Agama Tradisional Jawa

engamati secara cermat asal-usul kepercayaan Jawa tidaklah sesederhana yang kita bayangkan. Kepercayaan Jawa yang banyak bersentuhan dengan mistik itu, dalam realitasnya banyak menyimpan misteri yang sangat kompleks. Kompleksitas kepercayaan komunitas kejawen tidak jarang menampakkan berbagai sekte dan tradisi kehidupan dalam masyarakat Jawa. Sekte-sekte dan tradisi kehidupan itu sebagai bentuk manifestasi dari religiusitas masing-masing wilayah kejawen.

Suku Aceh

Suku Aceh dalam bahasa Aceh disebut Ureuëng Acèh. Suku ini merupakan suku penduduk asli yang mendiami wilayah pesisir dan sebagian pedalaman Aceh, Sumatra, Indonesia. Mayoritas suku Aceh beragama Islam. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Aceh, yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia Barat dan berkerabat dekat dengan bahasa Cham yang dipertuturkan di Vietnam dan Kamboja

Komunitas Suku Dayak Losarang

Suku Dayak Losarang adalah sebuah komunitas sosial yang eksistensinya sudah lebih kurang 40 tahun muncul sebagai fenomena sosial di Indramayu, dengan aturan dan gaya hidup yang berbeda dengan masyarakat pada umunya. Mulai dari cara berpakaian yang dwi-warna (Hitam Putih) dan bertelanjang dada serta penggunaan aksesoris gelang dan kalung yang terbuat dari akar pohon dan batu-batuan, Sampai dengan kepercayaan yang berbeda. Dan yang tak kalah penting adalah mereka terbentuk bukan dari kaitan dengan keturunan etnis Dayak yang ada di kalimantan tetapi berasal dari keturunan Jawa Dermayon.

Kampung Budaya Sindangbarang dan Kampung Adat Urug Bogor

Indonesia adalah Negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman etnik atau suku bangsa dan budaya, serta kekayaan dibidang seni dan sastra. Semua sejalan dengan keanekaragaman etnik, suku bangsa dan agama yang secara keseluruhan merupakan potensi nasional.

Suku Minangkabau

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 16 Juni 2016

Acara Turun Tanah (Tadisi Aceh)

 

Dalam satu kepercayaan, masyarakat Aceh meyakini bahwa kehidupan seseorang memiliki masa pada tiap-tiap waktunya meliputi masa kelahiran sampai dengan masa kematian. Untuk itu di setiap masa tersebut selalu ada kegiatan atau upacara untuk menyambutnya.

Salah satu penyambutan setelah masa kelahiran seorang anak pada masyarakat Aceh adalah dengan menyelenggarakan upacara Troen Bak Tanoeh atau Peutron Aneuk U Tanoh, ada juga yang menyebutnya Peutron Aneuk Mit atau Adat Peutron Aneuk. Secara umum, masyarakat di Indonesia mengenal upacara ini dengan nama Upacara Turun Tanah.


Upacara Turun Tanah ini dalam penyelenggaraannya terdapat perbedaan mengenai waktu pelaksanaan pada masyarakat Aceh. Ada yang melaksanakan upacara Turun Tanah pada hari ke-7 setelah masa kelahiran ada juga yang menyelenggarakan upacara Turun Tanah pada hari ke-44 (setelah kelahiran) bahkan ada juga yang melangsungkannya setelah bayi berumur lebih dari satu tahun. Terlepas dari perbedaan waktu pelaksanaannya, biasanya upacara Turun tanah dilaksanakan bersamaan dengan upacara pemberian nama, upacara cuko oek (cukur rambut), dan tradisi hakikah.

Persiapan dan Pelaksanaan

Ada beberapa langkah dalam menjalankan upacara turun tanah ini diantaranya adalah persiapan dan pelaksanaan upacara Turun Tanah. Untuk persiapan dalam upacara Turun Tanah yaitu menyiapkan peralatan dan perlengkapan upacara Turun Tanah diantaranya adalah kain, sebutir kelapa, madu, pulut kuning, tampi, sapu, parang, cangkul, tangga dan gunting.

Dalam upacara turun tanah, semua kerabat sang anak akan diundang, tak lupa juga mengundang tetanga dan saudara-saudara dari jauh jika memungkinkan. Dari semua tamu undangan yang datang, yang terpenting adalah mengundang tetua adat guna memimpin acara. Sebelumnya juga telah dilakukan persiapan untuk acara kenduri dan penyembelihan kerbau, sapi, kambing dan atau domba.
Upacara Turun Tanah dimulai dengan seorang tetua adat yang dihormati di masyarakat menggendong si bayi menuju tangga rumah—umumnya pada masa lalu ruah-rumah di Aceh memiliki tangga. Kini tangga itu digantikan dengan tangga yang khusus dibuat untuk keperluan upacara. Tetua Adat yang biasanya juga merupakan pemuka agama ini dipilih dengan harapan kelak sang anak bisa mengikuti jejak-nya.

Anak itu kemudian diturunkan melalui anak tangga dengan diiringi doa-doa, pujian dan ayat-ayat al-Quran. Saat prosesi penurunan tersebut sang anak juga dipayungi.
Kemudian sehelai kain direntangkan di atas kepala bayi, sebutir kelapa kemudian dibelah di atas kain. Kelapa yang telah dibelah akan diberikan kepada kedua belah pihak orang tuanya sebagai simbol dan juga harapan tetap terjadinya kerukunan di kedua belah pihak. Ada juga yang mengatakan bahwa tujuan pembelahan kelapa tersebut dimaksudkan agar si bayi tidak mudah takut dengan suara petir.

Jika anak yang dituruntanahkan itu adalah anak perempuan, anggota keluarganya akan bergegas menyapu dan menampi beras. Menampi besar dan menyapu tanah merupakan simbol dari kerajinan. Prosesi ini menjadi harapan agar kelak si bayi perempuan itu menjadi anak yang rajin. Akan tetapi, jika yang dituruntanahkan adalah seorang bayi laki-laki, maka akan dilakukan prosesi mencangkul tanah dan mencincang batang pisang, keladi atau batang tebu. Secara simbolik apa yang dilakukan itu bermakna kesatriaan; sebuah harapan agar kelak anak lelaki itu menjadi seorang lelaki yang senantiasa bekerja keras dan berjiwa kesatria.

Ketika anak sudah menapaki tanah maka anak tersebut kemudian dibawa keliling rumah. Saat anak kembali dibawa masuk ke dalam rumah, berbagai hidangan biasanya telah disipakan untuk prosesi peucicap (mencicipi). Acara peucicap dilakukan dengan mengoleskan berbagai macam rasa pada bibir si bayi dengan tujuan bayi tersebut dapat mengenal berbagai rasa baik itu rasa manis, asam, atau asin. Upacara turun tanah ini pun berakhir.

Upacara Turun Tanah ini juga terkadang dimeriahkan dengan alunan puji-pujian kepada Nabi dan syair-syair islam yang diiringi tabuhan rebana. Berbagai tarian, juga pencak silat dan berbagai kesenian lainnya juga hadir.

Berbagai hidangan biasanya juga telah disediakan, hingga kemeriahan dan juga kebahagiaan itu tidak hanya dirasakan oleh keluarga sang anak, tetapi juga turut dirasakan oleh tetangga maupun saudara sekampung yang telah menghadiri undangan. Setiap upacara pada masyarakat Aceh memang kerap diliputi oleh suasana kebagian dengan acara makan-makan (kenduri) yang dilangsungkan setelah acara utama selesai.

Upacara Turun Tanah dalam pandangan Masyarakat Aceh

Masyarakat Aceh sangat terkenal dengan ketaatan mereka kepada agama Islam, sehingga kehidupan mereka sedikit banyaknya telah dipengaruhi oleh ajaran-ajaran islam. Nilai-nilai yang terkandung dalam upacara Turun Tanah adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan dunia dan akhirat yang hingga kini masih dijaga keberlangsungannya karena dibutuhkan oleh merek guna memenuhi tuntutan adat sebagai orang Aceh. Bagi masyarakat Aceh, adat senantia harus terus dijalankan, dipenuhi dan tentu saja juga harus dipatuhi.

“Mate Aneuk meupat gadoh adat pat tamita”, Mati anak tinggal pusara, hilangnya adat mau dicari kemana.

Merupakan pepatah yang cukup dikenal dalam masyarakat Aceh. Pepatah ini memberitahukan kepada kita bahwa adat dengan anak itu di posisi yang sama pentingnya. Dan lebih penting lagi adalah menjaga dan melestarikan adat istiadat hingga bisa sampai ke anak cucu mereka nantinya.

Komunitas Suku Dayak Losarang

Suku Dayak Losarang adalah sebuah komunitas sosial yang eksistensinya sudah lebih kurang 40 tahun muncul sebagai fenomena sosial di Indramayu, dengan aturan dan gaya hidup yang berbeda dengan masyarakat pada umunya. Mulai dari cara berpakaian yang dwi-warna (Hitam Putih) dan bertelanjang dada serta penggunaan aksesoris gelang dan kalung yang terbuat dari akar pohon dan batu-batuan, Sampai dengan kepercayaan yang berbeda. Dan yang tak kalah penting adalah mereka terbentuk bukan dari kaitan dengan keturunan etnis Dayak yang ada di kalimantan tetapi berasal dari keturunan Jawa Dermayon.

