Kamis, 16 Juni 2016

Acara Turun Tanah (Tadisi Aceh)

 

Dalam satu kepercayaan, masyarakat Aceh meyakini bahwa kehidupan seseorang memiliki masa pada tiap-tiap waktunya meliputi masa kelahiran sampai dengan masa kematian. Untuk itu di setiap masa tersebut selalu ada kegiatan atau upacara untuk menyambutnya.

Salah satu penyambutan setelah masa kelahiran seorang anak pada masyarakat Aceh adalah dengan menyelenggarakan upacara Troen Bak Tanoeh atau Peutron Aneuk U Tanoh, ada juga yang menyebutnya Peutron Aneuk Mit atau Adat Peutron Aneuk. Secara umum, masyarakat di Indonesia mengenal upacara ini dengan nama Upacara Turun Tanah.


Upacara Turun Tanah ini dalam penyelenggaraannya terdapat perbedaan mengenai waktu pelaksanaan pada masyarakat Aceh. Ada yang melaksanakan upacara Turun Tanah pada hari ke-7 setelah masa kelahiran ada juga yang menyelenggarakan upacara Turun Tanah pada hari ke-44 (setelah kelahiran) bahkan ada juga yang melangsungkannya setelah bayi berumur lebih dari satu tahun. Terlepas dari perbedaan waktu pelaksanaannya, biasanya upacara Turun tanah dilaksanakan bersamaan dengan upacara pemberian nama, upacara cuko oek (cukur rambut), dan tradisi hakikah.

Persiapan dan Pelaksanaan

Ada beberapa langkah dalam menjalankan upacara turun tanah ini diantaranya adalah persiapan dan pelaksanaan upacara Turun Tanah. Untuk persiapan dalam upacara Turun Tanah yaitu menyiapkan peralatan dan perlengkapan upacara Turun Tanah diantaranya adalah kain, sebutir kelapa, madu, pulut kuning, tampi, sapu, parang, cangkul, tangga dan gunting.

Dalam upacara turun tanah, semua kerabat sang anak akan diundang, tak lupa juga mengundang tetanga dan saudara-saudara dari jauh jika memungkinkan. Dari semua tamu undangan yang datang, yang terpenting adalah mengundang tetua adat guna memimpin acara. Sebelumnya juga telah dilakukan persiapan untuk acara kenduri dan penyembelihan kerbau, sapi, kambing dan atau domba.
Upacara Turun Tanah dimulai dengan seorang tetua adat yang dihormati di masyarakat menggendong si bayi menuju tangga rumah—umumnya pada masa lalu ruah-rumah di Aceh memiliki tangga. Kini tangga itu digantikan dengan tangga yang khusus dibuat untuk keperluan upacara. Tetua Adat yang biasanya juga merupakan pemuka agama ini dipilih dengan harapan kelak sang anak bisa mengikuti jejak-nya.

Anak itu kemudian diturunkan melalui anak tangga dengan diiringi doa-doa, pujian dan ayat-ayat al-Quran. Saat prosesi penurunan tersebut sang anak juga dipayungi.
Kemudian sehelai kain direntangkan di atas kepala bayi, sebutir kelapa kemudian dibelah di atas kain. Kelapa yang telah dibelah akan diberikan kepada kedua belah pihak orang tuanya sebagai simbol dan juga harapan tetap terjadinya kerukunan di kedua belah pihak. Ada juga yang mengatakan bahwa tujuan pembelahan kelapa tersebut dimaksudkan agar si bayi tidak mudah takut dengan suara petir.

Jika anak yang dituruntanahkan itu adalah anak perempuan, anggota keluarganya akan bergegas menyapu dan menampi beras. Menampi besar dan menyapu tanah merupakan simbol dari kerajinan. Prosesi ini menjadi harapan agar kelak si bayi perempuan itu menjadi anak yang rajin. Akan tetapi, jika yang dituruntanahkan adalah seorang bayi laki-laki, maka akan dilakukan prosesi mencangkul tanah dan mencincang batang pisang, keladi atau batang tebu. Secara simbolik apa yang dilakukan itu bermakna kesatriaan; sebuah harapan agar kelak anak lelaki itu menjadi seorang lelaki yang senantiasa bekerja keras dan berjiwa kesatria.

Ketika anak sudah menapaki tanah maka anak tersebut kemudian dibawa keliling rumah. Saat anak kembali dibawa masuk ke dalam rumah, berbagai hidangan biasanya telah disipakan untuk prosesi peucicap (mencicipi). Acara peucicap dilakukan dengan mengoleskan berbagai macam rasa pada bibir si bayi dengan tujuan bayi tersebut dapat mengenal berbagai rasa baik itu rasa manis, asam, atau asin. Upacara turun tanah ini pun berakhir.

Upacara Turun Tanah ini juga terkadang dimeriahkan dengan alunan puji-pujian kepada Nabi dan syair-syair islam yang diiringi tabuhan rebana. Berbagai tarian, juga pencak silat dan berbagai kesenian lainnya juga hadir.

Berbagai hidangan biasanya juga telah disediakan, hingga kemeriahan dan juga kebahagiaan itu tidak hanya dirasakan oleh keluarga sang anak, tetapi juga turut dirasakan oleh tetangga maupun saudara sekampung yang telah menghadiri undangan. Setiap upacara pada masyarakat Aceh memang kerap diliputi oleh suasana kebagian dengan acara makan-makan (kenduri) yang dilangsungkan setelah acara utama selesai.

Upacara Turun Tanah dalam pandangan Masyarakat Aceh

Masyarakat Aceh sangat terkenal dengan ketaatan mereka kepada agama Islam, sehingga kehidupan mereka sedikit banyaknya telah dipengaruhi oleh ajaran-ajaran islam. Nilai-nilai yang terkandung dalam upacara Turun Tanah adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan dunia dan akhirat yang hingga kini masih dijaga keberlangsungannya karena dibutuhkan oleh merek guna memenuhi tuntutan adat sebagai orang Aceh. Bagi masyarakat Aceh, adat senantia harus terus dijalankan, dipenuhi dan tentu saja juga harus dipatuhi.

“Mate Aneuk meupat gadoh adat pat tamita”, Mati anak tinggal pusara, hilangnya adat mau dicari kemana.

Merupakan pepatah yang cukup dikenal dalam masyarakat Aceh. Pepatah ini memberitahukan kepada kita bahwa adat dengan anak itu di posisi yang sama pentingnya. Dan lebih penting lagi adalah menjaga dan melestarikan adat istiadat hingga bisa sampai ke anak cucu mereka nantinya.

0 komentar:

Posting Komentar

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net