A. Latar belakang sejarah Suku Aceh dan Suku
Minangkabau
Sebelum
mengupas habis tentang perkembangan Suku Aceh dan Suku Minangkabau, terlebih
dahulu kita perlu membicarakan sejarah, budaya, sistem kepercayaan,ekonomi.
Suku Aceh
dalam bahasa Aceh disebut Ureuëng Acèh. Suku ini merupakan suku penduduk asli
yang mendiami wilayah pesisir dan sebagian pedalaman Aceh, Sumatra, Indonesia.
Mayoritas suku Aceh beragama Islam. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Aceh,
yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia Barat dan berkerabat
dekat dengan bahasa Cham yang dipertuturkan di Vietnam dan Kamboja
Nama
Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan kabau. Nama itu dikaitkan dengan
suatulegenda khas Minang yang dikenal didalam tambo. Nama Minangkabau, yang
berasal dari ucapan 'Manang kabau' (artinya menang kerbau.
PEMBAHASAN
A. Asal-Usul Suku Aceh
Suku Aceh
dalam bahasa Aceh disebut Ureuëng Acèh. Suku ini merupakan suku penduduk asli
yang mendiami wilayah pesisir dan sebagian pedalaman Aceh, Sumatra, Indonesia.
Mayoritas suku Aceh beragama Islam. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Aceh,
yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia Barat dan berkerabat
dekat dengan bahasa Cham yang dipertuturkan di Vietnam dan Kamboja.
Suku Aceh
sebenarnya merupakan keturunan berbagai suku, kaum, dan bangsa yang menetap di
tanah Aceh yang terikat dengan kesatuan budaya suku Aceh terutama ialah dalam
bahasa, agama, dan adat khas Aceh.
Zaman
dahulu kaum suku Aceh hidup secara matrilokal dan komunal. Mereka tinggal di
pemukiman yang disebut gampong. Persekutuan dari gampong-gampong membentuk
mukim. Masa keemasan budaya Aceh dimulai pada abad ke-16, ketika kejayaan
kerajaan Islam Aceh Darussalam yang mencapai puncaknya pada abad ke-17. Orang
Aceh sangat taat pada ajaran agama Islam, dan juga sebagai pejuang militan
dalam melawan penaklukan colonial Portugis dan Belanda.
Menurut
bukti-bukti arkeologis, awalnya penghuni Aceh adalah dari masa pasca Plestosen,
di mana mereka tinggal di pantai timur Aceh (daerah Langsa dan Tamiang), dan
menunjukkan ciri-ciri Australomelanesid. Mereka terutama hidup dari hasil laut,
terutama berbagai jenis kerang, serta hewan-hewan darat seperti babi dan badak.
Pada saat itu mereka sudah menggunakan api dan menguburkan mayat dengan upacara
tertentu.
Selanjutnya
pembentukan suku-suku Aceh terjadi ketika perpindahan suku-suku asli Mantir dan
Lhan (proto Melayu), serta suku-suku Champa, Melayu, dan Minang (deutro Melayu)
yang datang dan membentuk penduduk pribumi Aceh. Selain itu bangsa asing,
seperti bangsa India selatan, serta sebagian kecil bangsa Arab, Persia, Turki,
dan Portugis juga merupakan bagian komponen pembentuk suku Aceh. Posisi
strategis Aceh di bagian utara pulau Sumatra, selama beribu tahun telah menjadi
tempat persinggahan dan percampuran berbagai suku bangsa, yaitu dalam jalur
perdagangan laut dari Timur Tengah hingga ke Cina. Sehingga rakyat aceh banyak
merupakan campuran dari bangsa-bangsa lain.
Sejarah
menunjukkan bagaimana rakyat Aceh menjadikan Islam sebagai pedoman dan ulama
pun mendapat tempat yang terhormat. Penghargaan atas keistimewaan Aceh dengan
syariat Islamnya itu kemudian diperjelas dengan Undang-undang Nomor 44 Tahun
1999 menggenai Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Dalam UU No.11 Tahun 2006
mengenai Pemerintahan Aceh, tercantum bahwa bidang al-syakhsiyah (masalah
kekeluargaan, seperti perkawinan, perceraian, warisan, perwalian, nafkah,
pengasuh anak dan harta bersama), mu`amalah (masalah tatacara hidup sesama
manusia dalam kehidupan sehari-hari, seperti jual-beli, sewa-menyewa, dan
pinjam-meminjam), dan jinayah (kriminalitas) yang didasarkan atas syariat Islam
diatur dengan qanun (peraturan daerah).