  1. Asal Usul Penamaan
Komunitas ini merupakan menamakan dirinya dengan sebutan Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu atau lazim disebut sebagai Komunitas Dayak Losarang. Menurut penjelasan Ki Takmad sebagai pendiri komunitas ini, penamaan Suku Dayak ini mengandung makna sebagai berikut; Kata Suku artinya kaki, yang mengandung makna bahwa setiap manusia berjalan dan berdiri di atas kaki masing-masing untuk mencapai tujuan sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan masing-masing.
Kata dayak berasal dari kata ayak atau ngayak yang artinya memilih atau menyaring. Sedangkan makna kata dayak disini adalah menyaring, memilah dan memilih mana yang benar dan mana yang salah.
Kemudian kata hindu artinya kandungan atau rahim. Filosofinya adalah bahwa setiap manusia dilahirkan dari kandungan sang Ibu (perempuan). Sedangkan kata Budha, asal dari kata wuda, yang artinya telanjang. Makna filosofinya adalah bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan telanjang.
Selanjutnya adalah kata Bumi Segandu Indramayu. Kata bumi mengandung makna wujud, sedangkan segandu bermakna sekujur badan. Gabungan kedua kata ini, yakni bumi segandu mengandung makna filosofi sebagai kekuatan hidup. Adapun Indramayu, mengandung pengertian In maknanya adalah inti, darma artinya orang tua, dan kata ayu maknanya perempuan. 
Makna filosofinya adalah bahwa ibu (perempuan) merupakan sumber hidup, karena dari rahimnyalah kita semua dilahirkan. Jadi penyebutan kata suku pada komunitas ini bukan dalam konteks terminologi suku bangsa (etnik) dalam pengertian antropologis, melainkan penyebutan istilah yang diambil dari makna kata-kata dalam bahasa daerah (jawa dermayon).
Demikian juga dengan kata dayak, bukan dalam pengertian suku bangsa (etnik) Dayak yang berada di daerah Kalimantan, kendati pun dari sisi performan ada kesamaan, yakni mereka (kaum laki-laki) sama-sama tidak mengenakan baju. Serta mengenakan asesoris berupa kalung dan gelang (tangan dan kaki) yang dianggap memiliki daya magis tertentu.
Lebih jauh, pemimpin komunitas ini menjelaskan tentang pemakaian kata hindu-budha pada sebutan komunitas ini. Kendatipun komunitas ini menggunakan kata tersebut, bukan berarti bahwa mereka adalah penganut agama Hindu ataupun Budha. Penggunaan kata hindu, karena komunitas ini meneladani pri-kehidupan kelima tokoh Pandawa, yang terdiri atas: Yudistira, Bima (Wirekudara), Arjuna (Permadi), Nakula dan Sadewa, serta tokoh Semar, yang dipandang sebagai seorang mahaguru yang sangat bijaksana. Adapun penyebutan kata budha karena mereka mengambil inti ajaran Aji Rasa (tepa selira) dan kesahajaan yang merupakan inti ajaran agama Budha.
2.     Perkembangan Komunitas Suku Dayak Losarang
Awal sejarahnya pada tahun 1973 sampai dengan Juni 1975 di desa Krimun Rt.12/04 Blok Tanggul kecamatan losarang, berdiri sebuah padepokan perguruan Silat Serba Guna (SS) di atas tanah seluas 750 m yang diajarkan oleh Takmad, wakilnya adalah Warlam. Perguruan tersebut mengajarkan ilmu bela diri dan ilmu kebatinan.
Pada akhir 1975 kegitan perguruan tersebut mulai tidak lagi mengajarkan pencak silat, justru cenderung beralih kepada perguruan kebatinan dan ilmu ngaji rasa. Intisari dari pengajarannya adalah adaptasi pada alam sekitarnya atau mereka sebut nur alam. Sejak tahun 1982 Perguruan Silat Serba Guna masuk ke dalam Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI), namun di penghujung tahun 1988 Perguruan Silat SS berubah Nama menjadi Jaka Utama.
Seiring dengan perjalanan kebatinan Takmad pada sejak 1996 terjadi evolusi identitas organisasi, di perguruan tersebut mulai tidak lagi memakai seragam hitam-hitam namun “wuda” atau tidak memakai baju hanya bercelana panjang selutut dan memiliki dwi-warna yaitu hitam putih, kanan putih kiri hitam.
Kemudian di tahun 1997 terjadi perubahan mendasar dari awal sebagai sebuah Organisasi kini menjadi sebuah komunitas yang bukan berdiri atas persatuan dan kesatuan, tetapi menyatu. Menyatu karena orang-orang masuk dengan sendirinya yang dinamai Suku Dayak Siswa. Namun di akhir tahun 1997 pula komunitas ini berubah nama menjadi Suku Dayak Mahasiswa, yang konon ini dipengaruhi oleh isu nasional pada gerakan mahasiswa sampai dalam penjatuhan rezim soeharto. Penamaan mahasiswa pada nama komunitas tersebut karena memaknai bahwa mahsiswa adalah ujung tombak perubahan sosial yang mencoba mengubah dunia (red, indonesia) yang menjunjung tentang kebebasan.
“Sejatinya reformasi adalah sudah alam yang mengatur, dan kita disini memaknai reformasi sebagai dukungan spirit perubahan menjadi lebih baik, sebagaimana yang dilakukan oleh mahasiswa”.
Pada tahun 2000, hasil perjalanan kontemplasi “Wong Tua” mendapat nama Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu untuk mengubah kembali nama komunitas tersebut, dan nama ini digunakan sampai sekarang. Dan kini komunitas tersebut menggunakan identitas paten yakni ; tidak berbaju, memakai celana pendek sampai lutut dengan dwi-warna yaitu kanan berwarna putih dan kiri berwarna hitam, memakai topi “kukusan” dwi-warna yaitu sisi kanan putih dan sisi kiri hitam, serta aksesoris lainnya termasuk gelang, kalung dan sabuk.
  1. Nilai-nilai Ajaran Hidup
Ajaran dari komunitas Dayak Indramayu dinamakan dengan sebutan Sejarah Alam Ngaji Rasa. Lebih jauh Ki Takmad menjelaskah bahwa Sejarah adalah perjalanan hidup (awal, tengah, dan akhir) berdasarkan ucapan dan kenyataan. Sementara itu, Alam adalah ruang lingkup kehidupan atau sebagai wadah kehidupan.
Adapun Ngaji Rasa adalah tatacara atau pola hidup manusia yang didasari dengan adanya rasa yang sepuas mungkin harus dikaji melalui kajian antara salah dan benar, dan dikaji berdasarkan ucapan dan kenyataan yang sepuas mungkin harus bisa menyatu dan agar bisa menghasilkan sari atau nilai-nilai rasa manusiawi, tanpa memandang ciri hidup, karena pandangan salah belum tentu salahnya, pandangan benar belum tentu benarnya. Oleh karena itu, kami sedang belajar ngaji rasa dangan prinsip-prinsip jangan dulu mempelajari orang lain, tapi pelajarilah diri sendiri antara salah dengan benarnya, dengan proses ujian mengabdikan diri kepada anak dan istri.
Konsep-konsep ajaran ini tidak didasarkan pada kitab suci, aliran kepercayaan, agama maupun akar budaya tertentu. Mereka berusaha mencari pemurnian dari dengan mengambil teladan sikap dan perilaku tikoh pewayangan Semar dan Pandawa Lima yang dianggapnya sangat bertanggungjawab terhadap keluarga.
Proses menuju pemurnian diri, menurut Ki Takmad, melalui beberapa tahap yang harus dijalin dengan menjauhkan diri dari keramaian dunia yang mengejar kesenangan duniawi. Tahap-tapah tersebut adalah;
1.     Wedi
2.     Sabar
3.     Ngadirasa (ngajirasa)
4.     Memahami benar-salah.
Pada awalnya, setiap manusia wedi-wedian (takut, penakut) baik terhdap alam maupun lingkungan masyarakatnya. Oleh karena itu, manusia harus mengembangkan perasaan sabar dan pasrah diri dalam arti berusaha selaras dengan alam tanpa merusak alam. Prinsipnya adalah jangan merusak alam apabila tidak ingin terkena murka alam. Itulah yang disebut ngaji rasa atau ngadirasa. Setelah bersatu dan selaras dengan alam, dalam arti mengenal sifat-sifat alam sehingga bisa hidup dengan tenteram dan tenang karena mendapat lindungan dari Nur Alam (pencipta alam), manusia akan memahami benar-salah dan selanjutnya dengan mudah akan mecapai permurnian diri yaitu dimana manusia tidak lagi memiliki kehendak duniawi. Cerminan dari manusia yang telah memahami benar-salah, tampak dalam kehidupan sehari-harinya. Manusia yang telah mencapai tahap tersebut, akan selalu jujur dan bertanggungjawab. sedangkan ngadisara, ajaran yang diakui sebagai jalan menuju pemurnian diri, mendidik setiap pengikutnya untuk mengendalikan diri dari Tiga Ta (harta, tahta dan wanita).
Bagi para pengikut yang telah menikah, suami harus sepenuhnya mengabdikan diri pada keluarga. Suami tidak boleh menghardik, memarahi, atau berlaku kasar terhadap anak dan istrinya. Oleh karena itu, perceraian merupakan sesuatu yang dianggap pantang terjadi. Demikian juga, hubungan di,luar pernikahan sangat ditentang.
“Jangan coba-coba berzinah apabila tidak ingin terkena kutuk sang guru,”.
Ngaji rasa juga mengajarkan untuk saling mengasihi kepada sesama umat manusia. Misalnya, menolong orang yang sedang kesulitan walaupun berbeda kepercayaan, tidak menagih utang kepada orang yang diberi pinjaman. Yang terbaik adalah membiarkan orang yang berutang tersebut untuk membayar atas kesadarannya sendiri. Demikian juga dalam hal mendidik anak, sebaiknya tidak terlalu banyak mengatur karena yang bisa mengubah sikap dan perilaku adalah dirinya sendiri, bukan orang lain. Jalan menuju pemurnian diri juga ditunjukan dengan hidup yang sederhana, menjauhi keinginan mengejar kesenangan duniawi, menghilangkan perasaan dendam, penasaran dan iri kepada orang lain.
Konsepsi tentang alam tampak dari keyakian bahwa dunia berasal dari bumi segandu (bumi yang masih bulat) bernama Indramayu. Bumi segandu, kemudian menimbulkan lahar menjadi daratan, kekayon (kayu-kayuan), dan air. Setelah itu muncul alam gaib, yang mengendlaikan semua itu adalah Nur Alam.
  1. Ritual Ajaran Sejarah Alam
Ritual yang dijalankan oleh anggota Suku Dayak Hindu-Budha Segandu Indramayu, dilakukan pada setiap malam Jum’at kliwon, bertempat di pendopo Nyi Ratu Kembang. Dalam kegiatan ritualnya mereka duduk membuat lingkaran kecil  mengelilingi sebuah kolam kecil di dalam pendopo. Sementara itu, kaum perempuan duduk diluar pendopo.

Ritual diawali dengan melantunkan Kidung Alas Turi dan Pujian Alam secara bersama-sama. Salah satu bait dari Pujian Alam, berbunyi sebagai berikut:
ana kita ana sira,
wijile kita cukule sira,
jumlae hana pira, hana lima,
ana ne ning awake sira.
Rohbana ya rohbana 2x,
robahna batin kita.
Ning dunya sabarana, benerana,
 jujurana, nerimana, uripana, warasana,
 sukulana, penanan, bagusana.
yang artinya adalah:
ada (nya) saya (juga) ada (nya) kamu,
lahirnya saya tumbuhnya kamu,
jumlahnya ada berapa, (ya) ada lima.
(yaitu) Ada di badan kamu,
Rohbana ya rohbana 2x,
Ubahkan bathin saya.
Di dunia sabarkanlah, benarkanlah,
Jujurkanlah, nerima (legowo), hidupkanlah, sembuh (sadar)kanlah,
Tumbuhkanlah, rawatkanlah, baguskanlah.
Selesai melantunkan Kidung dan Pujian Alam, kemudian Ki Takmad Diningrat memaparkan cerita pewayangan tentang kisah Pandawa Lima dan guru spiritual mereka, Semar. Usai paparan wayang, Ki Takmad memberikan petuah-petuah kepada para pengikutnya. Paparan wayang dan petuah ini berlangsung hingga tengah malam. Kata-kata yang diucapkannya dijadikan pedoman bagi pengikutnya. Usai itu, para lelaki menuju ke sungai yang terletak di belakang benteng padepokan. Di sungai dangkal itu mereka berendam dalam posisi telantang, yang muncul hanya bagian mukanya saja. Mereka berendam hingga matahari terbit. Ritual berendam ini disebut kungkum. Siang harinya, di saat sinar matahari sedang terik, mereka berjemur diri, yang berlangsung mulai sekitar pukul 11.00 WIB  hingga pukul 15.00 WIB. Ritual ini disebut pepe.


