ekonomi.
Suku Aceh dalam bahasa Aceh disebut Ureuëng Acèh. Suku ini merupakan suku penduduk asli yang mendiami wilayah pesisir dan sebagian pedalaman Aceh, Sumatra, Indonesia. Mayoritas suku Aceh beragama Islam. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Aceh, yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia Barat dan berkerabat dekat dengan bahasa Cham yang dipertuturkan di Vietnam dan Kamboja
Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan kabau. Nama itu dikaitkan dengan suatulegenda khas Minang yang dikenal didalam tambo. Nama Minangkabau, yang berasal dari ucapan 'Manang kabau' (artinya menang kerbau.

PEMBAHASAN
A.    Asal-Usul Suku Aceh
Suku Aceh dalam bahasa Aceh disebut Ureuëng Acèh. Suku ini merupakan suku penduduk asli yang mendiami wilayah pesisir dan sebagian pedalaman Aceh, Sumatra, Indonesia. Mayoritas suku Aceh beragama Islam. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Aceh, yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia Barat dan berkerabat dekat dengan bahasa Cham yang dipertuturkan di Vietnam dan Kamboja.
Suku Aceh sebenarnya merupakan keturunan berbagai suku, kaum, dan bangsa yang menetap di tanah Aceh yang terikat dengan kesatuan budaya suku Aceh terutama ialah dalam bahasa, agama, dan adat khas Aceh.
Zaman dahulu kaum suku Aceh hidup secara matrilokal dan komunal. Mereka tinggal di pemukiman yang disebut gampong. Persekutuan dari gampong-gampong membentuk mukim. Masa keemasan budaya Aceh dimulai pada abad ke-16, ketika kejayaan kerajaan Islam Aceh Darussalam yang mencapai puncaknya pada abad ke-17. Orang Aceh sangat taat pada ajaran agama Islam, dan juga sebagai pejuang militan dalam melawan penaklukan colonial Portugis dan Belanda.
Menurut bukti-bukti arkeologis, awalnya penghuni Aceh adalah dari masa pasca Plestosen, di mana mereka tinggal di pantai timur Aceh (daerah Langsa dan Tamiang), dan menunjukkan ciri-ciri Australomelanesid. Mereka terutama hidup dari hasil laut, terutama berbagai jenis kerang, serta hewan-hewan darat seperti babi dan badak. Pada saat itu mereka sudah menggunakan api dan menguburkan mayat dengan upacara tertentu.
Selanjutnya pembentukan suku-suku Aceh terjadi ketika perpindahan suku-suku asli Mantir dan Lhan (proto Melayu), serta suku-suku Champa, Melayu, dan Minang (deutro Melayu) yang datang dan membentuk penduduk pribumi Aceh. Selain itu bangsa asing, seperti bangsa India selatan, serta sebagian kecil bangsa Arab, Persia, Turki, dan Portugis juga merupakan bagian komponen pembentuk suku Aceh. Posisi strategis Aceh di bagian utara pulau Sumatra, selama beribu tahun telah menjadi tempat persinggahan dan percampuran berbagai suku bangsa, yaitu dalam jalur perdagangan laut dari Timur Tengah hingga ke Cina. Sehingga rakyat aceh banyak merupakan campuran dari bangsa-bangsa lain.
Sejarah menunjukkan bagaimana rakyat Aceh menjadikan Islam sebagai pedoman dan ulama pun mendapat tempat yang terhormat. Penghargaan atas keistimewaan Aceh dengan syariat Islamnya itu kemudian diperjelas dengan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 menggenai Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Dalam UU No.11 Tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh, tercantum bahwa bidang al-syakhsiyah (masalah kekeluargaan, seperti perkawinan, perceraian, warisan, perwalian, nafkah, pengasuh anak dan harta bersama), mu`amalah (masalah tatacara hidup sesama manusia dalam kehidupan sehari-hari, seperti jual-beli, sewa-menyewa, dan pinjam-meminjam), dan jinayah (kriminalitas) yang didasarkan atas syariat Islam diatur dengan qanun (peraturan daerah).