Undang-undang
memberikan keleluasaan bagi Aceh untuk mengatur kehidupan masyarakat sesuai
dengan ajaran Islam. Sekalipun begitu, pemeluk agama lain dijamin untuk
beribadah sesuai dengan kenyakinan masing-masing. Inilah corak sosial budaya
masyarakat Aceh, dengan Islam agama mayoritas di sana tapi provinsi ini pun
memiliki keragaman agama.
Keanekaragaman
seni dan budaya menjadikan provinsi ini mempunyai daya tarik tersendiri. Dalam
seni sastra, provinsi ini memiliki 80 cerita rakyat yang terdapat dalam Bahasa
Aceh, Aneuk Jame, Tamiang, Gayo, Alas, haloban, kluet. Bentuk sastra lainnya
adalah puisi yang dikenal dengan hikayat, dengan salah satu hikayat yang
terkenal adalah Hikayat Prang Sabi (Perang Sabil).
Seni tari
Aceh juga mempunyai keistimewaan dan keunikan tersendiri, dengan ciri-ciri
antara lain pada mulanya hanya dilakukan dalam upacara-upacara tertentu yang
bersifat ritual bukan tontonan, kombinasinya serasi antara tari, musik dan
sastra, ditarikan secara massal dengan arena yang terbatas, pengulangan gerakan
monoton dalam pola gerak yang sederhana dan dilakukan secara berulang-ulang,
serta waktu penyajian relatif panjang.
Tari-tarian
yang ada antara lain Seudati, Saman, Rampak, Rapai, dan Rapai Geleng. Tarian
terakhir ini paling terkenal dan merupakan perpaduan antara tari Rapai dan Tari
Saman.
Dalam
bidang seni rupa, Rumoh Aceh merupakan karya arsitektur yang dibakukan sesuai
dengan tuntutan budaya waktu itu. Karya seni rupa lain adalah seni ukir yang
berciri kaligrafi. Senjata khas Aceh adalah Rencong. Pada dasarnya perpaduan
kebudayaan antara mengolah besi (metalurgi) dengan seni penempaan dan bentuk.
Jenis rencong yang paling terkenal adalah siwah.
Suku
bangsa Aceh menyenangi hiasan manik-manik seperti kipas, tudung saji, hiasan
baju dan sebagainya. Kemudian seni ukir dengan motif dapat dilihat pada
hiasan-hiasan yang terdapat pada tikar, kopiah, pakaian adat, dan sebagainya.
Suku
bangsa ini dalam kitab Sejarah Melayu disebut Lam Muri, Marcopolo yang singgah
disana menyebutnya Lambri. Para penjelajah Portugis menyebutnya Akhir. Para
penulis asing lain menyebutnya Achinese, Achehnese, Atchinese, Achin, Asji,
A-tse, Atjeher. Dan orang aceh sendiri menyebut dirinya Ureung Aceh.
Menurut sejarah yang ditulis dalam
hikayat-hikayat, nenek moyang orang Aceh berasal dari Siam (Muangthai). Hal ini
berdasarkan hikayat Aceh , bahwa raja-raja kerajaan Peureulak merupakan
keturunan raja-raja Siam. Suku bangsa Aceh merupakan hasil pembaharuan beberapa
bangsa pendatang dengan beberapa suku bangsa asli di sumatera, yaitu Arab,
India, Parsi, Turki, Melayu, Minangkabau, Batak, Nias, Jawa dan lain-lain. Suku
bangsa Aceh boleh berbangga karena daerah mereka adalah pintu gerbang pertama
masuknya Islam ke Indonesia, yaitu sekitar abad ke 12-14 Masehi. Pada Zaman
dulu Aceh juga menjadi tempat persinggahan jamaah Haji Nusantara sewaktu pergi
dan kembali berlayar dari Mekkah, sehingga dijuluki Serambi Mekkah. Pada Zaman
dahulu masyarakat Aceh terbagi-bagi
menjadi sejumlah kerajaan kecil, seperti Indrajaya, Indraputri,
Indrapatra, Pasei, Benua, Daya, Peureulak, Idi, Pidie, Meulaboh, Linge, dan
lain-lain. Seluruh kerajan tersebut akhirnya disatukan oleh Kesultanan Aceh
Darusalam. Mereka juga terkenal sebagai bangsa yang gigih menentang
kolonialisme Belanda dalam perang yang lama dan melelahkan.
