A.
Asal
Usul Dan Perkembangan Kepercayaan Aluk To Dolo
Orang
Toraja, ialah penduduk sulawesi tengah, untuk sebagian juga mendiami propinsi
sulawesi selatan, ialah wilayah dari kabupaten-kabupaten tanah-Toaraja dan mamasa.
Mereka itu biasanya juga disebutorang toraja sa’ dan berjulah kira-kira ½ juta
orang[1].
Kepercayaan aluk to dolo adalah kepercaayaan asli tanah
toraja yang terletak kurang lebih 300 km, disebelah utara ujung pandang,
sulawesi selatan. Secara harfiah, aluk artinya kepercayaan to artinya orang
dolo artinya dulu jadi aluk todolo artinya kepercayaan orang dulu atau
kepercayaan peninggalan nenek moyang
Karena
ajaran itu hanya bersifat turun menurun, dan tidak banyak berupa ajaran tertulis, maka peraktek pribadatanya
banyak terdapat perbedaan antara satu suku dan suku daerah lainya pada tiap tiap desa
(kaparengsan) praktek pribadatan dipimpin oleh seorang yang bernama to parenggo
sokkong baju[2].
Persekutuan
dari beberapa kampung diangkat seorang
pemimpin yang mempunyai hak otonom keluar daerah dan ke dalam daerah . samapaui
saat negara indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, belum terdapat suatu
organisasi yang mengkoordinir secara resmi kegiatan-kegiatan penganut Aluk
Todolo. Tetapi setelah tahun 1955 terbentuklah suatu organisasi atau
perkumpulan pada penganut Aluk Todolo yang bernama pamadangan ada. Organisasi
ini bertujuan :
a. Agar
Alukta diakuai sebagai agama resmi di indonesia yang berdasarkan pancasila.
b. Agarpara
penganut alukta diberi kesempatan untuk duduk dipemerintahan
B.
Pokok-Pokok
Ajaran Aluk To Dolo
1. Konsep
ketuhanaan
Tidak berbeda dengan konsep anemisme lainya, aluk to
dolo mempercayai adanya kekuatan gaib pada alam, iya berada dimana-mana,
seperti dipinggir langit, ditepi laut, disungai, dalam lapisan tanah, lapisan
batu, didalam matahari, di hutan, di laut, di poju, di tempat para arwah yang
sudah meninggal. Bumi dan langit keduanya bersatu, sehingga tidak ada sesuatu
yang lain pun kecuali Tuhan yang mengakibatkan dunia gelap gulita. Setelah
berpisahnya bumi dan langit, maka timbulah gelap dan terang, dari padanya pula
lahirlah Tuhan-Tuhan yang bernama:
1. Poang
Tulak Padang;
2. Poang
Enggai Rante;
3. Gaun
Tikembang[3]
C.
Upacara
Keagamaan Masyarakat Toraja
Karena
mayoritas penduduk suku Toraja masih memegang teguh kepercayaan nenek moyangnya
(60 %) maka adat istiadat yang ada sejak dulu tetap dijalankan sekarang. Hal
ini terutama pada adat yang berpokok pangkal dari upacara adat Rambu Tuka’ dan
Rambu Solok. Dua pokok inilah yang merangkaikan upacara-upacara adat yang masih
dilakukan dan cukup terkenal.
Upacara
adat itu meliputi persiapan penguburan jenazah yang biasanya diikuti dengan adu
ayam, adu kerbau, penyembelihan kerbau dan penyembelihan babi dengan jumlah
besar. Upacara ini termasuk dalam Rambu Solok, dimana jenazah yang mau dikubur
sudah di simpan lama dan nantinya akan dikuburkan di gunung batu. Akan hal
tempat kuburan ini, suku Toraja mempunyai tempat yang khusus., Kebiasaan
mengubur mayat di batu sampai kini tetap dilakukan meskipun sudah banyak yang
beragama Katholik, Kristen. Hanya yang sudah beragama Islam mengubur mayatnya
dalam tanah sebagaimana lazimnya.