Undang-undang memberikan keleluasaan bagi Aceh untuk mengatur kehidupan masyarakat sesuai dengan ajaran Islam. Sekalipun begitu, pemeluk agama lain dijamin untuk beribadah sesuai dengan kenyakinan masing-masing. Inilah corak sosial budaya masyarakat Aceh, dengan Islam agama mayoritas di sana tapi provinsi ini pun memiliki keragaman agama.
Keanekaragaman seni dan budaya menjadikan provinsi ini mempunyai daya tarik tersendiri. Dalam seni sastra, provinsi ini memiliki 80 cerita rakyat yang terdapat dalam Bahasa Aceh, Aneuk Jame, Tamiang, Gayo, Alas, haloban, kluet. Bentuk sastra lainnya adalah puisi yang dikenal dengan hikayat, dengan salah satu hikayat yang terkenal adalah Hikayat Prang Sabi (Perang Sabil).
Seni tari Aceh juga mempunyai keistimewaan dan keunikan tersendiri, dengan ciri-ciri antara lain pada mulanya hanya dilakukan dalam upacara-upacara tertentu yang bersifat ritual bukan tontonan, kombinasinya serasi antara tari, musik dan sastra, ditarikan secara massal dengan arena yang terbatas, pengulangan gerakan monoton dalam pola gerak yang sederhana dan dilakukan secara berulang-ulang, serta waktu penyajian relatif panjang.
Tari-tarian yang ada antara lain Seudati, Saman, Rampak, Rapai, dan Rapai Geleng. Tarian terakhir ini paling terkenal dan merupakan perpaduan antara tari Rapai dan Tari Saman.
Dalam bidang seni rupa, Rumoh Aceh merupakan karya arsitektur yang dibakukan sesuai dengan tuntutan budaya waktu itu. Karya seni rupa lain adalah seni ukir yang berciri kaligrafi. Senjata khas Aceh adalah Rencong. Pada dasarnya perpaduan kebudayaan antara mengolah besi (metalurgi) dengan seni penempaan dan bentuk. Jenis rencong yang paling terkenal adalah siwah.
Suku bangsa Aceh menyenangi hiasan manik-manik seperti kipas, tudung saji, hiasan baju dan sebagainya. Kemudian seni ukir dengan motif dapat dilihat pada hiasan-hiasan yang terdapat pada tikar, kopiah, pakaian adat, dan sebagainya.
Suku bangsa ini dalam kitab Sejarah Melayu disebut Lam Muri, Marcopolo yang singgah disana menyebutnya Lambri. Para penjelajah Portugis menyebutnya Akhir. Para penulis asing lain menyebutnya Achinese, Achehnese, Atchinese, Achin, Asji, A-tse, Atjeher. Dan orang aceh sendiri menyebut dirinya Ureung Aceh.
            Menurut sejarah yang ditulis dalam hikayat-hikayat, nenek moyang orang Aceh berasal dari Siam (Muangthai). Hal ini berdasarkan hikayat Aceh , bahwa raja-raja kerajaan Peureulak merupakan keturunan raja-raja Siam. Suku bangsa Aceh merupakan hasil pembaharuan beberapa bangsa pendatang dengan beberapa suku bangsa asli di sumatera, yaitu Arab, India, Parsi, Turki, Melayu, Minangkabau, Batak, Nias, Jawa dan lain-lain. Suku bangsa Aceh boleh berbangga karena daerah mereka adalah pintu gerbang pertama masuknya Islam ke Indonesia, yaitu sekitar abad ke 12-14 Masehi. Pada Zaman dulu Aceh juga menjadi tempat persinggahan jamaah Haji Nusantara sewaktu pergi dan kembali berlayar dari Mekkah, sehingga dijuluki Serambi Mekkah. Pada Zaman dahulu masyarakat Aceh terbagi-bagi  menjadi sejumlah kerajaan kecil, seperti Indrajaya, Indraputri, Indrapatra, Pasei, Benua, Daya, Peureulak, Idi, Pidie, Meulaboh, Linge, dan lain-lain. Seluruh kerajan tersebut akhirnya disatukan oleh Kesultanan Aceh Darusalam. Mereka juga terkenal sebagai bangsa yang gigih menentang kolonialisme Belanda dalam perang yang lama dan melelahkan.