B. BUDAYA
Budaya Aceh merupakan kumpulan budaya
dari berbagai suku di Aceh, Indonesia.
Provinsi Aceh terdiri atas 11 suku, yaitu:
1. Suku Aceh (76% dari populasi provinsi
aceh sensus tahun 2010)
2. Suku Tamiang (Di Kabupaten Aceh Tamiang
sekitar 35%).
3. Suku Alas, Suku Haloban (Di Kabupaten
Aceh Tenggara).
4. Suku Singkil (Di Kabupaten Aceh Singkil
dan Kota Subulussalam sekitar 40%)
5. Suku Aneuk Jamee dan Suku Kluet (Di
Kabupaten Aceh Selatan sekitar 35%).
6. Suku Gayo (di Kabupaten Aceh Tengah 20%,
Kabupaten Bener Meriah 20% dan Kabupaten gayo Lues sekitar 40%)
7. Suku Simeulue, Suku Devayan, Suku Sigulai
(di Kabupaten Simeulue)
Masing-masing
suku mempunyai budaya, bahasa dan pola pikir masing-masing. Bahasa yang umum
digunakan adalah Bahasa Aceh (76%) selain Bahasa Indonesia. Di sana hidup adat
istiadat Melayu, yang mengatur segala kegiatan dan tingkah laku warga
masyarakat bersendikan hukum Syariat Islam. Penerapan syariat Islam di provinsi
ini bukanlah hal yang baru. Jauh sebelum Republik Indonesia berdiri, tepatnya
sejak masa kesultanan, syariat Islam sudah meresap ke dalam diri masyarakat
Aceh.
C. SOSIAL
Bentuk
kekerabatan yang utama dalam masyarakat Aceh adalah keluarga inti, karena
umumnya anggota rumah tangga terdiri dari ayah, ibu dan anak-anknya saja.
Prinsip garis keturunannya adalah bilineal dan bilateral. Kelompok kerabat yang
paling menonjol adalah keluarga luas uksorilokal, yaitu pengelompokan keluarga
di lingkungan pihak perempuan. Karena setelah kawin anak akan tinggal beberapa
bulan di rumah orang tuanya, tapi biasanya segera akan membentuk rumah tangga sendiri
dekat lingkungan pihak istri.
Pada masa dulu masyarakat Aceh mengenal
beberapa pelapisan sosial. Di antaranya ada empat yang masih dikenal, yaitu:
golongan keluarga sultan, golongan uleebalang, golongan ulama, dan golongan
rakyat jelata. Bangsawan keturunan sultan yang laki-laki dipanggil ampon dan
yang perempuan dipanggil cut. Golongan uleeblang adalah keturunan bawahan
sultan yang biasanya bergelar teuku.
Pada
hakikatnya masyarakat Aceh terikat oleh tata karma atau etika yang tentunya
berlandaskan ajaran Islam. Tata krama pergaulan suku Aceh yang sampai sekarang
masih dipegang teguh adalah tidak diperboehkan memegang kepala orang lain, baik
yang usianya lebih muda apalagi yang
lebih tua usianya, karena hal ini dianggap sebagai suatu penghinaan atau menganggap
rendah martabat orang lain, saling mengucapkan salam bila bertemu atau
berkunjung, bertutur kata santun dan lemah lembut kalau berbicara dengan orang
lain, terutama kepada yang lebih tua.
Sebagai
sarana komunikasi sosial, orang Aceh mengembangkan semacam suguhan “kapur
sirih”. Seseorang yang bertamu pertama-tama mendapat suguhan ini, baru
ditawarkan minuman. Orang Aceh juga mengembangkan nilai yang dapat menunjukkan
kesetiakawanan atau solidaritas dengan sesamanya, yaitu nilai gotong-royong.