Medar (menceritakan) cerita pewayangan, kungkum (berendam), pepe (berjemur) dan melantunkan Kidung dan Pujian Alam, adalah kegiatan ritual mereka yang dilakukan setiap anggota. Kegiatan ini secara massal hanya dilakukan pada setiap malam jum’at kliwon.
Ritual-ritual ini pada dasarnya adalah sebagai upaya menyatukan diri dengan alam, serta cara mereka melatih kesabaran. Semua ini dilakukan tanpa ada paksaan.
“Bagi yang mampu silahkan melakukannya, tapi bagi yang tidak mampu, tidak perlu melakukan, atau lakukan semampunya saja,”.
  1. Intteraksi Sosial  dengan Masyarakat Beragama
Suku Dayak Losarang hidup di tengah-tengah dan berbaur masyarakat sekitarnya, akan tetapi dalam beberapa hal, mereka mengisolasikan diri dari lingkungan masyarakatnya. Misalnya untuk tempat tinggal dan tempat peribadatan (ritual) mereka, dibentengi dengan dinding yang cukup tinggi dan diberi ornamen lukisan-lukisan. Di dalam benteng ini terdapat beberapa bangunan yang terdiri atas: Keraton Nyi Ratu Kembar, Tata Rakhkatau (pendopo),  pesanggaran (tempat bermeditasi), kolam yang digunakan untuk berendam dan sebuah bangunan rumah tinggal pemimpin suku dayak.


Dalam kesehariannya dalam hal perekonomian, mereka umumnya adalah bekerja sebagai seorang petani, buruh, pedagang dan nelayan. Dan pendidikan terakhir mereka pun hanya sampai Sekolah Dasar serta beberapa dari mereka sampai Sekolah Menengah Pertama. Berdasarkan ajaran Bapa, pendidikan terbagi atas dua kategori yaitu Sekolah Sejarah dan Sekolah Alam. Sekolah sejarah adalah pendidikan yang di dapat dari kebudayaan manusia seperti Sekolah Dasar, Sekolah Diniyah, SMP dan SMA. Dan yang terpenting bagi manusia adalah Sekolah Alam, yaitu  pendidikan yang diajarkan oleh alam kaitannya dengan perilaku dan cara hidup manusia di dunia yang sepantasnya harus selaras dan saling ketergantungan dengan alam. Bagi yang tidak mengerti dalam hal ini akan melakukan perusakan terhadap alam, maka alam pun akan merusak manusia dengan hukumnya, begitu juga dengan sebaliknya.
Pengikut dari komunitas dayak losarang adalah mayoritas mantan preman yang pada kehidupan sebelumnya suka mencuri, merampok, pezinah, pemabuk dan gemar berjudi. Tetapi setelah menyatu dengan Bapa meraka tidak lagi melakukan hal-hal buruk yang seperti kehidupan sebelumnya, mereka menjadi toleran, sopan dan suka menolong terhadap masyarakat sekitar Desa Krimun sebab di sekitar padepokan  masyarakatnya mayoritas adalah janda-janda lansia dan selama ini mereka tidak pernah membuat masyarakat sekitar merasa resah. Bahkan terkadang juga Ki Takmad suka membagi-bagikan uang kepada anak-anak di sekitar desa tersebut,
lha wong kita due rejeki ya dibagi-bagiaken, kita ora tega baka ana bocah cilik njaluk sangu sekolah wong tuane laka duite mader gah padha mangan sega aking enggal dinane. Kudu belajar ning alam ya bari ndeleng ning sekitare
Artinya, “lha orang saya sedang mempunyai rizki ya (saya) bagi-bagikan, saya tidak sampai hati (ketika) ada anak kecil yang meminta uang saku (untuk) berangkat sekolah (tapi) orang tuanya tidak memiliki uang, (sebab) hanya mengkonsumsi nasi aking dalam kesehariannya. Harus belajar (kepada) alam ya sambil melihat (dan memahami) di sekitar (kita)”
Meski disamping itu juga ada mantan ustadz dan masyarakat awam pada umumnya ikut karena menginginkan kehidupan yang nyaman menurut mereka.
Dalam praktiknya, Ki Takmad menjelaskan bahwa ada kasta dalam kelompok tersebut yang dilihat berdasarkan keimanan dan amaliah ajaran Sejarah Alam Ngaji Rasa yaitu:
Pertama, pengikut yang wudha atau yang setengah telanjang hanya memakai celana sepanjang lutut dengan memiliki dwi-warna (celana sebelah kanan berwarna putih dan kiri berwarna hitam), memakai 3 macam warna gelang yang terbuat dari bahan yang berbeda yaitu batu, kayu dan tulang. Ikat pinggang yang terbuat dari kayu dan berukir gambar tokoh pewayangan serat caping yang dwi-warna.
            Pengikut yang wudha adalah pengikut yang sudah melakukan kungkum dan pepe selama empat bulan berturut-turut dan berikutnya di setiap tahun melakukan kungkum dan pepe dilakukan 24 hari tanpa dengan ketentuan tanggal. Dan semenjak itu mulai tidak mengkonsumsi hal-hal yang berasal dari unsur hewan termasuk susu dan telur.
            Kedua, pengikut berseragam yaitu pengikut yang dalam kesehariannya menggunakan kostum hitam-hitam (baju hitam dan celana hitam), mereka golongan yang masih belum mampu atau belum siap melakukan kungkum dan pepe dalam empat bulan, namun mereka sudah menjalani hidup tanpa mengkonsumsi makanan yang berasal dari unsur hewani. Dan ketiga, adalah preman, preman yang mereka maksud adalah awam. Yaitu mereka yang masih menggunakan pakaian yang pada umumnya namun ditandakan dengan gelang yang mereka pakai dan setiap kajian malam jumat kliwon mereka datang ke padepokan. 






KAMPUNG BUDAYA SINDANGBARANG & KAMPUNG ADAT URUG BOGOR

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Indonesia adalah Negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman etnik atau suku bangsa dan budaya, serta kekayaan dibidang seni dan sastra. Semua sejalan dengan keanekaragaman etnik, suku bangsa dan agama yang secara keseluruhan merupakan potensi nasional.
Salah satu ragam suku yang memiliki kekayaan budaya adalah Desa Sindangbarang. Desa ini terletak di Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Di desa ini terdapat sebuah kampung budaya yang bernama Kampung Budaya Sindangbarang. Kampung ini dahulu merupakan keraton tempat tinggal salah satu isteri dari Prabu Siliwangi yang bernama Dewi Kentring Manik Mayang Sunda.
Rumah-rumah di Kampung Budaya Sindangbarang merupakan hasil rekonstruksi dan revitalisasi yang dilakukan para budayawan Sunda serta para kokolot Sindangbarang. Sebagai perkampungan yang masih memegang teguh tradisi dan adat istiadat leluhur, bentuk bangunan rumah dibuat sedemikian rupa sehingga tampak sama dengan apa yang tertulis dalam pantun Bogor tentang Kampung Sindangbarang di masa lampau.
Berdasarkan penjelasan di atas kami akan mencoba memberikan informasi lebih mendalam tentang sejarah, upacara, kesenian, rumah adat dan juga peninggalan-peninggalan lainnya yang masih terjaga di kampung Sindangbarang ini.
1.2    Batasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, objek dari penelitian ini adalah masyarakat etnis kampung Sindangbarang. Fokus penelitian ini dibatasi pada masalah tradisi keagamaan masyarakat tersebut dengan melihat tradisi agama.
Agar pembahasan ini lebih terarah maka perlu dirumuskan permasalahan-permasalahan tersebut berdasarkan pertanyaan-pertanyaan berikut :
1.    Bagaimana sejarah kampung budaya Sindangbarang?
2.    Bagaimana bentuk rumah adat kampung budaya Sindangbarang?
3.    Bagaimana upacara-upacara kampung budaya Sindangbarang?
4.    Bagaimana kesenian kampung budaya Sindangbarang?

1.3    Tujuan Observasi
Tujuan yang ingin dicapai dalam observasi ini adalah untuk mengetahui lebih jauh tentang gambaran kehidupan agama dan sosial masyarakat etnis kampung budaya Sindangbarang. Penelitian ini juga ditunjukkan untuk mengetahui lebih jauh perubahan sosial budaya yang terjadi dalam tradisi mereka.
Adapun hasil observasi ini diharapkan dapat memiliki kegunaan yang bersifat teoritik dan praktis. Secara teoritik, penelitian ini merupakan satu sumbangan sederhana bagi pengembangan studi agama lokal, terutama karena observasi ini mengkaji tentang kepercayaan-kepercayaan yang ada pada etnis kampung tersebut. Adapun secara praktis, penelitian ini akan memberikan pemahaman terhadap masyarakat akan adanya kepercayaan yang ada di etnis kampung tersebut.
Disamping itu, observasi ini diharapkan memperkaya khazanah kepustakaan mengenai kepercayaan yang di anut pada etnis kampung Sindangbarang ini.




















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pelaksanaan Observasi
Hari        : Senin, 02 Mei 2016
Pukul        : 13.00 WIB
Tempat    : Kp. Sindangbarang Ds. Pasir Eurih Kec. Tamansari Kab. Bogor

B.    Narasumber   
Bpk. Maki (08567371489)
sebagai Ketua Adat Kampung Budaya Sindangbarang

1.1.    Sejarah Kampung Budaya Sindangbarang
Kampung Sindangbarang diyakini sudah ada sekitar abad ke-XII. Keberadaan kampung ini tersurat dalam dokumentasi masa lalu, seperti dalam babad Padjajaran dan pantun Bogor. Sindangbarang diyakini sebagai kerajaan bawahan Prabu Siliwangi dengan Kutabarang sebagai ibukotanya. Sindangbarang merupakan keraton tempat tinggal salah satu isteri dari Prabu Siliwangi yang bernama Dewi Kentring Manik Mayang Sunda. Guru Gantangan adalah putra dari Prabu Siliwangi dan Kentring Manik Mayang Sunda yang dilahirkan dan dibesarkan di Sindangbarang, yang mana penguasa Sindangbarang pada saat itu adalah Surabima Panjiwirajaya atau Amuk Murugul. Di tempat ini pula, zaman dahulu prajurit-prajurit Sunda ditempa agar siap membela kerajaan dari segala marabahaya. Berlatar sejarah tersebut, kini Sindangbarang menjelma menjadi kampung budaya yang bertekad meneruskan kearifan lokal dari akar tradisi leluhur mereka.
Menyambangi Kampung Budaya Sindangbarang seperti menemukan jejak kasepuhan Sunda yang telah lama hilang. Pemandangan indah dan udara sejuk khas pegunungan di kaki Gunung Salak menjadi daya tarik lainnya. Kampung budaya ini selalu terbuka bagi siapapun yang ingin berkunjung dan mempelajari lebih dalam tentang tradisi Sunda Bogor, sambil mencari tahu tentang sejarah kasepuhan Sunda Bogor di masa lalu.
Berjarak sekitar 5 km dari pusat Kota Bogor, Kampung Budaya Sindang Barang terletak di Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Meski jaraknya tidak terlalu jauh dari pusat Kota Bogor. Menuju lokasi, pengunjung harus melewati jalan yang berkelok, dan tidak ada angkutan umum yang melewati kawasan tersebut. Banyak yang merekomendasikan untuk sampai ke lokasi lebih baik menggunakan sepeda motor. Karena selain cepat, sepeda motor mampu menjamah jalan kecil hingga sampai ke depan Kampung Budaya Sindang Barang.


