A. Sejarah Asal Usul Suku Naulu
Suku Naulu sering disebut juga orang Naulu atau Nuahunai, artinya
orang yang berdiam di hulu
Sungai Nua yaitu daerah dari mana mereka berasal sebelum menempati daerah yang
sekarang.[1] Suku Naulu
terletak di wilayah Kecamatan Amhai, kampung Lama/Yahisiro dan Bonara. Naulu
terdiri dari dua kata Nua yang
berarti air, Ulu artinya kepala. Jadi Naulu artinya suku yang mendiami kepala
air Nua/ Sungai Nua. Penamaan suku Naulu dilatar belakangi oleh tempat tinggal
nenek moyang mereka.
B. Pokok Ajaran Kepercayaan Suku Naulu
a. Konsepsi
tentang Tuhan
Upu Kuanahatana atau Upu Allah
taala suatu zat yang merupakan kepercayaan tertinggi bagi suku Naulu. Apa saja
permohonan mereka langsung dimintakan kepada Allah taala.
b.
Mite Penjadian
Ada beberapa mite dala proses kejadian alam ini. Pertama, Awalu (Upu kuanahatana) menjadikan Nunusaku. Nunusaku adalah suatu yang berpribadi. Dari Nunusaku inilah menjelma seorang berpribadi yang
berbentuk laki-laki dengan seorang wanita yang berasal dari kayangan (langit). Dari
hubungan kedua lawan jenis ini lahirlah manusia-manusia, seperti Tala, Eti dan
sapalewa. Dengan izin Upu Kuanahatana darah yang mengalir dari kelahiran Tala,
Eti dan sapalewaa itu menjadi danau.
Kedua, Upu Kuanahatana menciptakan langit
sebagai pribadi laki-laki (adam) dan bumi sebagai pribadi perempuan (hawa). Dari
persentuhan kedua pribadi tersebut, lahirlah benda-benda alam yang lain.
Setelah terjadi semua isi bumi, Upu Kuanahatana menurunkan Maatope dari langit.
Maatope diturunkan dari langit dengan tali seperti benang sutera yng sangat
halus, mengingat bumi dimana tempat turunnya Maatope ini masih cair. Berubah
padat, dan akhirnya Maatope Maanawa yakni Maatope laki-laki. Setelah itu Upu
Kuanahatana menciptakan Maatope Hihina (perempuan) dari langit. Langsung
diturunkan ke bumi. Dari Maatope Maanawa dari Maatope Hihina inilah berkembang
manusia.
C. Upacara Keagamaan Suku Naulu
A. Upacara Suu Anaku (Memandikan Anak)
Dikalangan mereka ada suatu tradisi
yang termasuk dalam upacara lingkaran hidup individu. Yaitu upacara yang
berkenaan dengan masa peralihan dari masa kandungan hingga kelahiran. Upacara
tersebut dinamakan oleh mereka upacara “Suu Anaku” yang berarti “memandikan
anak”.
B. Upacara Masa Dewasa bagi Perempuan
(Pinamou)
Istilah pinamou
dalam pengertian lokal
berarti wanita bisu
karena selama berlangsungnya upacara ini si wanita bertindak seperti
orang bisu. Wanita pinamou
dibolehkan berbiacara tapi
harus berbisik tidak
boleh berbicara keraskeras.
Adapun maksud dan
tujuan penyelenggaraan upacara
ini adalah untuk mangalihkan status seorang perempuan
dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.
C. Ritual masa Dewasa bagi laki-laki
Dalam kehidupan
suku Nuaulu laki-laki
mempunyai kedudukan khusus didalamkehidupan sosial
budaya masyarakat. Anak
laki-laki sejak kecil telah ditempa
sedemikian rupa sehingga
mereka setelah dewasa
mampu bertindaksebagai pria-pria
yang bertanggung jawab.
Kalau kedewasaan wanita nuaulu ditentukan oleh datangnya haid, maka
kedewasaan seorang laki-laki ditentukan berdasarkan kedewasaannya menggunakan
senjata, panah dan
tombak. Kelangsungan hidup masyarakat suku
Nuaulu sangat ditentukan
oleh tombak dan
panah. Kalau pada masa
dulu kedua alat ini berfungsi
untuk mempertahankan diri dari kemungkinan serangan musuh
dan berburu, maka
kini fungsi pertama
sudah hilang.