Seni
Bangunan, ukir, dan Ornamen/hiasan suku Toraja Seperti halnya rumah adat
suku-suku lain di Indonesia yang umumnya dibedakan karena bentuk atapnya, rumah
adat Toraja inipun mempunyai bentuk atap yang khas. Memang mirip dengan rumah
adat suku Batak, tetapi meskipun begitu rumah adat suku Toraja tetap memiliki
ciri-ciri tersendiri.
1.
Seni
Bangunan Suku Toraja
Tongkonan
adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi
dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan"
berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").
2.
Seni
Ukir suku Toraja
Pembangunan
tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan
bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat
kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan".
Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang
tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal
di tongkonan batu.
Setiap
ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang
melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan
seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri
memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi.
D.
Interaksi Sosial Orang Tanah Toraja Dalam Lingkungan
Masyarakat Lokal
Orang Tanah Toraja melakukan ekspansi pada
tahun 1958 di Pulau Maniang di Pomalaa dimulai. Sampe
Toding menemukan nikel dan mengajak Orang Tanah Toraja ke Maniang dan meninggalkan
kampung halaman. Pulau Maniang merupakan
salah satu pulau yang terpisah namun tidak seberapa jauh dari wilayah
Pomalaa yang dikelilingi lautan
dan berupa daratan. Daerah Kecamatan
Pomalaa bagian dari wilayah Kabupaten Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara. Yang memiliki penduduk lokal
atau pribumi yaitu
suku Tolaki Mekongga.
Gelombang kedua perpindahan suku Tanah
Toraja dari kampong halaman diorganisir
oleh Bapak Pasorong Rumengan,
ST. pada tahun 1960 menuju ke Pulau Maniang sebaga pekerja
di pabrik pertambangan nikel yang didirikan
oleh Sampe Toding
dengan nama PERTO
(Perusahaan Tanah Toraja).
Orang-orang yang didatangkan tersebut
berjumlah puluhan orang dan hanya
merupakan para pekerja
laki-laki yang diperkirakan
berjumlah sekitar puluhan orang. Informan menyatakan “para pekerja
yang didatangkan tersebut
merupakan warga Tanah Toraja dari
keluarga petani dan peternak yang sebagian besar adalah petani penggarap
dan termasuk mereka
yang merupakan
dari keluarga ekonomi lemah, serta
anak-anak muda yang
menginginkan pekerjaan
dengan upah yang lebih besar
dibandingkan apa yang mereka
peroleh di daerah
mereka. Dengan tekad dan
keuletannya sehingga mereka memutuskan
untuk memilih bekerja pada pertambangan nikel
di Pulau Maniang untuk meningkatkan taraf hidupnya (wawancara dengan Ne Karre
juni 2012, pekerja pertama dipulau Maniang)[4]
Daftar
Pustaka
Dr.
Koenjtaraningrat, manusia dan kebudayaan
di Indonesia (Jambatan, cet. 4 1979)
Dra. Neng Darol
Afia (ED), Tradisi dan kepercayaan lokal
pada beberapasuku di indonesia
(badan litbang agama DEPAG RI, 1999) http://journal.umsida.ac.id/files/1.DewiAnggraini.pdf, diakses tgl, 19 mei 2015
[1] Dr. Koenjtaraningrat, manusia dan kebudayaan di Indonesia
(Jambatan, cet. 4 1979) hal. 259
[2] Dra. Neng Darol Afia
(ED), Tradisi dan kepercayaan lokal pada
beberapasuku di indonesia (badan
litbang agama DEPAG RI, 1999) hal.117-118
[3] Dra. Neng Darol Afia
(ED). Hal. 119-120
[4] http://journal.umsida.ac.id/files/1.DewiAnggraini.pdf,
diakses tgl, 19 mei 2015
0 komentar:
Posting Komentar