Kamis, 02 Juni 2016

Responding paper suku toraja




RESUME PAPER
Agama Tradisional Suku Trunyan di Bali
A.    Asal Usul suku Trunyan atau Bali Aga
            Trunyan berasal dari kata Taru Menyan, Taru yang berarti pohon dan menyan berarti wangi atau harum yang sekarang ini menjadi pohon besar yang menjadi perkuburan adat masyarakat Trunyan. Pohon ini dipercaya mempunyai wangi yang semerbab yang membuat jenazah-jenazah yang diletakkan di sekitar pohon tersebut tidak mengeluarkan bau menyengat. Semuai itu dimulai dari kisah dahulu di kerajaan Surakarta di pulau jawa, tercium bau harum yang berhasil menarik perhatian dari 4 bersudara, pangeran dan putri kerajaan Surakarta. Bau harum tersebut telah berhasil menarik perhatian 4 bersaudara tersebut untuk memutuskan pergi mengembara, mereka terdiri dari 3 orang pangeran dan 1 orang putri.
            Masyarakat Bali Aga adalah kelompok masyarakat yang mendiami wilayah pegunungan dan merupakan masyarakat yang sulit ditundukkan pada saat Kerajaan Majapahit menguasai Bali. Kesulitan Majapahit dalam menundukkan Bali karena mendapat perlawanan dari masyarakat Bali Aga yang dapat dirasakan oleh Raja Sri Kresna Kapakisan, yang ditempatkan oleh Gajah Mada untuk memerintah di Bali.[1]

B.    Mite, Adat Kebudayaan dan Ritual
1.     Mite Tentang Dewi yang Turun Dari Langit
Dahulu ada seorang dewi yang terpesona dengan bau harum, yang datang dari suatu tempat di bumi yang telah turun dari langit untuk mencari sumber bau harum itu. Setelah mencari-cari beberapa waktu lamanya akhirnya berhasil menemukan. Sumber harum itu ternyata berasal dari pohon Taru Menyan, sejak itu tempat itu dinamakan Trunyan
2.     Adat Kebudayaan di suku Trunyan
a.      Adat Pemakaman
            Desa Trunyan memiliki pemakaman yang unik, yang berbeda dengan Bali pada umumnya, yang dikenal dengan Ngaben. Namun, ini berbeda halnya dengan suku Trunyan. Orang yang meninggal bukan dibakar atau dimakamkan, melainkan dibiarkan membusuk ditanah membentuk cekungan panjang.
b.     Pementasan Barong Brutuk
            Wajah barongnya menggunakan  seperti topeng primitive, dipakaikan kepada seorang remaja dengan pakaian dari daun pisang kering. Tokoh pada Barong Brutuk seseorang berfungsi sebagai raja, kemudian ratu, kakak sang ratu dan patih, selebihnya menjadi anggota biasa (unen-unen), dipentaskan pada siang hari, tepat saat mulai odalan di Pura Pancering Jagat , upacara odalan tersebut biasannya selama tiga hari berturut-turut.
c.      Arsitek Adat Desa Trunyan
            Di desa Trunyan itu di dalam satu pekarangan terdapat banyak kepala keluarga dimana dalam satu kepala keluarga memiliki satu bangunan atau rumah dalam satu pekarangan tersebut. Rumah tersebut dinamai bale saka roras, dimana dalam satu bangunan terdapat beberapa ruangan yang disesuaikan dengan pembagian dari saka-saka tersebut. Di dalam ruang tersebut semua kegiatan dilakukan di dalam ruangan. Mulai dari memasak, makan dan tidur serta berkumpul dengan keluarga.

C.    Religi, Tempat dan Upacara Keagamaan
            Religi dalam suku Trunyan ini adalah kepercayaan berlandaskan kepada pemujaan roh leluhur, yakni tentang adanya roh lainnya di alam sekeliling tempat tinggal, sehingga perlu untuk dipuja (animisme).
            Adapun upacara keagamaan dalam suku Trunyan yaitu:
1.     Dewa Yadnya, biasa disebut dengan Odalan, yang bertujuan untuk mengambil hati dewa yang diupacarakan. Hampir setiap bulan ada upacara ini. Salah satunya adalah upacara Saba Gede yang dilakukan pada saat Tilem Kesanga dan Odalan Ratu Pingit Dalem pada saat purnama Sadha.
2.     Pitra Yadnya, upacara yang dilakukan untuk para leluhur dan para kerabat, apabila ada kematian.
3.     Resi Yadnya, upacara yang dilakukan untuk pentahbisan pendeta.
4.     Buta Yadnya, Upacara yang dilakukan untuk para buta kala, biasanya juga dengan Mercaru.
5.     Manusia Yadnya, upacara yang dilakukan untuk manusia yang masih hidup. Misalnya upacara ulang tahun otonan yang berlangsung enam bulan sekali.