D. Adat dan Etika Suku Naulu
A. Adat meminang
(Ruetauanamana)
Kebanyakan
dalam etika Naulu, sebelum calon pengantin perempuan dan calon pengantin
laki-kali menikah. Calon pengantin laki-laki tersebut melaksanakan perkumpulan
keluarga dahulu dalam rangka membicarakan tujuan calon pengantin laki-laki
untuk meminang calon pengantin perempuan dan mementukan pula kapan pernikahan
akan dilaksanakan. Seterusnya keluarga calon pengantin laki-laki keluar
meninggal rumah huniannya untuk meminang calon pengantin perempuan di rumah
pengantin perempuannya.
B. Pakian Khas
Suku Naulu
Kemajuan zaman
cukup mempengaruhi sikap,
tingkah laku dan
cara berpakaian mereka. Bila
ditelusuri dulu orang
laki-laki dewasa memakai
cidaku yaitu sehelai kain
yang berbentuk empat
persegi panjang (mirip
sepotong selendang) cidaku ini
sebenarnya adalah celana.
Cara memakainya yaitu
melilit aurat dan diikat
pada pinggang. Ujungnya
bagian depan tergantung
ke bawah. Karena termasuk
kelompok masyarakat adat patalima maka ujung cidakunya agak panjang yang
membedakannya dengan cidaku
pada kelompok masyarakat
adat patasiwa yang agak
pendek pada bagian
bawah dari celana/cidaku. Cidaku
ini biasanya diukir atau
dilukis dengan berbagai
ragam hiasan yang
disesuaikan dengan ketentuan dari masing-masing soa.Cidaku ini
dipakai oleh laki-laki
dewasa untuk bekerja
sebagai pakaian biasa/harian juga
dipakai pada upacara-upacara adat.
Untuk wanita cidaku
ini dibuat menyerupai sebuah
rok pendek. Dalam
perkembangan selanjutnya
masyarakat telah memakai
pakaian sehari-hari yang
dibeliti ditoko-toko atau pedagang
keliling sehingga bentuk
dan kenisnya sudah
sama saja dengan masyarakat lain
di daerah ini.
Pakaian anak-anak untuk
berpergian sama saja dengan
anak-anak lain, ada
yang memakai celana
pendek dengan kaus
panjang tanpa pengalas kaki,
dan ada juga
yang mengenakan celana
panjang dengan kemeja/kaus
tergantung dari kemampuan untuk membeli
dan acara yang dilaksanakan. Pakaian laki-laki untuk
berpergian terdiri dari celana panjang/pendek dan kemeja atau baju kaus
dengan memakai alas
kaki ataupun juga tidak. Pakaian wanita untuk
berpergian terdiri dari
kain dan baju
yang berbentuk seperti kebaya
jawa dan jenis
baju ini disebut
kebaya pendek atau bahkan baju pada umumnya. Pakaian ini
dikenakan tanpa perhiasan kecuali sandal sebagai pengalas kaki.
E. Interaksi Kepercayaan Suku Naulu dengan Agama-agama Lain
Suku Naulu adalah suku yang bermukim
di bagian utara pulau Seram di provinsi Maluku Indonesia. Pulau Seram selama
ini lebih dikenal dengan suku Alifuru sebagai penduduk asli di pulau Seram ini,
tapi di bagian utara pulau ini, terdapat
pemukiman suatu suku yang hidupnya masih terasing dan dikategorikan sebagai
suku primitif, yaitu suku Naulu. Interaksi
suku Naulu dengan agama masyarakat sekitar dapat dikatakan saling
menghargai, bahkan saat ada tradisi mereka yang dilarang karena bertentangan
dengan hukum yang berlaku di Indonesia, mereka pun rela melepas tradisi mereka.
Salah satunya adalah tradisi yang kontroversial yaitu dimana ada rumah adat
yang baru atau memeperbaiki rumah adat yang lama, maka mereka akan menggunakan
kepala manusia dalam ritual sakral ini.