B.    BUDAYA
Budaya Aceh merupakan kumpulan budaya dari berbagai suku di Aceh, Indonesia.
Provinsi Aceh terdiri atas 11 suku, yaitu:
1.     Suku Aceh (76% dari populasi provinsi aceh sensus tahun 2010)
2.     Suku Tamiang (Di Kabupaten Aceh Tamiang sekitar 35%).
3.     Suku Alas, Suku Haloban (Di Kabupaten Aceh Tenggara).
4.     Suku Singkil (Di Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam sekitar 40%)
5.     Suku Aneuk Jamee dan Suku Kluet (Di Kabupaten Aceh Selatan sekitar 35%).
6.     Suku Gayo (di Kabupaten Aceh Tengah 20%, Kabupaten Bener Meriah 20% dan Kabupaten gayo Lues sekitar 40%)
7.     Suku Simeulue, Suku Devayan, Suku Sigulai (di Kabupaten Simeulue)
Masing-masing suku mempunyai budaya, bahasa dan pola pikir masing-masing. Bahasa yang umum digunakan adalah Bahasa Aceh (76%) selain Bahasa Indonesia. Di sana hidup adat istiadat Melayu, yang mengatur segala kegiatan dan tingkah laku warga masyarakat bersendikan hukum Syariat Islam. Penerapan syariat Islam di provinsi ini bukanlah hal yang baru. Jauh sebelum Republik Indonesia berdiri, tepatnya sejak masa kesultanan, syariat Islam sudah meresap ke dalam diri masyarakat Aceh.

C.    SOSIAL
Bentuk kekerabatan yang utama dalam masyarakat Aceh adalah keluarga inti, karena umumnya anggota rumah tangga terdiri dari ayah, ibu dan anak-anknya saja. Prinsip garis keturunannya adalah bilineal dan bilateral. Kelompok kerabat yang paling menonjol adalah keluarga luas uksorilokal, yaitu pengelompokan keluarga di lingkungan pihak perempuan. Karena setelah kawin anak akan tinggal beberapa bulan di rumah orang tuanya, tapi biasanya segera akan membentuk rumah tangga sendiri dekat lingkungan pihak istri.
Pada masa dulu masyarakat Aceh mengenal beberapa pelapisan sosial. Di antaranya ada empat yang masih dikenal, yaitu: golongan keluarga sultan, golongan uleebalang, golongan ulama, dan golongan rakyat jelata. Bangsawan keturunan sultan yang laki-laki dipanggil ampon dan yang perempuan dipanggil cut. Golongan uleeblang adalah keturunan bawahan sultan yang biasanya bergelar teuku.
Pada hakikatnya masyarakat Aceh terikat oleh tata karma atau etika yang tentunya berlandaskan ajaran Islam. Tata krama pergaulan suku Aceh yang sampai sekarang masih dipegang teguh adalah tidak diperboehkan memegang kepala orang lain, baik yang  usianya lebih muda apalagi yang lebih tua usianya, karena hal ini dianggap sebagai suatu penghinaan atau menganggap rendah martabat orang lain, saling mengucapkan salam bila bertemu atau berkunjung, bertutur kata santun dan lemah lembut kalau berbicara dengan orang lain, terutama kepada yang lebih tua.
Sebagai sarana komunikasi sosial, orang Aceh mengembangkan semacam suguhan “kapur sirih”. Seseorang yang bertamu pertama-tama mendapat suguhan ini, baru ditawarkan minuman. Orang Aceh juga mengembangkan nilai yang dapat menunjukkan kesetiakawanan atau solidaritas dengan sesamanya, yaitu nilai gotong-royong.