1.2.    Rumah Adat Kampung Budaya Sindangbarang
Rumah-rumah di Kampung Budaya Sindangbarang merupakan hasil rekonstruksi dan revitalisasi yang dilakukan para budayawan Sunda serta para kokolot Sindangbarang seperti Anis Djati Sunda, Eman Sulaeman, dll dengan didukung oleh pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Daerah Bogor. Tentu saja penduduk setempat juga turut berperan dalam perkampungan ini.
Bahkan Kasepuhan Cipta Gelar Sukabumi pun mengirimkan bantuan tenaga teknis untuk “mendirikan” kembali perkampungan ini. Perkampungan ini memang pernah rusak karena bencana alam dalam masa yang cukup panjang. Karena itulah, revitalisasi dan rekontruksi perkampungan ini sangat diperlukan agar generasi muda Sunda dapat mengenal dan melestarikan jati dirinya.
Sebagai perkampungan yang masih memegang teguh tradisi dan adat istiadat leluhur, bentuk bangunan rumah dibuat sedemikian rupa sehingga tampak sama dengan apa yang tertulis dalam pantun Bogor tentang Kampung Sindangbarang di masa lampau.
Rumah adat satu persatu mempunyai fungsi yang berbeda-beda dan fungsi itu diambil dari pantun-pantun bogor.
a.    Imah Gede, zaman dulu disebut rumah raja atau dalam adat jawa modelnya seperti keraton. Karena sudah menjadi kampung budaya kemudian tempat tersebut disebut sebagai Imah Gede yang sekarang menjadi tempat tinggal kepala adat kampung budaya Sindangbarang.
b.    Girang Serah, yaitu rumah penasehat pimpinan atau penasehat raja. Kalau dalam kerajaan disebut sungkleman silengser (Penasehat Raja).
c.    Tempat Kesenian, tempat ini sangat penting sekali kedudukannya karena zaman dahulu seni berfungsi untuk menghibur keluarga raja. Berbagai kesenian asli Sunda seperti kesenian calung, berbagai tari tradisional, hingga angklung gubrag menjadi hiburan menarik yang selalu dipentaskan di kampung budaya ini. Menariknya, di atas panggung selalu tersedia satu set gamelan tatalu yang bisa dimainkan oleh para tamu yang datang.
d.    Saung Lisung, tempat menumbuk padi disana terdapat 2 lumbung padi yang digunakan ketika upacaran penumbukan padi atau saat upacara Seren Taunan.
e.    2 Bangunan Pasanggrahan, sebagai tempat istirahat para tamu adat yang datang untuk berkunjung. Dahulu tamu tidak diperbolehkan menginap serumah dengan kepala adat. Jadi kepala adat menyediakan rumah khusus bagi tamu adat yang datang.
f.    Bale Riungan, yaitu sebagai tempat musyawarah mufakat ketika ada event-event tahunan. Juga sebagai tempat berkumpul dan bermusyarawah masyarakat dengan ketua adat dan para kokolot. Kokolot adalah mereka yang dianggap sebagai sesepuh kampung Sindangbarang. 
g.    Bale Pertirtaan, biasanya digunakan sebagai tempat untuk menjamu para tamu yang baru datang. Meski demikian, tidak jarang bangunan yang lebih mirip pendopo ini juga digunakan sebagai tempat pameran pernak pernik hasil karya masyarakat Sindangbarang dan berbagai acara internal tamu yang datang.
h.    2 Bangunan Tampian, zaman dahulu kamar mandi tidak diperbolehkan berada di dalam rumah. Sebab dulu ritual dilaksanakan terus-menerus jadi setiap hari rumah itu harus dalam keadaan bersih.
i.    Tanjung Bale Agung, kalau sekarang di sebut musholla sebagai tempat ibadah masyarakat kampung Sindangbarang.
j.    3 bangunan Panengeun, rumah para kokolot/pengelola rumah adat.
k.    6 bangunan Pangiwa.

1.3.    Upacara-upacara Kampung Budaya Sindangbarang
Pada awalnya upacara Seren Taun pada masyarakat Sunda Wiwitan terbagi menjadi tiga, yaitu:
1) Seren Taun Kuara Bakti yang dilaksanakan 8 tahun sekali,
2) Guru Beni yang dilaksanakan 4 tahun sekali,
3) Majetin Pare yang dilaksanakan setelah panen padi.
Kemudian pada abad ke 16 kerajaan Padjadjaran bubar lalu digantikan oleh pemerintahan islam. Untuk mengangkat kembali budaya islam Seren Taun berubah menjadi sedekah bumi, yang awalnya di peringati dengan memotong kepala kerbau atau kambing dan menguburnya. Kemudian para ulama melakukan sedekah bumi dengan mengubah waktu peringatan Seren Taun pada bulan 1 muharram.
Jadi, perbedaan seren taunan pada Banten, Cibubur, dan Sindangbarang yaitu kalau banten dan cibubur itu lebih mengarah panen padi tetapi kalau sindang barang ini lebih ke peringatan tahun baru islam yang terjadi pada 1 muharrom.
Upacara Seren Taunan ini merupakan bentuk rasa syukur kepada yang Maha Kuasa atas hasil panen dan hasil bumi yang melimpah. Acara ini diselenggarakan dengan membawa rengkong untuk mengangkut padi dan dongdang yang berisi sayur-sayuran dan buah-buahan untuk di arak keliling kampung. Setelah itu hasil bumi diperebutkan warga sekitar untuk mendapatkan berkah. Padi-padi kemudian disimpan di lumbung padi atau leuit. Upacara ini merupakan tradisi yang paling ditunggu-tunggu karena juga diiringi oleh pertunjukan lainnya seperti angklung gubrak, pencak silat, dan parebut seeng.
 Pelaksanaan Seren Taunan selama 3 hari dianjurkan pada hari jum’at sampai minggu:
1.    Pada malam jum’at para kokolot berkumpul melakukan ritual.
2.    Jum’at pagi pengambilan air di 7 mata air yang diambil oleh para kokolot di iringi dengan seni-senian.
3.    Jum’at sore mengambil ikan di sungai. Berhubung karena ikan nya sekarang sudah tidak ada jadi panitia menyiapkan ikan sebanyak 1 kwintal.
4.    Malam sabtu yaitu siraman rohani dengan membacai air tersebut dengan ayat-ayat suci
5.    Sabtu pagi yaitu sedekah kue
6.    Lugel munding memotong kerbau. Pala, satu paha, dan jeroan kerbau dibagikan ke para tamu. Yang selebihnya diberikan ke anak yatim dan janda.
7.    Sabtu sore semua kesenian yang terdapat di kampung budaya ini di tampilkan
8.    Sabtu malam hiburan adat sunda
9.    Minggu pagi masyarakat membawa hasil panen yang mereka punya, lalu pemimpin upacara ersebut berdoa. Setelah berdoa mereka memperebutkan hasil panen yang mereka bawa.

1.4.    Kesenian Kampung Budaya Sindangbarang
Menjejak Kampung Budaya Sindangbarang seperti masuk ke mesin waktu ke masa ratusan tahun lampau di mana kerharmonisan manusia dan alam masih begitu lekat. Inilah perkampungan yang merepresentasikan jatidiri orang-orang sunda, lengkap dengan tradisi budaya yang masih lekat dan dijunjung tinggi oleh warganya. Di sini akan dengan mudah ditemui anak-anak yang sedang belajar kesenian tradisional, ibu-ibu sibuk menumbuk padi dengan lesung atau memasak dengan menggunakan hawu (tungku tradisional), dan para petani yang sedang bekerja di sawah. Kehidupan yang sudah sangat sulit kita temui di zaman modern ini.
Untuk melestarikan kesenian tradisional di kampung budaya, maka diselenggarakan pelatihan tari dan gamelan untuk generasi muda secara gratis oleh Kampung Budaya Sindang Barang, Anak-anak muda yang telah mahir di bidang kesenian masing-masing maka akan dilibatkan dalam pementasan menyambut tamu yang tentunya akan menambah penghasilan untuk mereka sendiri. Pelatihan budaya ini dilaksanakan pada hari minggu dan tidak dipungut biaya sepeserpun bagi masyarakat yang ingin mempelajari tentang kesenian Sindangbarang ini.
Di Kampung budaya Sindangbarang sendiri terdapat sekitar 8 macam kesenian Sunda yang telah direvitalisasi dan dilestarikan oleh para penduduknya, antara lain yaitu: Seni Gondang, Parebut Se’eng, Kendang Pencak, Seni Reog, Angklung gubrag, Rampak Gendang, Calung dan Jaipong.


















1.5.    Potret Acara Seren Taun
































1.6.    Dokumentasi Kampung Budaya Sindangbarang





























































BAB III
PENUTUP

1.1    Kesimpulan
Setelah pemaparan yang telah dipaparkan oleh peniliti, maka dapat disimpulkan:
a.    Sejarah Kampung Sindangbarang diyakini sudah ada sekitar abad ke-XII. Keberadaan kampung ini tersurat dalam dokumentasi masa lalu, seperti dalam babad Padjajaran dan pantun Bogor.
b.    Sebagai perkampungan yang masih memegang teguh tradisi dan adat istiadat leluhur, bentuk bangunan rumah dibuat sedemikian rupa sehingga tampak sama dengan apa yang tertulis dalam pantun Bogor tentang Kampung Sindangbarang di masa lampau. Rumah adat satu persatu mempunyai fungsi yang berbeda-beda dan fungsi itu diambil dari pantun-pantun bogor.
c.    Upacara yang ada di Sindangbarang salah satunya adalah Seren Taun, dimana waktu pelaksanannya berbeda. Seren Taun ini merupakan bentuk rasa syukur kepada yang Maha Kuasa atas hasil panen dan hasil bumi yang melimpah.
d.    Selain ada upacara terdapat pula kesenian yakni adanya pelatihan tari dan gamelan untuk generasi muda secara gratis oleh Kampung Budaya Sindang Barang, Anak-anak muda yang telah mahir di bidang kesenian masing-masing akan dilibatkan dalam pementasan menyambut tamu yang tentunya akan menambah penghasilan untuk mereka sendiri.
1.2    Saran
Setiap masyarakat adat pasti memeiliki cirri khas yang melembaga dalam ritual sehari-hari. Cirri-ciri tersebut telah menjadi identias yang harus dihormati sebagai wujud pergulatan rasionalitas bagi penganutnya. Oleh karena itu, tradisi keagamaan etnis kampung Budaya Sindangbarang hendaknya jangan dipahami sekedar ritualitas belaka melainkan memiliki dimensi spiritualitas yang mendalam yang harus diteliti, digali dan diungkapkan kepada masyarakat.
1.3    Referensi
Pram. 2013. Suku Bangsa Dunia dan Kabudayaan. Cet.1. Jakata: Cerdas Interaktif (Penebar Swadaya Group).
BAB IV
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Pada awalnya Kampung Adat adalah kumpulan beberapa desa yang menggunakan adat sebagai pilar kehidupan bermasyarakat. Ada tersebut dijaga dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari hingga saat ini. Kampung adat biasanya terletak di kampung terpencil dan asing pada teknologi dan kehidupan modern. Seiring berjalannya waktu dan melihat pada kepentingan umum, pemerintah melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan keberadaan Kampung Adat dan mencanangkan program pelestarian berdasarkan pendidikan dan penelitian pada kampung-kampung adat tersebut.
Kampung adat secara resmi adalah Kampung Adat yang diakui dan dilindungi oleh Negara. Salah satu Kampung Adat di Provinsi Jawa Barat adalah Kampung Adat Urug yang terletak di Desa Kiara Pandak Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor.
Kampung Urug merupakan salah satu Kampung Adat peninggalan Prabu Siliwangi, di Kampung Urug ini masyarakatnya moyoritas beragama Islam. Namun, mereka masih percaya terhadap leluhur dan menjalankan ritual-ritual sesuai dengan ajaran nenek moyang. Di Kampung Urug ini ada tujuh upacara yang dilaksanakan dua diantaranya di masjid dan selebihnya di Rumah Adat Urug tersebut. Dalam laporan ini kami akan mencoba memaparkan hasil observasi mulai dari awal mula berdirinya Kampung Adat Urug sampai kepada upacara-upacara adat yang ada didalamnya.