Namun pada Juli 2005 lalu, Pemerintah
melarang suku Naulu untuk melakukan ritual ini, karena berlawanan dengan hukum
yang berlaku di Indonesia, serta menghormati agama-agama sekitar yang sangat
menjunjung tinggi kemanusiaan. Awal mula dilarangnya tradisi ini karna warga
Masohi kecamatan Amahai kabupaten Maluku Tengah digegerkan dengan penemuan dua
sosok manusia yang sudah terpotong-potong bagian tubuhnya. Bonefer Nuniary dan
Brusly Lakrene adalah korban persembahan tradisi suku Naulu saat akan melakukan
ritual adat memperbaiki rumah adat marga Sounawe. Kepala manusia yang
dikorbankan diyakini mereka akan menjaga rumah adat mereka dari bahaya ataupun
gangguan roh-roh jahat yang diyakini oleh suku Naulu. Bagian tubuh kedua korban
yang diambil selain kepala yang nantinya diasapi adalah jantung, lidah, dan
jari-jari. Sementara anggota tubuh yang tidak diambil makan akan dihanyutkan di
aliran sungai Ruata (sungai yang mengalir di provinsi Maluku).
Satu lagi tradisi mereka yang masih
melanggar norma hukum di Indonesia adalah mengasingkan wanita yang sedang haid
atau menstruasi atau pula wanita yang sedang mengandung. Mereka diasingkan di
sebuah gubuk kecil berukuran 2x2m, dan hanya boleh dikunjungi oleh kaum
perempuan hingga sang perempuan melahirkan. Namun sampai saat ini tradisi itu
masih berlaku di suku Naulu itu sendiri. Menurut penuturan ketua adat suku
Naulu, bahwa tindakan yang dilakukan warganya disebabkan karena ketidaktahuan
akan hukum formal yang berlaku di Indonesia. Motivasi pembunuhan dengan
mengambil kepala manusia dilakukan karena merupakan keyakinan mereka untuk
melakukan ritual adat yang dinilai sudah terjadi sejak zaman nenek moyang
mereka dan sangat sakral. Mereka tidak tahu kalau membunuh itu dilarang, dan
bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia.[2]
Suku Naulu hidup dengan cara
memanfaatkan hasil hutan, seperti menjelajah hutan untuk berburu dan mencari
apa saja di dalam hutan untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Selain itu
mereka juga memiliki ladang yang ditanami beberapa jenis tanaman yang bisa
menunjang kehidupan mereka. Suku Naulu umumnya masih menganut agama tradisional
yang mereka sebut agama suku Noaulu. Kepercayaan ini diwariskan oleh para nenek
moyang dan tokoh adat melalui tuturan (cerita dari turun-temurun). Pemerintah
daerah setempat memasukkan agama kepercayaan mereka ini dalam kelompok agama
Hindu, meskipun mereka menolaknya.
Suku Naulu yang berdiam di dusun
Sepa, lebih terbuka untuk menerima agama Kristen dan Islam, shingga beberapa
warga mereka bisa dikatakan lebih maju dibanding dengan suku Naulu yang berada
di dusun Nuanea, karena di dusun Sepa Mereka saling berinteraksi satu sama
lainnya karena dusun mereka saling berdekatan. Dan dalam hal peribadatan, suku
Naulu yang masih dapat dikatakan menyembah makhluk hidup dan benda mati ini
tetap mengerti bagaimana cara peribadatan Kristen dan Islam yang juga saling
berbeda dengan rasa saling menghargai. Mereka juga menerima masukan dan saling
berbagi cara bercocok tanam dan berburu kepada orang-orang diluar suku Naulu
yang masih bertetangga dengan mereka.
Dengan demikian, suku Naulu masih
sangat menjaga hubungan baik dengan agama-agama sekitar dan lingkungan dimana
mereka tinggal. Meskipun mereka tetap berpegang teguh terhadap kepercayaan
mereka, namum mereka mau menerima masukan apabila tradisi mereka yang telah ada
itu melanggar hukum di Indonesia.[3]
[1]http://suku-dunia.blogspot.co.id/2014/12/sejarah-suku-naulu-di-maluku.html?m=1 diakses pd tgl 19 mei 2016.
[2] Diakses dari http://protomalayans.blogspot.co.id/2012/11/suku-naulu-maluku.html?m=1pada
tanggal 19 mei 2016.
[3]
Diakses dari http://www.itoday.co.id/metafisika/kontroversi-tradisi-suku-naulu-malukupada tanggal 19 mei 2016.
0 komentar:
Posting Komentar