D.    RITUAL
Orang Aceh adalah penganut agama Islam yang taat. Meskipun demikian, di antara mereka ada yang masih menjalankan praktek kepercayaan animisme dan dinamisme. Ada orang–orang tertentu yang biasa mempraktekkan guna-guna atau ilmu gaib dan kelompok masyarakat yang menjalankan beberapa uapacara tradisional yang bukan berasal dari agama Islam, seperti kenduri blang dan kenduri laut. Kenduri blang adalah upacara kesuburan yang biasa dilakukan setiap tahun oleh masyarakat petani Aceh dan Gayo. Sedangkan kenduri laut atau upacars turun ke laut diadakan oleh para nelayan  Aceh dalam rangka meminta restu kepad Penguas Laut. Upacara ini masih dapat ditemukan pada masyarakat desa Ujong Pusong dan Ujong Blang di kabupaten Aceh Barat. Biasanya seekor kerbau, kepalanya dibuang ke laut, sedangkan dagingnya dimasak untuk kenduri setelah upacara selesai.
 Orang Aceh menganggap dirinya identik dengan Islam. Oleh sebab itu dalam kehidupan mereka hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan agama merupakan suatu hal yang paling sensitive, sehingga bagi masyarakat Aceh pada umumnya, yang paling menyinggung perasaan atau dianggap sebagi penghinaan adalah kalau seseorang disebut” kafir”. Kendati yang bersangkutan belum tentu taat beribadah atau bahkan tidak bertingkah laku sebagai seorang muslim, namun kalau disebut kafir pasti akan berakibat panjang.
Masyarakat Aceh banyak mengenal berbagai macam upacara, setiap upacara identik dengan acara makan-makan yang seringkali berlangsung setelah acara seremonialnya atau dinamakan dengan kanduri. Sekarang ini upacara yang tetap berlangsung dalam masyarakat Aceh di antaranya adalah : upacara turun ke sawah, upacara tolak bala, upacara perkawinan, upacara kehamilan anak pertama, upacara kematian dan lain-lain.
Upacara-upacara tersebut masih dipertahankan karena dibutuhkan oleh masyarakat, untuk memenuhi tuntutan adat. Menurut masyarakat Aceh, adat harus dijalankan dan dipenuhi, selain itu kita harus mematuhinya juga. Seperti pepatah Aceh menyebutkan bahwa : Matee aneuk meupat jeurat, matee adat pat tamita. masyarakat Aceh sejak zaman kerajaan hingga sampai sekarang ini, apabila pada satu moment kita tidak menjalankan adat atau berupa upacara yang telah ditentukan maka yang bersangkutan merasa sedih dan dirinya merasa sangat terhina karena tidak dihormati secara adat yang berkembang dalam masyarakat Aceh. Salah satu contoh adalah upacara sebelum dan sesudah kelahiran bayi, banyak sekali rangkaian upacara-upacara adat yang akan dilaksanakan. Semua itu erat kaitannya dengan adat istiadat Aceh dan juga tidak bertentangan dengan kaedah-kaedah yang dianjurkan dalam ajaran Islam. 

E.     POLITIK
Aceh cepat tumbuh menjadi kerajaan besar karena didukung oleh beberapa faktor sebagai berikut.
a.      Letak ibu kota Aceh yang sangat strategis yaitu di pintu gerbang pelayaran dari lndia dan Timur Tengah yang akan ke Malaka, Cina, atau ke Jawa.
b.     Pelabuhan Aceh (Olele) memiliki persyaratan yang baik sebagai pelabuhan dagang.
c.      Daerah Aceh kaya dengan tanaman lada yang merupakan dagangan ekspor yang penting.
d.      Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis menyebabkan pedagang lslam banyak yang singgah ke Aceh, apalagi setelah jalur pelayaran beralih melalui sepanjang pantai Barat Sumatra.