D. RITUAL
Orang Aceh
adalah penganut agama Islam yang taat. Meskipun demikian, di antara mereka ada
yang masih menjalankan praktek kepercayaan animisme dan dinamisme. Ada
orang–orang tertentu yang biasa mempraktekkan guna-guna atau ilmu gaib dan
kelompok masyarakat yang menjalankan beberapa uapacara tradisional yang bukan
berasal dari agama Islam, seperti kenduri blang dan kenduri laut. Kenduri blang
adalah upacara kesuburan yang biasa dilakukan setiap tahun oleh masyarakat
petani Aceh dan Gayo. Sedangkan kenduri laut atau upacars turun ke laut
diadakan oleh para nelayan Aceh dalam
rangka meminta restu kepad Penguas Laut. Upacara ini masih dapat ditemukan pada
masyarakat desa Ujong Pusong dan Ujong Blang di kabupaten Aceh Barat. Biasanya
seekor kerbau, kepalanya dibuang ke laut, sedangkan dagingnya dimasak untuk
kenduri setelah upacara selesai.
Orang Aceh menganggap dirinya identik dengan
Islam. Oleh sebab itu dalam kehidupan mereka hal-hal yang ada sangkut pautnya
dengan agama merupakan suatu hal yang paling sensitive, sehingga bagi
masyarakat Aceh pada umumnya, yang paling menyinggung perasaan atau dianggap
sebagi penghinaan adalah kalau seseorang disebut” kafir”. Kendati yang
bersangkutan belum tentu taat beribadah atau bahkan tidak bertingkah laku
sebagai seorang muslim, namun kalau disebut kafir pasti akan berakibat panjang.
Masyarakat
Aceh banyak mengenal berbagai macam upacara, setiap upacara identik dengan
acara makan-makan yang seringkali berlangsung setelah acara seremonialnya atau
dinamakan dengan kanduri. Sekarang ini upacara yang tetap berlangsung dalam
masyarakat Aceh di antaranya adalah : upacara turun ke sawah, upacara tolak
bala, upacara perkawinan, upacara kehamilan anak pertama, upacara kematian dan
lain-lain.
Upacara-upacara
tersebut masih dipertahankan karena dibutuhkan oleh masyarakat, untuk memenuhi
tuntutan adat. Menurut masyarakat Aceh, adat harus dijalankan dan dipenuhi,
selain itu kita harus mematuhinya juga. Seperti pepatah Aceh menyebutkan bahwa
: Matee aneuk meupat jeurat, matee adat pat tamita. masyarakat Aceh sejak zaman
kerajaan hingga sampai sekarang ini, apabila pada satu moment kita tidak
menjalankan adat atau berupa upacara yang telah ditentukan maka yang
bersangkutan merasa sedih dan dirinya merasa sangat terhina karena tidak
dihormati secara adat yang berkembang dalam masyarakat Aceh. Salah satu contoh
adalah upacara sebelum dan sesudah kelahiran bayi, banyak sekali rangkaian
upacara-upacara adat yang akan dilaksanakan. Semua itu erat kaitannya dengan
adat istiadat Aceh dan juga tidak bertentangan dengan kaedah-kaedah yang
dianjurkan dalam ajaran Islam.
E. POLITIK
Aceh cepat
tumbuh menjadi kerajaan besar karena didukung oleh beberapa faktor sebagai
berikut.
a. Letak ibu kota Aceh yang sangat strategis
yaitu di pintu gerbang pelayaran dari lndia dan Timur Tengah yang akan ke
Malaka, Cina, atau ke Jawa.
b. Pelabuhan Aceh (Olele) memiliki
persyaratan yang baik sebagai pelabuhan dagang.
c. Daerah Aceh kaya dengan tanaman lada yang
merupakan dagangan ekspor yang penting.
d. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis menyebabkan
pedagang lslam banyak yang singgah ke Aceh, apalagi setelah jalur pelayaran
beralih melalui sepanjang pantai Barat Sumatra.
Corak
pemerintahan Aceh adalah pemerintahan sipil dan pemerintahan atas dasar agama.