1.2    Batasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, objek dari penelitian ini adalah Kampung Adat Urug di Desa Kiara Pandak Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor. Fokus penelitian ini dibatasi pada masalah sejarah, upacara, peninggalan, rumah adat, dan keagamaan di kampung adat tersebut.
Agar pembahasan ini lebih terarah, maka perlu dirumuskan permasalahan-permasalahan tersebut berdasarkan pertanyaan-prtanyaan berikut:
1.    Bagaimana sejarah Kampung Adat Urug?
2.    Apa saja upacara-upacara yang dilaksanakan di Kampung Adat Urug?
3.    Bagaimana bentuk dan tujuan dari rumah adat di Kampung Adat Urug?
4.    Apa peninggalan yang ada di Kampung Adat Urug?
5.    Bagaimana situasi keagamaan masyarakat di Kampung Adat Urug?

1.3    Tujuan Penelitian
Tujuan dari observasi yang kita lakukan ini yaitu untuk :
1.    Mengetahui bagaimanakah sejarah Kampung Adat Urug
2.    Mengetahui bagaimana upacara-upacara yang dilaksanakan di Kampung Adat Urug
3.    Mengetahui bagaimana bentuk dan tujuan dari rumah adat di Kampung Adat Urug
4.    Mengetahui tentang peninggalan yang ada di Kampung Adat Urug
5.    Mengetahui bagaiamana situasi keagamaan masyarakat di Kampung Adat Urug.



















BAB V
PEMBAHASAN

A.    Pelaksanaa Observasi
Hari        : Jum’at-Minggu
Tanggal    : 06 Mei 2016-08 Mei 2016
Tempat    : Kp. Urug Ds. Kiara Pandak Kec. Sukajaya Kab. Bogor

B.    Narasumber
1.    Abah Ukat Raja Aya (ketua Adat)
2.    Abah Maman (Kepala Kampung)
3.    Bapak Ujang (Tokoh Masyarakat)

1.1.    Sejarah Kampung Adat Urug
Kampung Urug adalah sebuah kampung adat yang terletak di sebuah lembah yang subur dan masuk dalam wilayah admisnistrasi Desa Kiara Pandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor. Kata Urug dijadikan nama kampung, karena menurut mereka berasal dari kata "Guru", yakni dengan mengubah cara membaca yang biasanya dari kiri sekarang dibaca dari sebelah kanan. Kata "Guru" berdasarkan etimologi rakyat atau kirata basa adalah akronim dari digugu ditiru. Jadi seorang guru haruslah “digugu” dan “ditiru”, artinya dipatuhi dan diteladani segala pengajaran dan petuahnya.
Masyarakat Kampung Urug menganggap bahwa mereka berasal dari keturunan Prabu Siliwangi, raja di kerajaan Padjajaran Jawa Barat. Bukti dari anggapan tersebut di antaranya menurut seorang ahli yang pernah memeriksa konstruksi bangunan rumah tradisional di Kampung Urug, beliau menemukan sambungan kayu tersebut sama dengan sambungan kayu yang terdapat pada salah satu bangunan di Cirebon yang merupakan sisa-sisa peninggalan Kerajaan Pajajaran.
Kampung Urug menurut Abah Kolot (Kepala Adat di Kampung Urug) yang dipercaya masih merupakan penerus Kerajaan Padjajaran generasi ke-11 dari keturunan Prabu Siliwangi ke-2, yang merupakan Raja ke-5 Kerajaan Padjajaran. Bahwa Kampung Urug merupakan walikan aksara dan juga Pancer Bumi atau pusat bumi atau bisa jadi pusat dari kasepuhan adat pedalaman masyarakat keturunan Padjajaran.
1.2.    Upacara Kampung Adat Urug
        Masyarakat Kampung Adat Urug hingga kini masih melaksanakan berbagai     upacara/ritual adat yaitu diantaranya:
a.    Muludan, memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW (tanggal 12 Rabbi’ul Awal). Dalam acara ini ketua Adat bersama warga khusus mengirim do’a untuk nabi Muhammad karena sudah berjasa membawa agam Islam. Biasanya dalam acara tersebut dihidangkan makanan-makanan khas daerah dan olahan lauk-pauk yang akan dibagikan kepada warga setelah di doakan.
    Adapun proses mauludan itu dilaksanakan sebagai berikut:
1.    Pukul 05.30 masyarakat datang ke rumah adat dengan membawa ayam,
2.    Ratusan orang berkumpul untuk proses pemotongan ayam bersama,
3.    Pukul 07.00-11.00 dilakukan dzikir oleh para bapak-bapak dengan dihidangkan kue,
4.    Selesai dzikir bersama para bapak pulang kemudian ibu-ibu datang ke rumah adat dengan membawa tumpeng,
5.    Kemudian acara terakhir doa bersama oleh kepala adat dan ustadz.
b.    Seren taun (Sukuran hasil panen) dilaksanakan sebagai ungkapan rasa sukur dari petani yang dipimpin oleh ketua Adat, rasa sukur ini ditujukan kepada yang pertama telah memberikan bibit pokok dalam masalah pangan kepada manusia, yaitu yang maha kuasa pertama karena pada hakekatnya bumi tempat tumbuh berbagai macam tanaman yang bermanfaat bagi manusia, maka ketika akan mengambilnya harus meminta izin kepada yang punya. Kegiatan ini dilakukan setelah setelah semua warga selesai panen, dalam proses.
    Seren Taun ditandai dengan peyembelihan kerbau yang dagingnya dimasak dan dijadikan untuk selametan, selanjutnya warga dan ketua adat melakukan ziarah ke makam leluhur ketua adat, dan selanjutnya masyarakat pun melakukan ziarah ke makam kerabatnya. Sepulang ziarah mengadakan selametan lagi sebagai tanda telah mengadakan ziarah kemakam leluhur setelah itu warga mempersiapkan hidangan buat warga dan juga tamu yang sengaja  datang dari luar baik tamu dari instansi pemerintah, mahasiswa, dan juga pedagang. Selanjutnya mengadakan selametan yang dipimpin oleh ketua adat, setelah selesai selametan baru hiburan dimulai seperti jaipongan, golek dan sebagainya, dan kesokan harinya warga mengadakan selametan kembali dengan membawa pangang ayam dan nasi sebakul, ayam yang di pangang di sembelihnya dekat rumah adat.
c.    Sedekah rowahan, tanggal 12 bulan Rowah (Bulan sya’ ban), dilaksanakan pada bulan (sya’ban), pagi hari masyarakat membawa ayam satu ekor per-keluarga, dan disembelih dihalaman rumah adat, setelah selesai dimasak, dibawah lagi ke rumah adat, selametannya di lakukan bada dhuhur, acara ini dan doa yang dikirim sebagai wujud bakti kepada nabi adam alaihi salam karena menjadi induk semua umat manusia.
d.    Sedekah bumi, lewat beberapa bulan setelah selesai bulan Rowah (syaban), puasa (Ramadhan), syawal. Acara ini diadakan sebelum menanam padi. Semua warga makan bersama di halaman rumah adat, sebelum makan bareng warga memanjat Doa agar ketika selama menanam padi selamat dari hama dan tanpa kendala.
e.    Seren pataunan adalah sebuah acara adat penutup tahun. Acara ini bertujuan agar bisa diselamatkan tahun yang sudah dijalani, ritual adat hampir sama dengan seren taun. Yaitu ada acara pemotongan kerbau lalu dilakukan syukuran. Setelah pemotongan kerbau kepala adat menuju bumi alit digiring masyarakat, dan samapai pada malam puncak sekitar pukul 08.00.

1.3.    Rumah Kampung Adat Urug
    Rumah adat di Kampung Urug ada beberapa macam: Bumi Ageung atau Gedong Ijo, sesuai warnanya yang dominan hijau, kemudian yang kedua  di depan Bumi Ageung  berdiri pula sebuah rumah panggung yang lebih kecil dalam nuansa warna yang sama, bumi alit (alias rumah kecil). Bangunan itu terletak paling ujung dan terpencil, terkurung dalam pagar kawat, dan cukup memberi kesan keramat dan sakral. Adapun penjelasan lebih rincinya adalah sebagai berikut:
1.    Bumi Ageung yaitu rumah yang ditempati oleh ketua adat dan biasa dipakai penerimaan tamu ataupun upacara-upacara yang ada di Kampung Urug yang dijadikan sebagai pusat kegiatan. Suasana di dalam Bumi Ageung tampak luas dan sedikit remang-remang. Aroma serbuk kayu  memenuhi ruangan (kebetulan saat itu sedang ada pemugaran di bagian belakang rumah).  Perabot kayu antik menjadi penyekat antar ruang yang terbuka.
2.    Rumah Panggung yaitu sebuah rumah yang berada di depan Bumi Ageung sebagai tempat paniisan (Istirahat arwah leluhur). Tempat ini tidak bisa dikunjungi oleh orang lain, hanya saja yang biasa ke tempat ini adalah seseorang yang membersihkan dan merawat sebanyak 2 kali dalam sebulan. Sedangkan selain dari petugas kebersihan yang boleh masuk adalah Ketua Adat (Abah Ukat) dan Istrinya itupun hanya dilakukan 1 tahun sekali. Tempat ini juga biasa dilakukan untuk semadi kepala adat.
3.    Bumi Alit terletak paling ujung dan terpencil, terkurung dalam pagar kawat, dan cukup memberi kesan keramat dan sakral. Tempat bumi alit ini yaitu kuburan nenek moyang yang tidak diketahui. Seseorang yang bisa masuk yaitu sama hanya Ketua Adat dan istrinya dan itupun dilakukan 2 kali dalam setahun.
4.    Leuit yaitu tempat penyimpanan padi setelah panen dan sebelum ditumbuk. Biasanya diambil pada hari-hari tertentu yaitu kamis dan minggu.