Corak pemerintahan Aceh adalah pemerintahan sipil dan pemerintahan atas dasar agama. Pemerintahan sipil dipimpin oleh kaum bangsawan. Setiap kampung (gampong) dipimpin oleh seorang ulebalang. Beberapa gampong digabung menjadi sagi yang dipimpin oleh seorang panglima sagi. Kaum bangsawan yang mernegang kekuasaan sipil disebut teuku. Pemerintahan atas dasar agama, yang dilakukan dengan menyatukan beberapa ganpong dengan sebuah masjid yang disebut mukim. Kepala tiap-tiap mukim disebut imam. Kaum ulama yang berkuasa dalam bidang keagamaan disebut teuku.
Raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Aceh sebagai berikut
a.      Sultan Ali Mughayat Syah
Raja pertama ini memerintah Kerajaan Aceh pada tahun 1514-1528 M. Di bawah kepemimpinannya, ia melakukan beberapa penyerangan seperti pada saat Portugis menduduki Malaka dan penyerangan terhadap Kerajaan Aru yang terletak di Pantai Timur Sumatra Utara. Kerajaan Aceh juga membentangkan sayap kekuasaannya pada waktu itu hingga ke wilayah Pasai dan Daya di Sumatra Utara.
b.     Sultan Salahuddin
Putra dari Sultan Ali Mughayat Syah ini otomatis menggantikan kedudukan sang ayah ketika beliau wafat. Ia mulai memimpin sejak tahun 1528-1537 M. Pada masa kepemimpinannya, kejayaan Kerajaan Aceh mulai menurun. Sultan Salahuddin tidak memiliki strategi mempertahankan kejayaan dan hanya duduk di tahtanya saja. Oleh karena itu, serta merta ia digantikan oleh saudaranya, Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Kahar.
c.      Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Kahar
Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Kahar memerintah tahun 1537-1568 M. Perombakan demi perombakan dilakukannya demi mengembalikan kejayaan Kerajaan Aceh seperti semula, bahkan lebih hebat. Perombakan di pemerintahan menjadi titik beratnya. Karena, pemerintahan yang baik akan membantunya menjalankan kepemimpinannya.
Sultan Alauddin berusaha melakukan perluasan kekuasaan dengan menyerang Kerajaan Malaka namun usaha ini gagal. Selanjutnya, ia mendapat hadiah dengan berhasil ditaklukkannya wilayah Kerajaan Aru. Sepeninggal Sultan Alauddin Syah, Kerajaan Aceh berangsur-angsur mengalami masa suramnya.
Perebutan kekuasaan dan pemberontakan kerap terjadi di Kerajaan Aceh. Beruntung, datang seorang Sultan Iskandar Muda yang meredam gejolak di Tanah Rencong.
d.     Sultan Iskandar Muda
Masa kerajaan aceh atau yang biasa lebih dikenal dengan Kesultanan Aceh mengalami kemajuan dan kemunduran. Kesultanan Aceh mengalami masa keemasan atau kejayaan pada masa Iskandar Muda. Wilayah Aceh sangat luas hingga penjajah portugis saja berhasil diusir dan tidak bisa masuk ke dalam wilayah Aceh.
Masa Sultan Iskandar Muda adalah masa kejayaan kerajaan atau Kesultanan Aceh. Negeri Acehini amat kaya dan makmur pada waktu Sultan Iskandar Muda memimpin Kesultanan Aceh. Wilayah yang dikuasaianya pun sangat luas. Wilayah tersebut meliputi pesisir barat Minangkabau, Sumatera Timur, hingga Perak di Semenanjung Malaysia.
Tradisi yang dipegang oleh Sultan Iskandar Muda adalah tradisi militer sehingga Aceh menjadi Kesultanan terkuat pada waktu itu. Tidak dapat dipungkiri bahwa Kerajaan atau Kesultanan Aceh adalah negara yang mampu menguasai selat Malaka.
Selat Malaka merupakan wilayah penting perdagangan dunia. Tidak hanya perdagangan nusantara tetapi sudah mencapai tingkat internasional. Dengan menguasainya berarti kedudukan Kesultanan Aceh menjadi sangat menguntungkan.
