Kamis, 02 Juni 2016

(Responding paper suku lombok )Agama Tradisional Orang Lombok




A.    Sejarah perkembangan kepercayaan Waktu-Telu
1.     Sejarah Kepercayaan Watu-Telu
Aliran Waktu-Telu adalah salah satu bentuk faham dalam Islam yang Khas dan hanya terdapat di Lombok. Di beberapa wilayah di Indonesia ada pula yang menjalankan praktek ajaran Islam sebagaimana di lakukan di Lombok itu, tapi tidak pernah disebut sebagai Waktu-Telu.
Pengertian dan Asal-Usul Istilah
Waktu-Telu didefinisikan secara berbeda-beda, sesuai dengan penafsiran masing-masing kelompok. Diantaranya sebagai berikut:
a)     kelompok Islam Waktu-Telu sendiri member batasan sebagai ‘’ proses kejadian makhluk di alam semesta’’.
b)     seorang pakar dari belanda menyebut Waktu-Telu sebagai bentuk kepercayaan zaman majapahit yang terkena pengaruh ajaran Islam.
c)     menurut kenyataanya, Waktu-Telu adalah sekelompok masyarakat Islam yang belum menyempurnakan syariat atau ajaran agamanya.
Waktu-Telu seringkali di sebut sebagai Wetu-Telu ( wetu yang berarti waktu, dan Gamel-telu berarti pegangan) dan Metu-Telu berarti keluar.

Islam yang sepenuhnya bisa diterima baik oleh masyarakat asli. Sejak saat itulah muncul pertentangan-pertentangan antara masyarakat yang belum menyempurnakan ajaran agama Islam dengan papara mubalig Islam.  Tahun 1895, Lombok jatuh ke penguasa Belanda, yang memecah belah karena melihat fanatisme keislaman yang dianut oleh masyarakat Lombok. Dengan pertentangan yang semakin sengit Watu-telu memperkuat fahamnya dengan mengambil pusat pergerakan. [1] perkembangan berikutnya dari tahun 1945-1955 bisa dikatakan statis. Di tahun 1955 faham Islam dalam Watu-Telu mulai terlibat dalam politik. Tahun 1955-1965, para pengikut faham Islam bisa dikatakan vakum.  

2.     Pendiri dan Tokoh-Tokoh Kepercayaan Watu-Telu

Menurut penejelasan pendiri pengurus persatuan Islam Waktu-Telu di kejaksaan tinggi Nusa Tenggara Barat di mataram.
a)     Pada waktu yang tidak diketahui, datang seorang utusan bernama pangeran Gusti Ngurah dari Jawa Tengah. Pangeran gusti ngurah ini dating dari Lombok dengan membawa dua buah al-Qur’an yang dipikul dengan kayu jarak.
b)     Beberapa tahun kemudian datang  lagi seorang utusan lain bernama Gempa Agung. Kedatangan Gempa Agung di Lombok, untuk mencari pangeran Gusti Ngurai.  Akan tetapi Gusti Ngurah tidak ada, maka Gempa Agung tinggal di Lombok  dan mengajarkan Islam kepada para penduduk.
Yang di anggap  bagian pendiri Islam Waktu-Tel di Bayan adalah Ratu Emas Pahit sebuah ulun yang disebut Wong Mu’min. dalam penyebaran agama Islam ia berpedoman pada sumebr Islam yang Hakiki, yakni  al-Qur’an dan Hadis, tetapi tidak memberantas adat yang berlaku di Lombok. Adapun Tokoh-tokohnya yaitu: Raden Singadriya,  seorang tokoh adat yang besar di daerah Bayan Lombok Barat, bagian utara.  Menurut keterangan yang diperoleh kejaksaan Negeri Mataram, Penang, Raden sigadria berasal dari Masyarakat Biasa, Datu  Sukowati, Lalu Badriai, alias  Manik Irmansyak, Mamiq   Murti , Raden Sueno,  SH, Lalu Andaka, Aja, Lalu Jdied.


B.    Pokok-Pokok Kepercayaan dan Upacara Keagamaan
Pada prinsipnya bentuk ritual Wetu Telu dapat disederhanakan ke dalam dua bentuk perwujudan yaitu:
1.     Penghormatan Terhadap Roh
Keyakinan komunitas Islam Wetu Telu adalah percaya kepada makhluk halus yang bersemayam pada benda mati atau benda tertentu atau memiliki kekuatan tetapi tunduk di hadapkan kekuatan Tuhan.
Untuk penghormatan terhadap leluhur yang terdahulu mereka memperlakukannya secara berlebihan. Mereka beranggapan bahwa  kuburannya sebagai makam keramat sedangkan dari kelompok-kelompok yang terakhir mereka kuburkan di pemakaman biasa.
2.     Penyelenggaraan Upacara Tertentu
a)     Perayaan Hari besar Islam
Besar Islam dilaksanakan secara rutin oleh masyarakat Islam Wetu Telu. Perayaan-perayaan tersebut dilakukan untuk mengenang kembali dan mengambil nilai-nilai yang positif.
Adapun bentuk-bentuk upacara Islam Wetu Telu seperti :
1)     Roah Wulan dilaksanakan pada bulan Sya’ban
2)     Selamatan Qunut dilaksanakan pada bulan Ramadhan
3)     Maleman Likuran dilaksanakan pada bulan Ramadhan
4)     Malaman Fitrah dilaksanakan pada bulan Ramadhan
5)     Lebaran Topat dilaksanakan pada bulan Syawal
6)     Qulhu Sataq dilaksanakan pada bulan Syawal
7)     Selamatan Bubur Putiq dilaksanakan pada bulan Syafar
8)     Selamatan Bubur Abang dilaksanakan pada bulan Syafar
9)     Ngangkat Syare’at Maulud dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal
10)  Teq Berat Isra’ Mikraj dilaksanakan pada bulan Rajab.