1.4.    Kearifan Lokal Kampung Adat Urug
    Kearifan lokal Kampung Urug ini memilik tiga fungsi yaitu mengatur, mngendalikan dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia baik dalam bermasyarakat, hubungannya denagn alam dan juga hubungannya dengan sang pencipta.
    Ada beberapa kearifan lokal yang ada di Kampung Adat Urug diantaraya adalah konsep ajaran Ngaji Diri yang merupakan falsafah atau pandangan hidup warga kesepuhan adat Urug yang diturunkan oleh leluhur dan dijalankan dan dipakai dalam rutinitas kehidupan. Selanjutnya ialah budaya pamali yang merupakan talek atau aturan, misalnya aturan dalam pengelola pertanian, bahan pangan (padi) dan penggunaan bahan bangunan rumah adat dan rumah warga kasepuhan. Selanjutnya ialah budaya Gotong royong.
1.    Konsep Ngaji Diri
Konsep Ngaji Diri (memahami diri sendiri atau mawas diri) adalah suatu ajaran pembinaan moral yang didalamnya tercermin pengertian koreksi diri. Di Kampung Adat Urug, ajaran Ngaji Diir disebut juga Tapa Manusia (memahami siapa sebenarnya jati diri manusia, hakekat manusia).
Adapun prinsip-prinsp dalan Ngaji Diri:
a.    Mipit kudu amit, ngala kudu menta (mengambil atau memetik itu harus meminta izin kepada yang mempunyainya dengan kata lain jangan mencuri)
b.    Muruh bacot muruh concot (sikap ramah tamah kepada tamu dan harus menjamu tamu dengan hidangan sekedarnya)
c.    Ulah harep teuing bisi tijongklok, ulah tukang teuing bisi tijengkang (jangan terlalu depan nanti tersungkur, jangan teralalu belakang nanti terlentang)
d.    Nafsu kasasarnya lampah, badan anu katempuhan (bila kita terbawa nafsu maka badan yang akan menanggung akibatnya)
2.    Budaya Pamali
Pamali (Tabu) adalah suatu aturan atau norma yang mengikat kehidupan masyarakat adat, dan merupakan turunan ajaran konsep Ngaji Diri.
3.    Budaya Gotong Royong
Gotong royong adalah budaya dan kearifan lokal yang ada di setiap suku-suku bangsa di Indonesia, tak terkecuali di Kampung Adat Urug, nilai gotong royong bisa kita lihat dalam falsafah sunda yaitu “silih asih, silih asah, silih asih silih elingan bejan, ilmu pangempuh kadagelas istilah tersebut mempunyai nilai untuk saling melindungi, membantu, mengayomi, membantu dan menasehati. Nilai yang terkandung dalam falsafah tersebut adalah seperangkat nilai dan pegangan dalam perilaku masyarakat, seperti prilaku gotong royong yang ada di Kampung Adat Urug. Perilaku gotong royong tersebut ialah dalam melakukan proses pertanian yang dilakukan secara bersama-sama seperti penanaman padi bareng, pengurusan irigasi secara bersama-sama, dan panen padi bersama-sama.

1.5.     Sistem Kekerabatan dan Kepemimpinan
Mengenai sistem kekerabatan, di Kampung Urug dikenal dengan tali kekerabatan yang disebut Tatali Kahuripan karena semua yang tinggal di kampung Urug masih memiliki hubungan saudara. Di Kampung Urug dipimpin oleh Ki Kolot Ukat, Ki Kolot Ukat ini yang bertugas mengendalikan dan mempertahankan adat istiadat yang sudah turun temurun. Adapun sistem kepemimpinan di Kampung Urug ini, ada tingkatan tertentu yaitu tingkatan tertinggi yaitu ketua suku, kedua ketua kampung, selanjutya RW dan RT. Mengenai pemilihJadi an ketua suku atau ketua adat, di kampung Urug ini menggunakan wangsit. yang menjadi pemimpin adat tidaklah harus keturunan dari pemimpin adat yang sebelumnya, melainkan yang jadi pemimpin suku selanjutnya itu hanya pemimpin adat (yang sekarang Abah Ukat) yang dapat mengetahuinya.

1.6.    Dokumentasi Kampung Adat Urug

 

 


 

 


 


 



 



 


 



1.7.    Jadwal Kegiatan Observasi Kampung Adat Urug
 A. Hari Pertama (Jum’at, 06 Mei 2016)
    08.00-09.00       Preparing (Halte UIN)
    13.00-13.30       ISHOMA (Musholla kampung Urug)
    13.30-14.15       Ramah Tamah dengan keluarga Abah Ukat
    14.15-17.00       Membaur dengan warga (wawancara dengan bapak Ujang)
    17.00-19.30       ISHOMA
    19.30-22.00       Belajar Mengenal sejarah Kampung Adat Urug Bogor
          22.00-05.00           Istirahat Tidur
 B. Hari Kedua (Sabtu, 07 Mei 2016)
    05.00-07.00       Sholat, Olah Raga, Sarapan Pagi
    07.00-08.00       Menyaksikan Tradisi penumbukan padi
    08.00-10.30       Traking ke sungai bersama anak-anak kampung urug  
    10.30-13.00       ISHOMA
    13.00-16.15      Traking ke tempat penyimpanan padi
    16.15-17.00       Diskusi
    17.00-19.00       ISHOMA
    19.00-20.15       berkunjung ke rumah Sekretaris Desa
    20.15-22.30       Wawancara dengan Abah Maman kepala kampung
    22.30-22.45       Diskusi
22.45-04.50          Istirahat Tidur
C. Hari ketiga (Minggu, 08 Mei 2016)
04.50-07.00      Prepare Pulang, sarapan Pagi
07-00-09.45      Gotong-royong pembongkaran rumah Adat
10.45-11.30      Makan siang, Perpisahan dengan keluarga Abah Ukat
11.30-12.00      Ramah tamah dengan warga sekitar dan Check Out







BAB VI
PENUTUP

1.1.     Kesimpulan
Setelah pemaparan di atas maka dapat disimpulkan sebabgai berikut:
1.    Masyarakat Kampung Urug menganggap bahwa mereka berasal dari keturunan Prabu Siliwangi, raja di kerajaan Padjajaran Jawa Barat. Kata Urug dijadikan nama kampung, karena menurut mereka berasal dari kata "Guru", yakni dengan mengubah cara membaca yang biasanya dari kiri sekarang dibaca dari sebelah kanan.
2.    Masyarakat Kampung Adat Urug hingga kini masih melaksanakan berbagai     upacara/ritual adat yaitu diantaranya: Muludan, Seren taun, Sedekah Rowahan, Sedekah bumi, Seren pataunan.
3.    Rumah adat terdiri dari: Bumi Ageung, Rumah  Panggung , Bumi Alit dan Leuit.
4.    Kearifan lokal Kampung Adat Urug terdiri dari 3 yaitu ngaji diri, budaya pamali dan budaya gotong royong
5.    Adapun sisitem kekerabatannya dalam satu kampung itu masih ada hubungan saudara.

1.2.     Saran
Setiap masyarakat adat pasti memiliki ciri khas yang melembaga dalam ritual kehidupan sehari-hari. Ciri-ciri tersebut telah menjadi identitas yang harus dihormati sebagai wujud pergulatan rasionalitas bagi para penganutnya. Oleh karena itu, tradisi keagamaan masyarakat etnis Kampung Adat Urug hendaknya jangan dipahami sekedar ritualitas belaka melainkan memiliki dimensi spirititualitas yang mendalam yang harus diteliti dan digali kepada masyarakat.

1.3.     Referensi
Astuti Dewi, Risma Rismawati. 1987. Adat Istiadat: Masyarakat Jawa Barat. Bandung: PT. Sarana Panca Karyanusa.
Halimi. 2013. Kearifan Lokal dalam Upaya Ketahanan Pangan di Kampung Urug Bogor. Skripsi pada FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: tidak diterbitkan.

Kamis, 02 Juni 2016

SUKU MINANGKABAU

 
Asal Usul Sumatera Barat
Suku ini merupakan salah satu suku yang terkenal dengan cerita rakyatnya yang begitu melegenda di seluruh tanah air. Suku Minang berada di Sumatera Barat sebagai salah satu provinsi yang terletak di sepanjang pesisir pulau Sumatera. Padang sebagai ibu kota Sumatera Barat dikenal dengan masakannya yang khas dan dominan bumbu asli dari rempah-rempah Indonesia. Provinsi dengan jumlah penduduk 4.846.909 jiwa ini memang dominan di huni oleh masyarakat yang beretnis Minang, karena itu wajar saja jika Sumatra Barat dikenal lewat suku Minangkabau.