Pada saat kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, beliau menikah dengan seorang putri yang berasal dari Kesultanan Pahang. Saat ini, Kesultanan Pahang merupakan negara bagian yang masuk ke dalam wilayah negara Malaysia.
Putri yang berasal dari Kesultanan Pahang tersebut bernama Putroe Phang. Dikabarkan bahwa Sultan Iskandar Muda sangat mencintai istrinya tersebut. Cinta yang terlalu dalam tersebut mampu membuat seorang lelaki berbuat apa saja untuk menyenangkan wanita yang dicintainya tersebut.
Sultan Iskandar Muda membangunkan sebuah taman yang menyerupai kampung halaman sang putri. Semua itu dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda agar sang Putri tidak terlalu rindu akan kampung halamannya. Hingga sekarang taman itu masih bisa dikunjungi yang merupakan saksi sejarah percintaan dua insan manusia.
e.      Sultan Iskandar Thani
Sultan Iskandar Thani memimpin Kerajaan Aceh di Indonesia pada tahun 1636-1641 M. Selama menjalankan pemerintahan, ia meneruskan cara Sultan Iskandar Muda dalam memimpin. Pada masa pemerintahannya ini, lahirlah seorang ulama besar yang sangat dihormati oleh masyarakat Aceh dan keluarga sultan khususnya yang bernama Nuruddin Ar-Raniri.
Buku berjudul Bustanussalatin yang berisi sejarah tentang Aceh tercipta dari tangannya. Buku ini menjadi referensi banyak sejarawan sepanjang masa. Sepeninggal Sultan Iskandar Thani, kepemimpinan Kerajaan Aceh digantikan oleh putri Sultan Iskandar Muda. Gelar wanita adalah Putri Sri Alam Permaisuri. Ia mulai memimpin Kerajaan Aceh sejak tahun 1641 M sampai 1675 M.
Kerajaan Aceh termasuk dalam wilayah yang cukup subur. Tidak heran jika perekonomian Aceh berkembang sangat cepat. Lada merupakan hasil pertanian yang terbilang cukup sukses menyokong kerajaan dan masyarakat luas.
Keberhasilan dalam meluaskan wilayah kekuasaan menambah daftar pasokan lada yang cukup berlimpah, sehingga banyak bangsa barat dan bangsa-bangsa lain seperti Arab, Turki, Persia, Cina, India, dan Jepang yang ingin membina hubungan dagang dengan Aceh.
Pantai Timur dan Barat Sumatra menyumbang cukup banyak lada yang memungkinkan Aceh mengekspornya hingga ke mancanegara. Sementara, Aceh mengimpor barang-barang kebutuhan sekunder dan tertier seperti sutera porselen dari Cina dan Jepang, minyak wangi dari Timur Tengah dan Eropa, serta kain dari India.
Karena kepesatan dalam perekonomian dan pemerintahan yang kental dalam agama, melahirkan sistem feodalisme dan agama Islam di Kerajaan Aceh. Bermunculanlah kaum alim ulama yang termasuk dalam golongan Tengku dan golongan kaum bangsawan yang termasuk dalam golongan Teuku.
Kerajaan Aceh di Indonesia mulai mengalami kemunduran sepeninggal Sultan Iskandar Thani. Kemunduran ini terjadi atas beberapa penyebab, seperti perebutan kekuasaan antara pewaris tahta kerajaan, makin meluasnya kekuasaan Belanda di Sumatra dan Selat Malaka, serta runtuhnya Minangkabau, Tapanuli, Siak, Mandailing, Bengkulu, dan Deli oleh penjajah Belanda.
Pada tahun 1824, Traktat London ditandatangani. Traktat ini menjelaskan tentang penyerahan kekuasaan kepada Belanda dalam menguasai kawasan Inggris di Sumatra. Dan, Belanda akan memberikan segala bentuk kekuasaan perdagangannya di India dengan tidak menandingi Inggris dalam menguasai Singapura. Trakta ini tentu menyulitkan Kerajaan Aceh dalam bergerak sehingga kemunduran pun ditemuinya

0 komentar:

Posting Komentar

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net