Pemerintahan sipil dipimpin oleh kaum bangsawan. Setiap kampung (gampong)
dipimpin oleh seorang ulebalang. Beberapa gampong digabung menjadi sagi yang
dipimpin oleh seorang panglima sagi. Kaum bangsawan yang mernegang kekuasaan
sipil disebut teuku. Pemerintahan atas dasar agama, yang dilakukan dengan
menyatukan beberapa ganpong dengan sebuah masjid yang disebut mukim. Kepala
tiap-tiap mukim disebut imam. Kaum ulama yang berkuasa dalam bidang keagamaan
disebut teuku.
Raja-raja
yang pernah memerintah Kerajaan Aceh sebagai berikut
a. Sultan Ali Mughayat Syah
Raja pertama ini memerintah Kerajaan Aceh
pada tahun 1514-1528 M. Di bawah kepemimpinannya, ia melakukan beberapa
penyerangan seperti pada saat Portugis menduduki Malaka dan penyerangan
terhadap Kerajaan Aru yang terletak di Pantai Timur Sumatra Utara. Kerajaan
Aceh juga membentangkan sayap kekuasaannya pada waktu itu hingga ke wilayah
Pasai dan Daya di Sumatra Utara.
b. Sultan Salahuddin
Putra dari
Sultan Ali Mughayat Syah ini otomatis menggantikan kedudukan sang ayah ketika
beliau wafat. Ia mulai memimpin sejak tahun 1528-1537 M. Pada masa
kepemimpinannya, kejayaan Kerajaan Aceh mulai menurun. Sultan Salahuddin tidak
memiliki strategi mempertahankan kejayaan dan hanya duduk di tahtanya saja.
Oleh karena itu, serta merta ia digantikan oleh saudaranya, Sultan Alauddin
Riayat Syah Al-Kahar.
c. Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Kahar
Sultan
Alauddin Riayat Syah Al-Kahar memerintah tahun 1537-1568 M. Perombakan demi
perombakan dilakukannya demi mengembalikan kejayaan Kerajaan Aceh seperti
semula, bahkan lebih hebat. Perombakan di pemerintahan menjadi titik beratnya.
Karena, pemerintahan yang baik akan membantunya menjalankan kepemimpinannya.
Sultan
Alauddin berusaha melakukan perluasan kekuasaan dengan menyerang Kerajaan
Malaka namun usaha ini gagal. Selanjutnya, ia mendapat hadiah dengan berhasil
ditaklukkannya wilayah Kerajaan Aru. Sepeninggal Sultan Alauddin Syah, Kerajaan
Aceh berangsur-angsur mengalami masa suramnya.
Perebutan kekuasaan dan pemberontakan
kerap terjadi di Kerajaan Aceh. Beruntung, datang seorang Sultan Iskandar Muda
yang meredam gejolak di Tanah Rencong.
d. Sultan Iskandar Muda
Masa
kerajaan aceh atau yang biasa lebih dikenal dengan Kesultanan Aceh mengalami
kemajuan dan kemunduran. Kesultanan Aceh mengalami masa keemasan atau kejayaan
pada masa Iskandar Muda. Wilayah Aceh sangat luas hingga penjajah portugis saja
berhasil diusir dan tidak bisa masuk ke dalam wilayah Aceh.
Masa
Sultan Iskandar Muda adalah masa kejayaan kerajaan atau Kesultanan Aceh. Negeri
Acehini amat kaya dan makmur pada waktu Sultan Iskandar Muda memimpin
Kesultanan Aceh. Wilayah yang dikuasaianya pun sangat luas. Wilayah tersebut
meliputi pesisir barat Minangkabau, Sumatera Timur, hingga Perak di Semenanjung
Malaysia.
Tradisi
yang dipegang oleh Sultan Iskandar Muda adalah tradisi militer sehingga Aceh
menjadi Kesultanan terkuat pada waktu itu. Tidak dapat dipungkiri bahwa
Kerajaan atau Kesultanan Aceh adalah negara yang mampu menguasai selat Malaka.
Selat
Malaka merupakan wilayah penting perdagangan dunia. Tidak hanya perdagangan
nusantara tetapi sudah mencapai tingkat internasional. Dengan menguasainya
berarti kedudukan Kesultanan Aceh menjadi sangat menguntungkan.