2.     Awal Mulanya Minangkabau
Sejarah bermula pada masa kerajaan Adityawarman, yang merupakan tokoh penting di Minangkabau. Seorang Raja yang tidak ingin disebut sebagai Raja, pernah memerintah di Pagaruyung, daerah pusat kerajaan Minangkabau. Adityawarman adalah seoranga Raja yang berjasa memberi sumbangsih bagi alam Minangkabau, selain itu beliau juga orang pertama yang memperkenalkan sistem kerajaan di Sumatera Barat. Sejak pemerintahan Raja Adityawarman tepatnya pertengahan abad ke-17, Propinsi ini lebih terbuka dengan dunia luar khususnya Aceh. Karena hubungan dengan Aceh yang semakin intensif melalui kegiatan ekonomi masyarakat, akhirnya mulai berkembang nilai baru yang menjadi landasan sosial budaya masyarakat Sumatera Barat. Agama Islam sebagai nilai baru tersebut berkembang di kalangan masyarakat dan berangsur-angsur mendominasi masyarakat Minangkabau yang sebelumnya didominasi agama Buddha. Selain itu sebagian kawasan di Sumatera Barat yaitu pesisir pantai barat masih berada di bawah kekuasaan kerajaan Pagaruyung, namun kemudian menjadi bagian dari kesultanan Aceh.
Melirik sejarah singkat Minangkabau, merupakan salah satu desa yang berada di kawasan Kecamatan Sungayang, Tanah Datar, Sumatera Barat. Desa tersebut awalnya merupakan tanah lapang. Namun karena adanya isu yang berkembang bahwa Kerajaan Pagaruyung akan
di serang kerajaan Majapahit dari Provinsi Jawa maka terjadilah peristiwa adu kerbau atas usul kedua belah pihak. Kerbau tersebut mewakili peperangan kedua kerajaan. Karena kerbau Minang berhasil memenangkan perkelahian maka muncul kata manang kabau yang selanjutnya di jadikan nama Nagari atau desa tersebut. Upaya penduduk setempat mengenang peristiwa bersejarah tersebut, penduduk Pagaruyung mendirikan sebuah rumah loteng (rangkiang) dimana atapnya mengikuti bentuk tanduk kerbau. Menurut sejarah, rumah tersebut didirikan di batas tempat bertemunya pasukan Majapahit yang di jamu dengan hormat oleh wanita cantik Pagaruyung. Situasi masyarakat saat itu umumnya hidup dengan cara berdagang, bertani sawah, hasil hutan dan mulai berkembang pertambangan emas. Beberapa pernyataan timbul bahwa alat transportasi yang digunakan untuk menelusuri dataran tinggi Minangkabau adalah kerbau. Alasan menggunakan kerbau karena agama yang dipercaya pada waktu itu di ajarkan untuk menyayangi binatang gajah, kerbau, dan lembu. Karena ajaran tersebut mereka menggunakan kerbau sebagai masyarakat dengan adu kerbau.
Bukti arkeolog mengatakan bahwa daerah kawasan Minangkabau yaitu Lima puluh Koto merupakan daerah yang dihuni pertama kali oleh nenek moyang orang Minang. Di daerah tersebut mengalir sungai-sungai yang dijadikan sarana transportasi pada zaman dulu. Nenek moyang orang Sumatera di perkirakan berlayar melalui rute ini dan sebagian diantaranya menetap dan mengembangkan peradabannya di sekitar Lima puluh Koto tersebut. Terbukanya provinsi Sumatera Barat terhadap dunia luar menyebabkan kebudayaan yang semakin berkembang oleh bercampurnya para pendatang. Jumlah pertumbuhan penduduk yang semakin bertambah menyebabkan persebaran penduduk ke berbagai lokasi Sumatera Barat. Sebagian menyebar ke selatan dan sebagian ke bagian barat Sumatera.
Jatuhnya kerajaan Pagaruyung dan terlibatnya negara Belanda di Perang Padri, menjadikan daerah pedalaman Minangkabau menjadi bagian dari Pax Nederlandica oleh pemerintah Hindia Belanda. Kemudian daerah Minangkabau di bagi menjadi Residentie Padangsche Bovenlanden serta Benedenlanden. Pada zaman VOC, Hoofdcomptoir van Sumatra's westkust merupakan sebutan untuk wilayah pesisir barat Sumatera. Hingga abad ke-18, Provinsi Sumatera Barat semakin terkena pengaruh politik dan ekonomi akhirnya kawasan ini mencakup daerah pantai barat Sumatera. Kemudian mengikuti perkembangan administratif pemerintahan Belanda, kawasan ini masuk dalam Pemerintahan Sumatra's Westkust dan di ekspansi lagi menggabungkan Singkil dan Tapanuli. Pada 1905, wilayah Singkil dialihkan ke Residen Aceh, dan Tapanuli dijadikan residen Tapanuli. Memasuki tahun 1914, pemerintahan Sumatera’s Westkust statusnya diturunkan menjadi Residen Sumatera’s Westkust. Kemudian wilayah Mentawai di tambahkan di Samudera Hindia menjadi bagian dari Residen Sumatera. 21 tahun berikutnya tepatnya 1935 kawasan Kerinci dimasukkan juga ke bagian Residen Sumatera. Setelah perpecahan pemerintahan Sumatra’s Ootkust, kedua wilayah yaitu Kuantan Singingi dan Rokan Hulu dimasukkan ke Residen Riouw, dan dengan waktu yang hampir sama dibentuk Residen Djambi.
Selanjutnya masa pendudukan Jepang di kawan ini, Residen Sumatera’s Westkust berganti nama dengan bahasa Jepang yaitu Sumatora Nishi Kaigan Shu. Karena alasan strategi militer, wilayah Kampar akhirnya dikeluarkan dari Residen Sumatera’s Westkust atau Sumatora Nishi Kaigan Shu kemudian digabung ke wilayah Rhio Shu. Sampai awal kemerdekaan negara Indonesia tahun 1945, daerah Sumatera Barat digabungkan dalam Provinsi Sumatera yang berdomisili di Bukittinggi. Tahun 1949 Provinsi Sumatera mengalami perpecahan menjadi 3 kawasan, yakni provinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Sumatera Tengah yang mencakup Sumatera Barat, Jambi dan Riau.
3.     Mitologi
1. batu angkat angkat Bila Anda berkunjung ke Batusangkar Tanah Datar, Sumatera Barat (Sumbar), Anda akan menemukan ragam cerita batu. Sejak cerita berlatar sejarah, sampai yang berbalut mitos dan kearifan lokal. Di Batusangkar, agaknya sudah banyak yang mengunjungi batu basurek dan batu batikam. Dua batu yang berhubungan dengan sejarah Minangkabau di masa lalu. Namun, belum banyak cerita tentang batu angkek-angkek. Batu ini disimpan di sebuah rumah gadang di Nagari Balai Tabuh, Kecamatan Sungayang, sekitar 11 KM dari Kota Batusangkar. Untuk mengangkat batu magis itu, anggota adat terlebih dahulu melakukan ritual untuk menjaga keseimbangannya. Meski sarat dengan aroma mistis, Alpi Putra (40), generasi ke-8 dari keturunan penemu batu, Datuak Bandaro Kayo, meminta agar batu tersebut tidak dianggap berlebihan. Menurutnya, batu berbentuk kura-kura tersebut hanya sebagai media untuk meminta dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Untuk mengangkat batu, terlebih dulu harus berwudu sesuai dengan ajaran Islam. Lalu berdoa kepada Tuhan meminta apa yang diinginkan, misalnya jodoh. Kemudian, badan membungkuk dan tangan kanan dan kiri menarik batu ke atas pangkuan. Kalau bisa ditarik ke pangkuan, maka apa yang diminta akan terkabul. Percaya atau tidak, itu pilihan Anda. Yang jelas, Batu Angkek-angkek merupakan salah satu aset Minangkabau yang patut dijaga.
2. ikan sungai janiah(sungai jernih) Ikan sakti ini berada di sebuah kolam yang berada di daerah Sungai Janiah, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Kolam besar yang banyak ikanya ini sunguh terawat dengan rapi air kolam ikan sakti inipun sangat jernih para pengunjung bisa langsung melihat ikan yang ada di dalam kolam. Ikan yang ada di kolampun jumlahnya banyak bahkan ada yang berukuran sampai 2 meter. Tidak ada orang yang bernai menagkap ikan di kolam ini sebab takut akan kutukan ikan sakti yakni siapa saja yang memakan kan sakti di kolam ini akan tertipa musibah. Asal mula ikan yang ada di Sungai Janiah dari penjelmaan anak manusia dan anak jin yang telah dikutuk oleh Tuhan, karena kedua makhluk yang berlainan alam ini telah melanggar janji yang telah mereka sepakati. Versi Muchtar Tuanku Sampono Muchtar Tuanku Sampono yang berusia 96 tahun, tokoh masyarakat Sungai Janiah mengatakan, ikan di Sungai Janiah ini tidak “sakti”. Ikan tersebut berasal dari anak yang hilang. Malam harinya ibu anak tersebut bermimpi agar dibuat nasi kunyit (nasi kuning) dan dipanggil anaknya di Sungai Janiah. “Sejak dulu tidak ada yang berani memakan ikan di Sungai Janiah ini, karena mereka enggan saja karena sepertinya memakan manusianya saja, bahkan Belanda dan Jepang tidak berani menjamah ikan ini,” Menurut Tuanku Sampono tidak ada yang tahu jenis dan nama ikan tersebut. Ikan seperti ikan ‘gariang’, namun kata orang Jambi ikan ini sejenis ikan Kalari. Seperti yang dikatakan oleh Tuanku Sampono ikan-ikan tersebut sejak dulu tidak terlihat anak-anak ikannya.
3.orang bunian Orang bunian atau sekedar bunian adalah mitos sejenis makhluk halus dari wilayah Minangkabau, Sumatera Barat, Indonesia. Berdasar mitos tersebut, orang bunian berbentuk menyerupai manusia dan tinggal di tempat-tempat sepi, di rumah-rumah kosong yang telah ditinggalkan penghuninya dalam waktu lama. Istilah ini dikenal di wilayah Istilah orang bunian juga kadang-kadang dikaitkan dengan istilah dewa di Minangkabau, pengertian "dewa" dalam hal ini sedikit berbeda dengan pengertian dewa dalam ajaran Hindu maupun Buddha. "Dewa" dalam istilah Minangkabau berarti sebangsa makhluk halus yang tinggal di wilayah hutan, di rimba, di pinggir bukit, atau di dekat pekuburan. Biasanya bila hari menjelang matahari terbenam di pinggir bukit akan tercium sebuah Aroma yang biasa dikenal dengan nama "masakan dewa" atau "samba dewa". Aroma tersebut mirip bau kentang goreng. Hal ini dapat berbeda-beda namun mirip, berdasarkan kepercayaan lokal masyarakat Minangkabau di daerah berbeda. "Dewa" dalam kepercayaan Minangkabau lebih diasosiasikan sebagai bergender perempuan, yang cantik rupawan, bukan laki-laki seperti persepsi yang umum di kepercayaan la Selain itu, masyarakat Minangkabau juga meyakini bahwa ada peristiwa orang hilang disembunyikan dewa / orang bunian. Ada juga istilah "orang dipelihara dewa", yang saat bayi telah dilarikan oleh dewa. Mitos ini masih dipercaya banyak masyarakat Minangkabau sampai sekarang 4. bikit tambun tulang Bukit Tambun Tulang ini juga kisah legenda yang bertempat di sekitar jalan yang menghubungkan Kayu Tanam dengan Padang Panjang melintasi Bukit Barisan. Konon dulu kala, terdapat sebuah bukit yang penuh dengan tulang belulang manusia. Kisah ini menceritakan sulitnya orang dari pesisir untuk menuju pusat negeri Minangkabau, karena harus mendaki bukit, kemudian dirampok dan dibunuh di sebuah bukit yang dinamakan "Tambun Tulang". Namun sampai hari ini, belum ada penelitian arkeologi atau sejarah atas mitos ini. Legenda Bukit Tambun Tulang ini kemudian banyak menjadi inspirasi kisah-kisah fiksi. Penulis Makmur Hendrik misalnya, menjadikan Bukit Tambun Tulang ini sebagai latar belakang novel "Giring-giring Perak". Kemudian Bastion Tito, pernah menulis salah satu seri novel Wiro Sableng berjudul "Banjir Darah di Tambun Tulang" 5. batu malin kundang Batu Malin Kundang adalah sebuah batu yang menyerupai manusia tertelungkup di tanah di Pantai Air Manis, Padang, Sumatera Barat. Menurut masyarakat sekitar, batu tersebut diyakini sebagai Malin Kundang yang telah dikutuk oleh ibunya untuk menjadi batu karena bersikap durhaka. Kebenaran legenda tersebut diragukan apakah nyata atau tidak.
4.     Sistem Kemasyarakatan
Sistem kemasyarakatan suku Minangkabau
Masyarakat suku Minangkabau tidak mengenal organisasi masyarakat lainnya yang bersifat adat kecuali kelompok kekerabatan : paruik, kampueng dan suku. Karena itu instruksi/praturan pemerintah, soal administrasi pedesaan, sering disalurkan kepada penduduk desa melalui panghulu sukunya dan panghulu andiko. Sebuah suku dengan panghulu aukunya juga dibantu oleh seorang dubalang dan manti yang tugasnya menjaga keamanan suku.
Ada suatu masyarakat yang panghulu sukunya dipilih, dan ada juga yang hanya menjadi hak suatu keluarga tertentu saja, kalau keluarga itu telah habis, baru pindah kepada keluarga lainnya. Stratifikasi sosial masyarakat Minangkabau pada daerah tertentu (terutama Padang Pariaman) masih mengenal 3 tingkatan, yaitu : lapisan bangsawan, orang biasa dan lapisan terendah (para budak.
1. Golongan bangsawan
Memiliki kedudukan yang tinggi dalam masyarakat dan sering mendapat kemudahan dalam segala urusan, misalnya : memperolah uang jemputan yang tinggi jika menikah, boleh tidak memberi belanja kepada isterinya dan anaknya, memperoleh gelar kebangsawanan juga. Ia boleh kawin dengan/dari kelas mana saja.
Sebaliknya seorang wanita bangsawan dilarang kawin dengan seorang laki-laki biasa, apalagi kelas terendah. Yang termasuk golongan bangsawan ialah orang-orang yang mula-mula datang dan mendirikan desa-desa di daerah Minangkabau. Karena itu mereka disebut sebagai urang asa (orang asal).
2. Golongan orang biasa
Adalah orang-orang yang datang kemudian dan tidak terikat dengan orang asal, tetapi mereka bisa memiliki tanah dan rumah sendiri dengan cara membeli.
3. Golongan ternedah
Adalah orang-orang yang datang kemudian dan menumpang pada keluarga-keluarga yang lebih dulu datang dengan jalan menghambakan diri. Oleh karena itu golongan ini menduduku kelas yang terbawah.
Menurut konsepsi orang Minangkabau, perbedaan lapisan sosial ini dinyatakan dengan sitilah-istilah sebagai berikut :
1. Kamanakan tali pariuk, yaitu keturunan langsung dari keluarga urang asa.
2. Kamanakan tali budi, yaitu para pendatang tetapi kedudukan ekonomi dan sosialnya  sudah baik, sehingga dianggap sederajad dengan urang asa.
3. Kamanakan tali ameh, yaitu para pendatang baru yang mencari hubungan keluarga dengan urang asa, tetapi telah dapat hidup mandiri.
4. Kamanakan bawah lutuik yaitu orang yang menghamba pada orang asa.
5.     Ritual Suku Minangkabau
Sebagian besar masyarakat Minangkabau beragama Islam. Masyarakat desa percaya dengan hantu, seperti kuntilanak, perempuan menghirup ubun-ubun bayi dari jauh, dan menggasing (santet), yaitu menghantarkan racun melalui udara. Upacara-upacara adat di Minangkabau meliputi :