D.    Upacara Kematian dan Pemakaman Trunyan
            Terkait dengan kepercayaan orang Trunyan mengenai kematian, maka cara pemakaman orang Trunyan ada 2 macam yaitu:
1.     Mepasah (meletakkan jenazah diatas tanah dibawah udara terbuka), orang-orang yang dimakamkan dengan cara mepasah adalah mereka yang pada waktu matinya termasuk orang-orang yang telah berumah tangga, orang-orang yang masih bujangan dan anak kecil yang gigi susunya telah tanggal.Jumlah liang lahat di area kuburan utama ada sekitar 7 ancak saji atau liang yang digunakan secara bergantian untuk tiap jenasah. Jika semua liang terisi, sementara ada warga yang harus dimakamkan, maka salah satu rangka jenasah dalam liang harus diangkat dan diletakkan di sekitar liang.
2.     Dikubur/dikebumikan, orang-orang yang dikebumikan setelah meninggal adalah mereka yang cacat tubuhnya, atau pada saat mati terdapat luka yang belum sembuh seperti misalnya terjadi pada tubuh penderita penyakit cacar, lepra dan lainnya. Orang-orang yang mati dengan tidak wajar seperti dibunuh atau bunuh diri juga dikubur. Anak-anak kecil yang gigi susunya belum tanggal juga dikubur saat meninggal.

E.    Interaksi Kepercayaan Orang Trunyan Dengan Agama-agama Lain
            Kerjasama antara etnis Bali dan etnis Sasak sudah terjadi jauh sebelumnya, pada saat kedatangan Islam (Sasak) dengan pihak kerajaan Karangasem. Masyarakat Islam Sasak ditempatkan berdampingan dengan masyarakat hindu dan bekerjasama dalam menjaga keamanan wilayah kerajaan Karangasem dari serbuan kerajaan lainnya di Bali. Selain itu antara etnis Bali dan Etnis Sasak (Islam) juga terjadi interaksi jual beli di pasar tradisional antara pedagang etnis Sasak misalnya (pedagang sate, cendol, buah, kain, tukang jarit dan sebagainya) dengan pembeli masyarakat etnis Bali dan begitu pula sebaliknya.
            Setelah mempelajari suku Trunyan maka dapat dikatakan bahwa setelah adanya interaksi dengan agama Hindu maka Dewa Ratu Pancering Jagat dianggap sebagai dewa tertinggi dan juga Dewi Ratu Ayu Pingit itu sebagai saktinya dari Ratu Pancering Jagat tersebut. 

F.     Kesimpulan
            Jadi secara garis besar dapat disimpulkan bahwa:
1.     Struktur keagamaan
Pada awalnya orang-orang Trunyan menganggap bahwa kepercayaan yang mendasarnya itu percaya roh leluhur yaitu Ratu Pancering Jagat. Kemudian masyarakat Trunyan juga adanya paham-paham yang sangat mendasar dari agama-agama lokal yaitu akan kepercayaan animisme dimana mereka percaya kepada roh-roh lain selain dari roh leluruh yaitu mempercayai adanya roh yang baik dan roh yang jahat. Keduanya itu harus dipuja sekalipun itu roh jahat, supaya tidak ada gangguan-gangguan dari roh-roh jahat tersebut.
Selain animisme juga adanya animistisme yaitu mempercayai bahwa benda-benda itu mempunyai jiwa dan berperasaan seperti manusia. Kemudian yang terakhir dinamisme yaitu percaya akan kekuatan-kekuatan sakti.
2.     Interaksi dengan agama lain
Setelah terjadinya interaksi dengan agama lain, misalnya yang pertama yaitu agama Hindu pada abad ke-4 SM, bahwa Ratu Pancering Jagat itu jadi dianggap sebagai dewa tertinggi dalam keyakinan mereka, begitupun dengan Ratu Ayu Pingit yang merupakan sakti dari Pancering Jagat tersebut.


               [1] http://www.wacananusantara.org/masyarakat-bali-aga/, diakses pada tanggal 14/04/2016

0 komentar:

Posting Komentar

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net