b)     Upacara Peralihan Individu
Upacara Peralihan Individual dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur dan berharap akan menemukan perjalanan hidup yang lebih baik. Perjalanan hidup yang dimaksudkan adalah perjalanan ketika masih hidup di dunia maupun di akhirat kemudian.
Upacara yang terkait dengan seseorang atau individu yang dilaksanakan pada waktu masih hidup disebut gawe urip sedangkan upacara ritual yang dilaksanakan setelah orang tersebut meninggal dunia disebut gawe pati.

·       Gawe Urip: Buang au (upacara kelahiran), ngurisang (potong rambut), molang malik, ngitangan (sunatan), merariq, merosok (meratak gigi), saur sesangi (memenuhi sumpah), rowah bale.
·       Gawe Pati: Selamatan nyusur tanaq (pemakaman), nelung (ritual hari ketiga), miituq (ritual hari ketujuh), nyiwaq (ritual hari kesembilan), matang puluh (ritual hari keempat puluh), nyatus (ritual hari keseratus), nyiu (ritual hari keseribu), naonin (ritual pada hari kematian) selamatan mengasuh.

c)     Upacara Siklus Tanam
Banyak ritual yang dilakukan pada waktu melangsungkan proses menanam suatu jenis tumbuhan yang disebut adat bonga padi. Upacara ini dilakukan sebagai rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa dan berharap agar segala sesuatu jerih payah pada waktu menanam dapat lebih bermanfaat. Prosesi atau ritual ini merupakan salah satu bentuk aplikasi masyarakat Islam Wektu Telu dalam Pengelolaan sumber daya alam.
Bentuk-bentuk upacara adat seperti itu disebut adat bunga padi. Adat tersebut dilakukan pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan musim tanam atau kalender yang telah ditentukan dalam sistem penanggalan. Adapun bentuk-bentuk adat bonga padi antara lain : Ngaji makam turun bibit, ngaji makam tunas setamba, ngaji Makam ngaturang ulak kaya, nyelametang pare, ngaji ngrangkep, rowah samba, rowah gelang, selametang kuta(lawang Desa).

C.    Konsepsi Kepercayaan Islam Wetu-Telu
Cara berfikir penganut islam waktu telu itu masih sangat sederhana, barangkali karena struktur masyarakatnya yang terisolir dan tidak mudah menerima pengaruh dari luar, apabila jika menyangkut adatistiadat dan agama yang mereka terima dari nenek moyangnya. Sifat gotong royong dan sifat social masih melekat kuat pada diri mereka.Ini terlihat pada beberapa praktek kehidupan mereka seperti:
1.     Melakukan perbaikan rumah atau membangun rumah baru, harus dikerjaka nsecara gotong royong.
2.     Aneka bercocok tanam di sawah dan lading dikerjakan secara gotong royong.
3.     Pemberian makanan kepada pengemis atau salah seseorang tetangga yang kelaparan didasarkan bukan karna kelebihan makanan, tetapi membagi makanan yang ada meskipun makanan tersebut belum dapat mencukupi kebutuhan sendiri.
4.     Segala sesuatu yang mereka miliki merupakan titipan tuhan semata yang tidak boleh mereka sayangi dan cintai melebihi sayang dan cinta mereka kepada tuhan.
5.     Semua harta benda yang mereka miliki seakan-akan merupakan milik bersama.
Sifat-sifat dan norma tersebut disebutnya sebagai ajaran agama nenek moyannya yang kemudian diwariskan kepada mereka yang harus ditanamkan pada jiwa  dan kehidupan anak cucunya.



D.    Interaksi Kepercayaan Orang Lombok dengan agama-agama lain
Masyarakat terdiri atas orang yang saling berinteraksi dan berbagi budaya bersama. Masyarakat mutlak harus ada bagi tiap individu sebab ia merupakan pusaran tempat nilai-nilai, barang-barang. Atau pun peralatan untuk hidup diperoleh. Juga individu mutlak harus ada bagi tiap masyarakat oleh sebab lewat aktivitas dan kreasi individu lah seluruh nilai material suatu peradapan diperoleh


Referensi
Afia, Neng Darol. Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonoseia. Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen Agama RI. 1998



[1] Neng Darol Afia, Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonoseia, (Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen Agama RI, 1998), h. 65

0 komentar:

Posting Komentar

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net