1)     upacara Tabuik
Tabuik (Tabut) adalah perayaan lokal dalam rangka memperingati Asyura, gugurnyaImam Husain, cucu Muhammad, yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau di daerah pantaiSumatera Barat, khususnya di Kota Pariaman. Festival ini termasuk menampilkan kembaliPertempuran Karbala, dan memainkan drum tassa dan dhol. Tabuik merupakan istilah untuk usungan jenazah yang dibawa selama prosesi upacara tersebut. Walaupun awal mulanya merupakan upacara Syi'ah, akan tetapi penduduk terbanyak di Pariaman dan daerah lain yang melakukan upacara serupa, kebanyakan penganut Sunni. Di Bengkulu dikenal pula dengan nama Tabot.
Upacara melabuhkan tabuik ke laut dilakukan setiap tahun di Pariaman pada 10 Muharram sejak1831. Upacara ini diperkenalkan di daerah ini oleh Pasukan Tamil Muslim Syi'ah dari India, yang ditempatkan di sini dan kemudian bermukim pada masa kekuasaan Inggris di Sumatera bagian barat.
2)     Makan Bajamba
Makan bajamba atau juga disebut makan barapak adalah tradisi makan yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau dengan cara duduk bersama-sama di dalam suatu ruangan atau tempat yang telah ditentukan. Tradisi ini umumnya dilangsungkan di hari-hari besar agama Islam dan dalam berbagai upacara adat, pesta adat, dan pertemuan penting lainnya. Secara harafiah makan bajambamengandung makna yang sangat dalam, dimana tradisi makan bersama ini akan memunculkan rasa kebersamaan tanpa melihat perbedaan status sosial.
3)     Turun mandi
upacara turun mandi adalah upacara yang sangat mendarah daging di Ranah Minang sampai saat ini . upacara turun mandi adaah upacara ucapan rasa syukur kepada Allah SWT . Upacara turun mandi adalah ritual untuk mensyukuri nikmat Allah berupa bayi yang baru lahir. Upacara ini merupakan sunnah Rasul dan memperkenalkan kepada masyarakat bahwa telah lahir keturunan baru dari sebuah suku atau keluarga tertentu. Dalam upacara ini harus memperhatikan syarat-syarat yang telah kental di masyarakat Minangkabau. 
4)     Batagak pangulu
Batagak penghulu adalah upacara pengangkatan penghulu. Sebelum acara peresmian calon penghulu harus menjalani syarat-syaratnya yaitu Baniah, Dituah Cilakoi, Panyarahan Baniah, Manakok hari. Upacara pengangkatan Penghulu dilakukan dengan cara adat. Upacara ini diberi nama Malewakan Gala. Di hari pertama adalah berpidato, lalu penghulu tertua memasangkan deta dan menyisipkan sebilak keris sebagai tanda serah terima jabatan, akhirnya penghulu baru diambil sumpahnya.

5)     Pacu Jawi
Pacu jawi atau pacu sapi adalah sebuah atraksi permainan tradisional yang dilombakan di Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat. Setiap tahun lomba balap sapi ini diselanggarakan secara bergiliran selama empat minggu di empat kecamatan di Kabupaten Tanah Datar. Pacu jawi telah ada ratusan tahun tang lalu yang awalnya dilakukan para petani setelah musim panen.
6)     Pacu Itiak
Pacu itiak atau dalam bahasa Indonesianya pacu bebek (duck race) ini adalah salah satu event anak nagari yang bisa dibilang event satu-satunya didunia yang turun temurun sejak tahun 1928.

6.     Sistem Politik Suku Minangkabau

Masyarakat Minangkabau adalah sebutan untuk sebuah kelompok masyarakat yang mendiami sebagian besar daerah Propinsi Sumatera Barat yang meliputi kawasan seluas 18.000 meter persegi yang memanjang dari utara ke selatan di antara Samudera Indonesia dan gugusan Bukit Barisan.
Secara jelas batas daerah etnis Minangkabau ini sulit diketahui, bahkan apabila dikaji secara linguistik sama dengan “antah-berantah”. Hal ini disebabkan karena masyarakat Minangkabau lebih banyak melukiskan kondisi dan situasi daerahnya melalui sastra lisan (kaba dan tambo).
Salah satu ciri yang melekat pada masyarakat Minangkabau ini adanya masih kuatnya masyarakat memegang dan menerapkan adat (adaik) yang mereka miliki. Salah satu bentuk ajaran adat tersebut tertuang dalam adat lareh, berupa seperangkat nilai-nilai, norma-norma dan aturan-aturan yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar yang mengatur aktifitas dan kehidupan sosial politik masyarakat Minang.
Lareh sebagai “sistem politik”, sering dipakai untuk menyebut aliran pemikiran dua datuak nenek moyang pendahulu masyarakat Minangkabau yaitu Datuak Katamenggungan yang mengembangkan lareh Koto Piliang, dan Datuak Prapatiah Nan Sabatang. Berangkat dari tambo dan mitos yang berkembang dalam masyarakat Minangkabau, Datuak Katamenggungan mengembangkan sistem politik (lareh) Koto Piliang, dan Datuak Prapatiah Nan Sabatang mengembangkan lareh Bodi Caniago.
Lareh Koto Piliang lebih bercirikan “aristokratis”, dimana kekuasaan tersusun pada strata-strata secara bertingkat dengan wewenangnya bersifat vertikal, sesuai dengan pepatahnya manitiak dari ateh (menetes dari atas).
Sementara lareh Bodi Caniago bercirikan “demokratis” dimana kekuasaan tersusun berdasarkan prinsip egaliter dengan wewenang bersifat horizontal, sesuai dengan pepatahnya mambusek dari bumi (muncul dari bawah).
Secara struktural, ajaran kedua lareh ini lah yang akhirnya mempengaruhi pola kehidupan sosial-politik masyarakat Minangkabau di kemudian hari.
Perbedaan antara dua lareh ini disatu sisi telah memunculkan persaingan satu sama lain, bahkan persaingan tersebut telah terjadi sejak dua Datuak-Datuak Katamenggungan dan Datuak Prapatiah nan Sabatang — mencetuskan adat lareh itu sendiri.
Ini ditandai dengan persaingan antara desa Lima Kaum yang menganut adat lareh Bodi Caniago dengan desa Sungai Tarab yang menganut adat lareh Koto Piliang, yang digambarkan sampai terjadi “perang batu” dan “perang bedil”.


Sistem Ekonomi Suku Minangkabau

Mata pencaharian masyarakat Minangkabau sebagian besar sebagai petani. Bagi yang tinggal di pinggir laut mata pencaharian utamanya menangkap ikan. Seiring dengan perkembangan zaman, banyak masyarakat Minangkabau yang mengadu nasib ke kota-kota besar. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia pada saat ini.

Masyarakat Minangkabau juga banyak yang menjadi perajin. Kerajinan yang dihasilkan adalah kain songket. Hasil kerajinan tersebut merupakan cenderamata khas dari Minangkabau.


7.     Sistem Kesenian Suku Minangkabau

1) Seni Bangunan

Rumah adat Minangkabau disebut rumah gadang. Rumah gadang terdiri atas biliek sebagai ruang tidur, dan didieh sebagai ruang tamu. Ciri utama rumah itu adalah bentuk lengkung atapnya yang disebut gonjong yang artinya tanduk rebung. Antara atap dan lantai terdapat pegu. Di desa Balimbing lebih kurang 10 km dari timur kota Batu Sangkar banyak dijumpai rumah gadang yang berumur 300 tahun.
2) Seni Tari

Tari-tarian yang ada adalah tari silat kucing dan tari silat tupai malompek yang masih dijumpai di daerah-daerah Payakumbuh. Lagu yang digunakan dalam tari itu adalah Cak Din Din, Pado-Pado, Siamang Tagagau, Si Calik Mamenjek, Capo, dan Anak Harimau dalam Gauang. Selain itu juga terdapat tari piring, tari Lilin, tari payung, dan tari serampang dua belas.
3) Seni Musik

Alat-alat musik tradisonal dari suku bangsa Minangkabau adalah saluang dan talempong. Saluang biasa dikenal dengan seruling, sedangkan talempong mirip dengan gamelan yang dibunyikan dengan pemukul.

4) Seni Sastra

Seni sastra yang berkembang pada suku bangsa Minangkabau dan pada umumnya adalah seni sastra pantun yang berupa nasihat.






www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net