Pada saat kepemimpinan Sultan Iskandar
Muda, beliau menikah dengan seorang putri yang berasal dari Kesultanan Pahang.
Saat ini, Kesultanan Pahang merupakan negara bagian yang masuk ke dalam wilayah
negara Malaysia.
Putri yang berasal dari Kesultanan Pahang
tersebut bernama Putroe Phang. Dikabarkan bahwa Sultan Iskandar Muda sangat
mencintai istrinya tersebut. Cinta yang terlalu dalam tersebut mampu membuat
seorang lelaki berbuat apa saja untuk menyenangkan wanita yang dicintainya
tersebut.
Sultan Iskandar Muda membangunkan sebuah
taman yang menyerupai kampung halaman sang putri. Semua itu dilakukan oleh
Sultan Iskandar Muda agar sang Putri tidak terlalu rindu akan kampung
halamannya. Hingga sekarang taman itu masih bisa dikunjungi yang merupakan
saksi sejarah percintaan dua insan manusia.
e. Sultan Iskandar Thani
Sultan
Iskandar Thani memimpin Kerajaan Aceh di Indonesia pada tahun 1636-1641 M.
Selama menjalankan pemerintahan, ia meneruskan cara Sultan Iskandar Muda dalam
memimpin. Pada masa pemerintahannya ini, lahirlah seorang ulama besar yang
sangat dihormati oleh masyarakat Aceh dan keluarga sultan khususnya yang
bernama Nuruddin Ar-Raniri.
Buku
berjudul Bustanussalatin yang berisi sejarah tentang Aceh tercipta dari
tangannya. Buku ini menjadi referensi banyak sejarawan sepanjang masa. Sepeninggal
Sultan Iskandar Thani, kepemimpinan Kerajaan Aceh digantikan oleh putri Sultan
Iskandar Muda. Gelar wanita adalah Putri Sri Alam Permaisuri. Ia mulai memimpin
Kerajaan Aceh sejak tahun 1641 M sampai 1675 M.
Kerajaan
Aceh termasuk dalam wilayah yang cukup subur. Tidak heran jika perekonomian
Aceh berkembang sangat cepat. Lada merupakan hasil pertanian yang terbilang
cukup sukses menyokong kerajaan dan masyarakat luas.
Keberhasilan dalam meluaskan wilayah
kekuasaan menambah daftar pasokan lada yang cukup berlimpah, sehingga banyak
bangsa barat dan bangsa-bangsa lain seperti Arab, Turki, Persia, Cina, India,
dan Jepang yang ingin membina hubungan dagang dengan Aceh.
Pantai
Timur dan Barat Sumatra menyumbang cukup banyak lada yang memungkinkan Aceh
mengekspornya hingga ke mancanegara. Sementara, Aceh mengimpor barang-barang
kebutuhan sekunder dan tertier seperti sutera porselen dari Cina dan Jepang,
minyak wangi dari Timur Tengah dan Eropa, serta kain dari India.
Karena
kepesatan dalam perekonomian dan pemerintahan yang kental dalam agama,
melahirkan sistem feodalisme dan agama Islam di Kerajaan Aceh. Bermunculanlah
kaum alim ulama yang termasuk dalam golongan Tengku dan golongan kaum bangsawan
yang termasuk dalam golongan Teuku.
Kerajaan Aceh di Indonesia mulai
mengalami kemunduran sepeninggal Sultan Iskandar Thani. Kemunduran ini terjadi
atas beberapa penyebab, seperti perebutan kekuasaan antara pewaris tahta
kerajaan, makin meluasnya kekuasaan Belanda di Sumatra dan Selat Malaka, serta
runtuhnya Minangkabau, Tapanuli, Siak, Mandailing, Bengkulu, dan Deli oleh
penjajah Belanda.
Pada tahun 1824, Traktat London
ditandatangani. Traktat ini menjelaskan tentang penyerahan kekuasaan kepada
Belanda dalam menguasai kawasan Inggris di Sumatra. Dan, Belanda akan memberikan
segala bentuk kekuasaan perdagangannya di India dengan tidak menandingi Inggris
dalam menguasai Singapura. Trakta ini tentu menyulitkan Kerajaan Aceh dalam
bergerak sehingga kemunduran pun ditemuinya
0 komentar:
Posting Komentar